Aku pulang, begitu kata ku di dalam hati, di dalam benak ini. Dan seperti apa rupa benak? Aku tak tahu, bahkan hingga kini.
Kembali menumpahkan sesuatu dengan harapan kiranya bisa menjadi sesuatu yang bermakna dan berharga di lain waktu. Aku pulang, dalam keterpaksaan dalam kesakitan, dalam ketidakrelaan, menyerah pada keadaan. Tadinya, ingin ku tahankan rasa sakit yang meradang pada pipi ini, pada gusi ini, yang harus menderita sedemikian sehingga karena gigi geraham belakang yang terus menerus memaksa untuk keluar melihat peradaban dunia seperti apa rupanya.
Normalnya, sudah bukan waktunya aku untuk terus tumbuh dan berkembang, apalagi untuk urusan gigi geraham belakang. Tapi apa mau dikata, Allah sudah gariskan. Hanya bisa menitikkan air mata dalam diam, menahan rasa sakit yang menjalar hingga ke kepala. Ingin memberitahu orang tua, ah kurang ajar sekali rasanya. Ketika bahagia entah berada dimana kalbu ini saat itu, tapi manakala sakit mendera yang kuingat hanyalah ibu, ya hanya ibu dan jatuhlah air mata kala itu.
Entah mengapa, tak berapa lama selepas menemui Nya, telepon genggam itu berbunyi, melongok sejenak, meninggalkan sajadah tua milik ayah, ternyata ibu yang mencoba menghubungi. Ingin berbohong, manakala ibu bertanya ’ade sehat?’, tidak tega rasanya bila berkata sembari merengek manja ’ade lagi sakit bu’, tapi hati mengurungkan niat itu, niat untuk mengadu.
Ada ikatan batin antara ibu dengan anak yang ia kandung selama 9 bln 10 hari sampai bertaruh nyawa dalam melahirkannya. Ya, ibu tahu bahwa anaknya sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Lama, akhirnya mengakui juga, bahwasannya aku sedang berada dalam keadaan tidak baik-baik saja. Ibu memerintahkan aku untuk segera pulang.
Awalnya, alasan-alasan dikemukakan, alasan agar aku tidak perlu pulang, ibu menerima, tapi itu hanya berlaku di awal. Paginya, ketika waktu sahur tiba, telepon genggam kembali berbunyi kencang, ibu kembali bertanya ’bagaimana giginya? Sudah sahur belum?’ ku katakan aku tidak biasa makan sahur, sistem pencernaan ini tidak mau kompromi soal itu’ perkara gigi, masih belum sembuh hingga saat ini. Begitu kira-kira jelas ku pada ibu.
Akhirnya, ibu benar-benar memaksa, tidak ada toleransi lagi, ibu meminta aku segera pulang ke rumah, mengobati pipi yang semakin lama semakin gembul saja karena ulah si gusi yang tidak juga mau kompromi.
-bersambung-