Kalimantan timur, sepinggan bandara internasional. Menunggu barang dari bagasi pesawat, meninggalkan seorang bapak yang menjadi teman di dalam perjalanan menuju Kalimantan, saya tidak tanyakan siapa namanya, tidak juga meminta no handphonenya, padahal beliau juga bekerja di PT. Pupuk KalTim, perusahaan tempat dimana saya akan lama berada di sana, agak sedikit menyesal, tapi yah sudahlah bukan rezeki nampaknya. Linglung, sedikit, entah kemana lagi saya akan pergi, karena saya harus menempuh satu kali penerbangan lagi menuju lokasi, Bontang. Menggunakan kemampuan berkomunikasi sebagai manusia dengan bertanya, akhirnya kaki ini melangkah pergi menuju maskapai berikutnya, free charge karena perusahaan yang bayarkan, tapi tidak free untuk bagasi, beginilah kiranya mahasiswa, sedikit-sedikit biaya menjadi perhitungan.
Sepinggan bandara internasional, wajar kiranya ia begitu ramai, tapi rasa lapar tidak lihat ramai atau tidak, selepas menunaikan sholat dzuhur di mushola bandara, rasa itu tak lagi terbendung rasanya, Alhamdulillah ada cafĂ© kecil di sana, satu porsi bakso, entah apa rasanya, saya tidak ingat, yang penting hasrat di dalam terpenuhi meskipun hanya sebentar. Saya pikir, tidak mungkin harganya sama dengan di tempat biasa, begitu yang ada di kepala, saya keluarkan selembar uang Rp 20.000 rupiah, dan pas sekali, satu porsi bakso dengan ‘entah apa rasanya’ itu, ternyata harganya Rp.20.000 rupiah.
Suara dari intercom membuat saya menggegaskan diri melangkahkan kaki, ya pesawat dengan tujuan Bontang akan segera diberangkatkan. Sampai jumpa balikpapan, dan ‘aku datang bontang, salam kenal’. Ternyata kota bontang lebih panas dari perkiraan, 30 menit menggunakan jalur udara, saya pun tiba, pesawat kecil, dengan suara baling-baling yang membuat hati selalu beristighfar, mengingat-Nya, beginilah kiranya manusia, ketika susah diingatnya Tuhan Yang Menciptakannya, ketika senang maka lupalah ia pada Yang Memberinya kehidupan.
Waktu ashar entah pukul berapa saat itu, bandara ini kecil, saya pikir yang terbang kemari merupakan orang-orang perusahaan, semua beserta keluarga, hanya saya sendiri yang seorang diri di sini. Tengok ke sana-ke mari, saya tidak tahu siapa yang akan saya hubungi, ‘masya Allah’ saat itu, rasa melankolie merayapi hati, ada sedikit rasa iri, manakala melihat mereka tahu pasti kemana akan melangkah pergi. Sedangkan saya? Kemana saya akan pergi? Siapa pula yang saya akan hubungi? Saya hanya sendiri di sini.
Menunggu bagasi, tas ransel 45 liter. Saya pun keluar dari bandara kecil ini, setelah sebelumnya kepala ini sedikit mengeluarkan akalnya dengan menghubungi pihak perusahaan PKT, ‘coba ade’ keluar dari bandara, terus nanti ada mobil perusahaan yang stand by di sana’. Berbekal info yang ada, saya pun melangkahkan kaki, meninggalkan melankolie yang masih membuat iri hati.
Bontang panas, bontang panas. Seorang bapak menghampiri saya, dan alhamdulillah ternyata beliau memang berniat menjemput saya. Mobil pun melaju, agak sedikit tertegun manakala melihat seorang istri yang tidak menjaga wibawa suaminya di depan manusia yang lainnya, kenapa begitu? Ya, sang istri memarahi suaminya karena ternyata salah satu bagasi mereka terbawa oleh mobil yang lainnya, mobil-mobil yang menjemput, ternyata merupakan fasilitas perusahaan, bukan dari PKT saja, karena memang ternyata di daerah ini, Bontang, ada banyak perusahaan besar, mulai dari LNG, Pertamina hingga perusahaan asing lainnya.
Entah apapun alasannya, hati tetap saja tertegun dibuatnya karena tak seharusnya begitu, tak semestinya sang istri seperti itu. Memarahi suami di depan kedua orang anaknya, di hadapan penumpang yang lainnya, dan dalam bayangan saya, sang suami seperti serial televisi ‘suami-suami takut istri’, dan yang lebih membuat hati ini terpana adalah bahwa kedua anaknya nampak sudah terbiasa dengan apa yang terjadi di hadapannya.
Tinggalkan sang istri yang masih memarahi suaminya, mobil ini melaju kencang. Panasnya cuaca, tidak mampu dikalahkan oleh semilir angin sejuk yang berasal dari pendingin yang ada di mobil ini. Inilah bontang, beginilah rupanya, begitu penilaian saya pada awalnya, masya Allah panasnya, lebih panas daripada Surabaya, meskipun pepohonan di kiri-kanan jalan, tapi nampaknya iklim industri membuat wajah kota ini, menjadi panas begini.
-bersambung-