Pages

Monday, January 19, 2009

Hidup itu pilihan

Hidup ini pilihan, dan sudah menjadi pilihan saya untuk berada di sini, berpikir, memutar otak bagaimana kiranya proses membuat laporan nanti. Saya lupa akan satu hal, hingga sebuah pesan sampai kepada saya, isinya

Rasulullah SAW bersabda “barang siapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim).

Saya hanya diam, di atas sajadah yang enjun pinjamkan pada saya, bukan kata-kata surga yang membuat saya tertegun, terdiam untuk beberapa saat lamanya, tetapi kata-kata ‘Allah memudahkan’ membuat kepala ini terbangun dari kebodohannya, saya lupa bahwasannya saya masih memiliki-Nya, bila memang niat saya berada di sini karena Allah adanya, Ia pasti akan memberikan pertolongan-Nya pada saya, karena pertolongan Allah itu dekat adanya.

Tak lama, beberapa hari kedepannya, Ayah saya berkata bahwasannya uangnya akan beliau kirimkan melalui rekening saya, sembari berkata ‘ibunya jangan dulu diberitahu ya de’, Allah itu baik adanya, bahkan pada saya hamba yang tak seberapa bila dibandingkan dengan hamba Nya yang lainnya.

Saya tidak punya keluarga di sini, tidak satu pun. Sampai seorang ibu yang kemudian memperkenalkan dirinya dengan sebutan ‘saya ummi zaid mbak’ dan saya terka zaid adalah nama anak pertamanya, anak lelakinya. Saya sudah katakan tidak ada warung di sekitar tempat saya tinggal bukan, maka saya harus memutar otak bagaimana caranya saya bisa makan malam dan sarapan tanpa harus kelaparan. 5 hari pertama di camp tempat saya berada, perusahaan sediakan sarapan dan makan malam, sedang makan siang kami lakukan di kantin perusahaan.

5 hari pun lewat sudah, tidak ada pilihan lain, akhirnya memasak bukan lagi menjadi sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan. Meminjam panci pada pak un

tung, seorang bapak yang bertanggung jawab atas camp dan fasilitas yang ada di camp tempat saya berada. Beliau juga pinjamkan saya sapu, dan tak lupa setrika hingga ketika setrika ternyata tidak bisa dipakai, beliau membawakan saya setrika yang baru, benar-benar masih baru, saya tahu itu karena labelnya masih terpasang di gagang setrika yang beliau pinjamkan pada saya. Kadang menghela nafas panjang, mengapa Allah begitu baiknya pada saya.

Awalnya saya pikir akan memasak nasi menggunakan panci, tapi tak lama, ummi zaid meminjamkan saya sebuah rice cooker, peralatan memasak, beserta perlengkapan makan, subhanallah, saya tidak bisa berkata apa-apa. Saudara sesama muslim itu memang ada, saya temukan mereka dimana-mana, dipabrik, juga di camp tempat saya berada. Mulai dari ummi zaid hingga pak salam, pekerja kontrak di pabrik tempat saya berada.

Ummi zaid, saya tidak tahu siapa nama aslinya. Ummi asli orang jawa, merantau sejak lulus SMA, ‘saya ikut pak le’ saya dulunya mbak’ begitu ceritanya pada saya, hingga ummi berjumpa dengan abi yang belakangan saya baru tahu bahwa abi bernama purwanto, dan dari namanya kita bisa tahu, abi juga berasal dari jawa.

Pernah suatu kali ummi bercerita tentang perkenalannya dengan abi, menikah tanpa pernah melihat siapa calon suaminya, hanya melihat melalui selembar photo saja. Saya hanya tersenyum mendengarkan ummi bercerita tentang kisahnya, lalu ummi berkata ‘lucu mbak, saya juga ndak tahu kok bisa ya’, yah namanya juga jodoh, hingga akhirnya ummi berkata ‘mau saya carikan ikhwan sini mbak?’ gdubbbrakkkk, tawaran ummi membuat geli hati, lalu saya katakan ‘saya ndak berani ummi’.

Tak ingin membahas terlalu lama tentang hal pernikahan, geli hati ini dibuatnya. Maka saya kembali bercerita tentang saudara, saya tidak tahu apa alasannya, tetapi ummi dan keluarga begitu baiknya pada saya, subhanallah keluarga ini. Padahal saya tahu penghasilan abi dan umi tidak seberapa, abi bekerja sebagai pengurus masjid, sedang ummi sebagai guru mengaji. Mereka menghidupi ketiga anaknya, seorang lelaki zaid namanya, dan dua orang anak perempuan mereka yang lahir bersamaan, ya anak kedua mereka kembar, sholehah dan syahidah, begitu mereka memanggilnya.

-bersambung-