Pages

Saturday, January 24, 2009

Pak djoko dan sepeda tuanya

Pak djoko, bapak saya, bapak baik, meskipun pada awalnya agak sulit menggambarkannya, beliau pendiam, seperti memiliki dunia sendiri di alam pikiran, kadang ketika saya ingin pamit undur diri dari kantor tempat beliau bertugas di saat siang menjelang, beliau berkata ’nanti dulu, di sini saja, bla..bla..bla’. Pak djoko, saya tidak tahu berapa umurnya, beliau memiliki 3orang putera dengan seorang putri yang saat ini duduk di kelas 6 SD.

Tinggi perawakannya, berasal dari jawa, dengan pendidikan terakhir STM ’begitu katanya pada saya’, bapak dianugerahi rupa yang lumayan untuk lelaki seumuran beliau. Kalau menurut seorang teman ’bapak-bapak itu gantengnya beda sama anak muda, mereka itu gantengnya
wibawa’, ya ada-ada saja teman saya yang satu itu, tapi mungkin ada juga benarnya.

Bapak baik, bapak temani saya kemana saja, bapak pinjamkan saya sepeda tuanya, katanya ’kamu pakai sepeda bapak yang ini saja’, itu sepeda baru, bukan saya tidak mau, tapi tidak mungkin rasanya menaiki sepeda itu dengan kostum seperti ini, saya memakai bawahan rok bukan celana panjang seperti karyawan yang lainnya, dan setelah lama saya baru sadar bahwa kiranya hanya saya seorang yang berkeliaran di pabrik dengan memakai rok sebagai bawahan, sisanya memakai celana panjang, entah lelaki entah juga perempuan.

Apa saya anomali? Sepertinya tidak juga, biasa saja. Sepeda pak djoko sudah tua, terlihat dari penampilannya, ya akhirnya saya dipinjamkan sepeda pak djoko yang satunya, dengan karat dimana-mana, semakin menegaskan ketuaannya, dengan sandaran tempat duduk yang sudah berbungkus plastik, dengan ban bagian depan yang menggelembung, hampir lepas dari rangkanya, ditambah lagi rem yang sudah tidak berfungsi, ah agak sulit menggambarkan ketuaannya.

Perlu pengorbanan untuk mengendarainya, kenapa? Karena saya sudah hampir empat kali terjatuh dari itu sepeda tua ,sekali dua kali, pengayuh sepeda tersangkut rok hitam saya, hingga terjatuhlah saya, tidak banyak yang melihat, maka tidak banyak pula yang tertawa ’alhamdulillah’ rasa malu yang saya derita tidak seberapa. Jatuh untuk yang kesekian kalinya, manakala pak salam (nanti saya insya Allah ceritakan siapa itu pak salam) memaksa memberi saya sedikit uang, entah karena apa, mungkin karena rasa iba atau kasihan, melihat saya seorang diri di bumi kalimantan ini, waalahualam.

Jatuh yang kesekian itu cukup menyakitkan, meninggalkan bekas di lutut berupa memar dan perih yang lumayan bila dirasakan, hingga beberapa hari harus meringis manakala air menyentuh lutut yang lecet karena menggusur aspal. Jatuh yang kesekian ini lumayan memalukan, jatuh pada saat menjelang makan siang, banyak pengendara sepeda yang melihat, bahkan pak satpam berkata ’kenapa de? Jatuh ya? Aduh kasihan’ begitu ujar mereka sembari tertawa.

Saya? Ya mau tidak mau saya tertawa juga, tertawa menahan malu sembari bergumam sendirian ’sudah sebesar ini masih juga jatuh dari sepeda’. Pak salam sudah pergi, uang itu mau tidak mau saya terima juga. ’saya malu kalau kamu ndak terima’ begitu kata si bapak pada saya. Yah sembari menahan sakit, terduduk di atas jalan raya beraspal, saya terima uang yang ia berikan dengan berat hati. Tidak tega rasanya menerima, karena saya tahu penghasilan si bapak tidak seberapa, tapi ya sudahlah. Itulah jatuh yang kesekian kalinya.

Jatuh yang ini, insya Allah untuk yang terakhir kalinya, tidak jatuh sebenarnya, tetapi hampir jatuh, kali ini, rok saya tersangkut di rantai sepeda, hmmm ramai saat itu, pekerja-pekerja pabrik baru saja berdatangan, yang bertugas shift malam pun baru saja pulang. Ini akibatnya tidak memulai bismillah dalam sebuah urusan, ini akibat dari kesombongan sebagai manusia yang notabenenya lemah kalau bukan karena rahmat dan karunia –Nya.

Saya kembali hampir terjatuh, Alhamdulillah Allah masih sayang, saya masih mampu jaga keseimbangan dan Alhamdulillah seorang teman saya melihat saya yang sedang kesusahan, akbar namanya, ia bantu saya menarik ujung rok saya yang tersangkut pada rantai sepeda, dan akhirnya terselamatkanlah saya dari rasa malu yang berkepanjangan di dalam dada.

Jatuh yang terakhir kali ini, cukup membuat bekas di dalam hati hingga sesuatu itu menitikkan airnya ke bumi, penyesalan yang mendalam karena kesombongan sebagai anak manusia yang sebenarnya lemah tak terkira. Begitulah kiranya, sepeda tua pak djoko sudah menemani dengan setianya, kemana saja saya pergi, hingga seorang pembimbing saya yang lain, pak sulis namanya, berkata ’ya sudah pakai sepeda saya saja, biar ndak jatuh lagi’, ’(menghela nafas panjang), subhanallah baiknya’ dan kembali saya tidak bisa berkata apa-apa.


NB : sempat mengambil photo sepeda pak djoko, tapi hilang entah kemana.

-bersambung-