Pertanyaan-pertanyaan bermunculan, bukan dari saya, tapi dari pak sopir yang mengantarkan saya, pertanyaan-pertanyaan yang menghilangkan rasa sendiri, hingga pada akhirnya tanpa saya sadari pertanyaan-pertanyaan ini mulai dirasa membosankan.
Dari mana de’? dari lampung pak, ‘wah jauh ya, kuliah dimana?’ di Lampung juga pak, ‘oh UNLAM?’ bukan pak, itu Universitas Lambung Mangkurat, UNILA pak, ‘ada saudara di sini?’ ndak ada pak, ‘wah…bla..bla.bla’ saya sudah lupa si bapak berkata apa. Lama, akhirnya saya tiba di tempat mahasiswa biasa menginap, bapak sopir bilang biasanya mahasiswa yang melakukan penelitian di perusahaan PKT yang beliau jemput, bisa berjumlah sampai 30 orang atau lebih, tapi kali ini hanya saya sendiri yang dijemput dengan menggunakan mobil ini. Camp Petrosea, ya tempat penginapan ini bernama Camp Petrosea, dan saya baru tahu ejaan yang sebenarnya Petrosea itu seperti apa tepat ketika saya melihat nomor kamar yang saya tempati, karena kebetulan di sana tertera tulisan ‘Camp Petrosea’.
Sampai di camp, saya di jemput oleh pak Siin, beliau yang memegang kunci kamar saya. Selepas menitipkan saya pada pak Siin, pak sopir pun pergi, ‘terima kasih banyak pak’ begitu saya sampaikan pada pak sopir ‘sama-sama, Assalammu’alaikum’.
Ransel 45 liter itu kembali membebani punggung ini, mengendarai motor bersama pak siin, menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh ke belakang karena menahan beban yang sarat. Tidak jauh ternyata, lalu ‘ini kuncinya de, ini no bapak, kalau ada apa-apa, sms saja, nanti insya Allah bapak langsung ke sini. Nanti ada yang mengantar makan untuk malam dan sarapan, kira-kira dekat-dekat maghrib, diambil saja ya’, iya pak, terima kasih banyak.
Salam pun diucapkan, pak siin pergi meninggalkan saya beserta kunci kamar no 196. 15 Oktober 2008, saya sampai di kota bontang, camp petrosea.
Sepi dirasa, tidak ada siapa yang saya kenal di kota ini, melankolie mulai merayapi hati, titik-titik itu rasa ingin jatuh lagi, sunyi, dan tak banyak yang mengerti mengapa saya harus berada di sini, di kota ini, bontang, Kalimantan timur. Menempuh perjalanan dengan menyebrangi pulau sebanyak dua kali, berjam-jam berada di atas lautan, menempuh jalur laut, darat dan udara, untuk sesuatu yang mereka katakan ‘buat apa?’.
Hmmmmh, merasa sesak, tumpah begitu saja manakala sajadah panjang itu saya bentangkan, buku kehidupan itu saya perdengarkan, agar tenang jiwa, agar tentramlah ruh yang berada di dalamnya.
-bersambung-