Pages

Thursday, January 29, 2009

7 juni 2008

Kembali menekuni kebiasaan lama, menuangkan apa yang ada di dalam pikiran menjadi sebuah tulisan. Hari ini, 7 juni 2008, mengawali hari dengan memberi asistensi untuk kelas fisika medik. Sedikit berkeringat, hampir membuat emosi meledak dalam tawa, ternyata yang tua masihlah lebih cekatan dari yang muda.


Menjelang siang, menghambur pergi bersama si enang dengan tujuan salah satu pusat perbelanjaan yang ada di kota ini. Waktu ashar tak lama lagi akan tiba, akhirnya memutuskan singgah ke masjid terdekat yang berada tidak jauh dari pusat belanja yang saya dan eneng tuju pada awalnya.


Memasuki pelataran masjid, berjalan beriringan menuju tempat wudhu wanita, selesai. Masuk masjid dengan niatan ingin menunaikan sholat barang dua rakaat saja, tapi tak dapat. Seorang ustadz sedang berceramah dihadapan ibu-ibu tua, umur mereka berkisar antara 55thn-70thn, mungkin renta lebih tepatnya.


Si eneng berkata, ”teh, lihat ibu yang tua itu, emang masih bisa kelihatan apa yang dia baca?” pertanyaan retorik, lalu saya katakan sembari tersenyum padanya ”makanya, kalau nanti kita bertaubat, jangan nunggu tua dulu, repot” kami berdua pun tertawa tertahan.


Waktu ashar masih kan lama rupanya, kira-kira 30’ menit lagi agaknya.


Pak ustadz orang sumatera, belakangan saya terka ia orang sumatera selatan. Gaya bicaranya khas orang sumatera, kental. Kalau sekiranya yang mendengarkan pak ustadz berceramah bukan orang asli sini, tentunya si bapak ustadz akan dikira marah-marah melulu pada si ibu-ibu.


’Baru dua lembar saja, aku mengantuk....’

’pagi menjelang, kicau burung-burung sudah membuka hari sedari tadi, hmmh hari ini hari minggu. Malas sekali rasanya menulis, meneruskan kisah yang sempat terputus semalam tadi, beginilah kiranya kalau sudah menunda.......’


Gaya bicara yang totok, saya taksir umur pak ustadz sekitar 40 thn atau mungkin lebih, entahlah. Beliau duduk di sebuah kursi dilengkapi dengan meja dan microphone sebagai alat bantu bicara. Ibu-ibu tua itu memperhatikan dengan seksama, saya pikir mereka pastinya ibu-ibu pengajian khusus peerkumpulan para pedagang yang ada di daerah ini.


Peserta yang datang tidaklah ramai meskipun saya tidak menghitungnya, tapi kira-kira tidak sampai 15 orang jumlahnya.


Menarik, mereka begitu mengikuti apa yang pak ustadz sampaikan. Saya dan si eneng hanya mengamati dari kejauhan, tidak enak bergabung dengan mereka, karena memang nampaknya itu merupakan pengajian yang memang rutin ibu-ibu itu adakan.


Ibu-ibu atau lebih tepatnya nenek-nenek ’ah apa pun itu’ mereka duduk mengelilingi pak ustadz dengan menggunakan meja panjang yang di tempat saya biasa digunakan untuk mengaji. Begitu antusiasnya, saya nilai, begitu karena begitu sesi tanya jawab tiba, ibu-ibu itu langsung bertanya.


Mengamati dari awal hingga akhir ceramah pak ustadz, ternyata yang menjadi bahasan kali ini, tidak jauh dari persoalan poligami. Ibu-ibu itu membekali diri mereka dengan Al Qur’an dan sebuah buku bersampul hijau muda. Entah buku macam apa saya tidak tahu, yang pasti isi di dalam buku itu, menjadi pedoman pengajian yang pak ustadz sampaikan.


-bersambung-