Lapar, ya saya lapar. Kota bontang tidak seperti dalam bayangan. Tidak ada yang berjualan, tidak ada warung-warung kecil, dan yang paling membuat iba hati adalah, dalam radius beberapa kilometer dari sini, tidak ada itu yang namanya warnet. Semua areal pabrik, maka ketika rasa lapar mendera, merasa lega ketika pak siin berkata bahwa makan malam itu akan diantarkan ke camp sore ini juga. Menunggu dalam diam, mendengarkan suara jangkrik-jangkrik malam, membuat harmoni demi menghibur diri. Adzan maghrib menggema, sesuatu yang akan menghilangkan lapar, belumlah terdengar. Hingga akhirnya saya pun terpaksa menghubungi pak siin bahwasannya makan malam belum juga tiba.
Tak lama, suara langkah kaki itu terdengar, ternyata pak siin datang beserta istri dan anak lelakinya. Beliau membawakan saya makanan beserta satu botol air mineral berukuran besar. ‘kok belum datang ya’ begitu kata beliau pada saya, setelah terlebih dahulu memperkenalkan istri dan anaknya. Istrinya asli orang sini, sedang beliau berasal dari jawa, merantau jauh entah sejak tahun berapa, saya tidak begitu mengetahui tentangnya.
Saudara itu mulai ada, ya ketika beliau beserta istri pamit meninggalkan diri, saya memberikan selembar uang untuk menggantikan uang pak siin yang terpakai, dan beliau berkata ‘ndak usah mbak, ndak apa kok’. Saya hanya bisa diam, berdiri sembari tersenyum tertahan, saya tidak tahu harus berkata apa selain ‘terima kasih pak’, beliau pun beranjak pergi bersama istri dan seorang puteranya.
Tidak habis pikir? Ya, saya hanya bisa diam di atas sejadah yang enjun pinjamkan pada saya, memori di kepala ini memutar kebeberapa waktu yang lalu, ke masa ketika seorang teman saya berkata ‘jauh amat cep, kamu kan gak ada saudara di sana’, ya memang tidak ada, saya hanya bisa tersenyum getir mendengarnya lalu ‘ada saudara sesama muslim di sana’ begitu jawab saya sekenanya, saya hanya sekedar mengucapkan saja, dan ternyata Allah memang memberikannya, maka saya ingin katakan ‘pertolongan Allah itu, memang dekat adanya’.
Sendiri di kota ini, awalnya tak mengapa, karena memang ini pilihan saya. Tak mungkin pula bercerita pada mereka yang berada di sana, karena memang pada dasarnya mereka di sana berkata ‘untuk apa’, sial melankolie itu merasuki hati, dalam sepi, titik-titik air itu jatuh lagi, mencoba menenggelamkan diri dalam larut malam ini, akhirnya memutuskan untuk terlelap selepas menunaikan sholat dua rakaat.
Bontang seperti jauh dari peradaban, tidak juga, karena memang mobil-mobil mewah berkeliaran, hanya saja, apa yang dapat dengan mudah saya temui di kota lain, tidak akan saya temui di sini.
Tidak ada itu warnet yang buka 24 jam, tidak ada itu swalayan yang bertebaran, tidak juga warung nasi yang mengais-ngais rezeki, yang ada hanya sepi, jalan-jalan besar, dan pepohonan di sana sini. Ternyata beginilah kota bontang, tempat dimana PT Pupuk Kaltim berdiri.
-bersambung-