Pages

Tuesday, January 6, 2009

Dia yang berada di sebelah

Hari itu hari sabtu, selepas membeli sesuatu, aku beranjak pergi meninggalkan kota ini, menempuh perjalanan selama 2 jam, menemui ibu. Sepanjang jalan, duduk dalam diam bersebelahan dengan penumpang non muhrim yang tepat berada di sebelahku.

Tidak nyaman? Itu sudah tentu, agak sedikit kesal bercampur geli. Kesal karena ini penumpang berlaku sesuka hati, ia bertubuh besar, sepanjang perjalanan ia habiskan dalam diam, karena menyengajakan untuk tertidur agar perjalanan 2 jam tidak dirasa melelahkan (mungkin). Kesal, ya sempat aku merasa kesal, penumpang yang satu ini, bergerak sesukanya, tubuh besarnya membuat aku terpaksa merapat-rapat ke dinding bus agar tidak tersentuh aku olehnya.

Hhh beginilah, kesal? Ya karena tidak ia pikirkan aku, penumpang yang berada di sebelahnya, geli? Ya, karena ini penumpang berbuat sesuka hati, tidak pedulikan aku, tidak juga pedulikan penumpang yang berada tepat di depannya, yah mencoba memaklumi, karena dia tidak sedang dalam keadaan sadar diri.

Menjelang berbuka, akhirnya aku sampai juga. Beberapakali ibu mencoba menghubungi, tapi tak terdengar, hingga sebuah sms ku terima yang isinya ade mau sahur dan buka pakai apa?’.. ah ibu, ada-ada saja, aku sudah seperti anak kecil layaknya, ku balas sms itu dengan berkata ’terserah ibu saja’, tak lama, telepon genggam ini kembali berbunyi, ibu yang bicara ’ade mau buka pakai apa?’. Terserah saja bu, begitu jawabku, lalu ’pakai ini ya? Iya ku jawab sederhana, ’kalau pakai ini gimana?’ iya, terserah ibu saja, ade ikut aja’ ibu pun mengakhiri dengan berkata ’assalammu’alaikum’.

Hmmm masih dalam diam menunggu angkutan untuk mengantarkan sampai tujuan, masih dalam diam menahan pipi kiri yang membuat suhu tubuh ini semakin meninggi.

Tak lama, tiba di rumah, tak ada ibu tidak juga adik lelaki ku. Hanya ada seorang tukang bangunan, yang mengenali aku, tapi tak ku kenali ia karena sudah begitu lama tidak berjumpa. Mendekati waktu berbuka puasa, ibu tiba, dengan adik lelakiku. Kemana ayah, kakak dan adik perempuanku? Mereka bertiga sedang pergi keluar kota, di rumah ini hanya ada ibu dan adik lelakiku yang menemani ibu, itulah kenapa beberapa waktu yang lalu ibu berkata ’ade kenapa gak pulang saja, di rumah ibu cuma berdua’. Dan ku katakan tidak bisa, dengan alasan yang begitu banyaknya.

Ibu membawa masuk barang belanjaannya, hanya tiga orang yang ada di rumah ini. Aku, ibu dan adik lelakiku itu, tapi ibu berbelanja seperti layaknya di rumah ini berisi lebih dari tiga orang saja. Ia mulai memeriksa, melihat sakit yang aku bawa. Ibu bilang ’besok kita ke dokter’.

Cerita ini dirasa begitu panjang, entah mengapa belakangan ini aku menjadi manusia yang terlalu banyak bicara, terlalu banyak berkata-kata.

-bersambung-