Pages

Thursday, January 8, 2009

Ini tentang ibu

(maaf menggunakan aku)

Aku tidak ingin semakin banyak berkata-kata, maka tibalah saatnya bagi matahari untuk unjuk gigi. Awalnya ibu berjanji ’kita berobat ya de’, ya itu yang ibu katakan, aku sudah siap hingga ibu berkata ’ibu pergi dulu ya, sebentar saja’. ’Hmmmh’, menunggu, dalam detik, dalam menit, hingga dalam hitungan jam ibu tidak juga pulang.

Tak tahan, suhu tubuh ini semakin tak mau kompromi, akhirnya memutuskan untuk mengistirahatkan diri, ya aku tidur, dalam lelap. Hingga ibu tiba, membuka pintu kamar sembari berkata ’yuk de berangkat’ lalu ’besok aja ya bu, sudah siang, panas’ begitu kata ku.

’Ya sudah, ibu buat air asam dulu ya, biar dioles ke pipinya yang bengkak’. Ibu pergi, menghilang dari pandangan. Aku? Ya masih terdiam, tergeletak dikalahkan oleh demam. Tak lama, ibu pun masuk, aku hanya bisa pasrah saja ketika ibu mengoleskan air asam itu di pipi yang sakit ini. ’Hhh’ entahlah, malu rasanya, aku ini jarang pulang, membantah saja kerjanya bila ibu berkata ’pulang de’. Dan hari ini, dalam keadaan lemah diri, ibu merawat diri yang sakit ini.

Saya hanya bisa diam, merasakan telapak tangan ibu mendarat lembut di pipi ini. Tak ku pedulikan air asam itu, kepala ini hanya bisa tersinkronisasi dengan hati lalu, bergumam sendiri, beginilah kiranya ibu merawat diri, tanpa pamrih, selalu’. Lalu ’nanti kalau sudah kering, dioles lagi ya’, aku hanya bisa mengangguk dalam kelemahan.

Mencoba untuk tidur, ya aku menidurkan, melelapkan diri, di dalam suhu tubuh yang semakin meninggi, mencoba memejamkan mata sembari berpikir, apakah kiranya aku akan dapat membalas serupa dengan apa yang ia lakukan padaku hari ini? ’Hhh’ belum tentu dan aku khawatir akan hal itu. Dalam masa-masa dimana lelap itu hampir tiba, titik-titik air itu menetes dari kelopak mataku, entah itu karena rasa sakit yang tidak tertahan atau karena rasa malu yang mendalam pada ibu.

Entah berapa lama aku tertidur hingga ibu mengetuk pintu, mencoba memeriksa, lalu ’lho, demam de, sudah gak usah puasa, pecahkan saja. Ibu beli obat dulu ya’.

Hmmh, aku hanya mampu tergolek lemah dan berkata ’iya’. Hari itu hari minggu, panas, ya panas, apalagi ibu berpuasa, tapi beliau tetap pergi juga. Masya Allah, semoga Allah berikan surga padanya, pada ibuku, ibu ku yang tidak lagi muda itu.

Lama, hingga akhirnya ibu tiba juga, membawakan segelas air putih, dan beberapa jenis obat agar aku segera menelannya. ’hh, panasnya cuaca hari ini, tenggorokan ibu sampai kering de’. Aku hanya bisa diam, melankolie sekali hati ini hingga ingin menangis lagi, ’dengan apa harus membalasnya?’ begitu kata hati.

-bersambung-