10 November, hari pahlawan kata seorang teman. Gamang, dalam diam mencoba berjalan sembari menunggu adzan maghrib dikumandangkan, menunggu waktu berbuka tiba, bukan hal yang istimewa, namun menjadi begitu bermakna manakala doa itu dilantunkan, permintaan itu saya sebutkan, dalam lirih saya meminta diiringi titik-titik yang membasahi ubin kayu camp petrosea ini.
11 November 2008
Hujan deras membasahi bumi sedari adzan shubuh dikumandangkan. Rasa malas mulai menggerayangi, selepas menjumpai Nya, mencoba mengikuti hasrat diri untuk lelap kembali sembari menanti adzan shubuh dikumandangkan di masjid yang letaknya tak jauh dari camp ini.
Tak lama, terdengar gemuruh air dan entah kenapa firasat ini menangkap hal yang tidak menyenangkan agaknya. Mencoba melayangkan rasa malas agar terbawa arus air hujan yang jatuh dengan deras. Ternyata, camp ini kebanjiran, masya Allah air sudah meluap-luap berwarna cokelat, menggelombang, hanya dalam beberapa jam saya yakin kamar saya pun akan tergenang.
Tak sempat, semua barang-barang saya masukan ke dalam ransel 45 liter, laptop dan perangkat elekronik lainnya harus aman dari guyuran air hujan. Hmmmh, tak menyangka camp ini bisa kebanjiran juga, agak menggetarkan jiwa, karena saya tidak bisa berenang, sementara air terus naik karena guyuran air hujan yang dirasa semakin deras saja.
Masya Allah, keringat dingin mulai mengucur di seluruh tubuh saya. Suara air hujan yang jatuh semakin lama semakin terdengar, saya bermimpi ternyata, tapi tidak juga, karena perangkat sholat saya hampir basah semua, bisa dikatakan saya memang kebanjiran dan yang menjadi korban mukena dan sejadahnya. Yah tumben rasanya, biasanya selepas menjumpai Nya, itu mukena saya lipat untuk kemudian lelap, tapi kali ini, memang sudah menjadi rezeki dari air hujan hingga diri menjumpai-Nya pada saat kebasahan.
Pagi menjelang, hampir pkl 05.30 WITA, tetapi hujan belum juga mengizinkan sang mentari untuk mengudara pagi ini. Semakin deras saja dirasa, akhirnya jas hujan itu mendapat kesempatan untuk menemani diri ke pabrik pagi ini. Khawatir terlambat, di bawah guyuran air hujan saya kayuh sepeda tua milik pak djoko, sepeda yang sudah penuh dengan gurat-gurat ketuaannya, sepeda yang rodanya sudah tidak lagi mantap pada tempatnya, sepeda yang harus dikayuh dengan susah payah karena karat yang menghiasi seluruh persendiannya.
Khawatir terlambat hanya sebatas khawatir karena tenyata saya belum terlambat, dan subhanallah kantor masih terkunci, sementara hujan tak mau kompromi, terpaksa menunggu di luar, di bawah derasnya air hujan. Mau kembali, ‘ah tak jadi’ kaki ini sudah mulai menimbunkan asam laktatnya hingga ia berkata ‘aku akan merasa lelah untuk waktu yang lama’, akhirnya menunggu, menunggu di depan pintu security sampai pak satpam mulai bertanya, bertanya tentang pertanyaan-pertanyaan yang tadinya luar biasa, kini menjadi biasa saja.
Seperti biasa, tanggapan pak satpam tidak jauh berbeda dengan bapak-bapak yang lainnya, ‘berani ya’ dan yang paling membuat geli hati, ketika pak satpam berkata ‘jantan, benar-benar jantan’ , saya hanya tertawa mendengar si bapak berkata. ‘memangnya saya ayam, -ku ku ruyuuuukkkk- sampai dibilang jantan’ ya tentunya kalimat itu hanya berkutat di dalam hati saja.
-bersambung-