Pages

Tuesday, January 13, 2009

Bisnis yang tidak menyenangkan

Hari semakin gelap, rasa lapar mulai berderap-derap, menjalar. Beginilah kelas bisnis, tak menyenangkan, tidak ada penjual yang meramaikan, selain petugas kereta api yang hilir mudik menjajakan makanan, dan sudah pasti mahalnya tidak sesuai dengan kantong mahasiswa seperti saya, tapi apa mau dikata, rasa lapar kali ini memenangkan pertarungan, mau tidak mau, semahal apa pun, tetap saja rasa lapar harus ada obatnya, saya membelinya, satu porsi nasi goreng, dan saya sudah lupa berapa harganya, yang jelas berlabel ‘mahal’ di kepala saya.

Ada sesuatu yang membangkitkan rasa melankolie di dalam perjalanan itu, seorang bapak bernyanyi sebuah lagu untuk anaknya yang masih balita ‘naik kereta api, tut..tut..tut siapa hendak turut, ke bandung, Surabaya.. bla..bla..bla’ senyum itu pun tersungging dengan sendirinya, menghela nafas panjang, perjalanan dalam kesendirian, menyenangkan, memberikan waktu pada kepala dan hati agar tersinkronisasi untuk berpikir betapa dunia ini seperti ini, penuh dengan harmoni.

Sayup-sayup bibir ini mengikuti si bapak yang bernyanyi, lirih, lalu tenggelam ditelan deru rel kereta api yang melaju kencang, hingga lamat-lamat terdengar lalu hilang sama sekali, hilang terlelap bersama rasa kantuk yang semakin merayap, ya saya tertidur, entah untuk beberapa lama.

Kota Surabaya, kota kesekian yang saya singgahi pada akhirnya meskipun hanya beberapa hari. Seorang teman saya, meila namanya, menjemput saya dengan sepeda motornya di stasiun wonokromo, saya tinggalkan pemuda-pemuda yang satu tempat duduk dengan saya, setelah mengucapkan terima kasih kerena sudah membantu menurunkan tas ransel besar itu dari bagasi kereta yang agak sulit terjangkau oleh tubuh yang tingginya tak seberapa ini.

Surabaya, kota kenangan di tahun 45. Panas, sungai-sungai sudah tidak layak disebut sungai agaknya, tapi setidaknya masih sedikit lebih baik bila dibandingkan dengan sungai yang ada di Jakarta, berwarna gelap, pekat, berbau tak sedap. Awalnya hanya mendengar saja, tapi akhirnya merasakan juga betapa Surabaya tak jauh berbeda dengan Jakarta. Tidak ada angin semilir bertiup, sulit sekali bagi indera penglihatan untuk menemukan pepohonanan di sepanjang perjalanan menuju tempat meila tinggal.

Lumayan lelah menahan beban 45 liter, dengan arus lalu lintas yang padat, mencoba menjaga keseimbangan agar tidak jatuh karena beban di punggung yang subhanallah beratnya. Surabaya, seorang teman saya berkata ‘baru selesai mandi sudah keringetan lagi cep’, begitu ia bercerita pada saya dan saya turut merasakan juga pada akhirnya. Alhamdulillah saya hanya satu hari di sana, hanya menumpang semalam, tidak enak rasanya bila merepotkan teman terlalu lama, terlebih lagi cuaca yang panasnya subhanallah menurut saya, saya tidak ingin tinggal di kota seperti ini, begitu kata hati, tingkat individualisme yang begitu tinggi turut mempengaruhi pernyataan hati kala itu.

Saya terbang dengan penerbangan pertama, ya karena hanya ada dua waktu untuk penerbangan menuju Kalimantan timur dengan menggunakan maskapai itu, tak saya sebutkan maskapai apa yang saya gunakan, tidak etis rasanya seperti promosi bila saya menyebutkan namanya.

Kali pertama saya menggunakan transportasi jalur udara, tidak menyenangkan. Kenapa? Karena hanya 1 jam lebih 30 menit, tidak banyak yang dapat dilihat kecuali awan putih, seperti kapas, ingin rasanya keluar dan menjatuhkan diri di atasnya. Semua nampak kecil bila di lihat dari atas, dan semakin kecil manakala mengingat kejadian yang menimpa Adam Air beberapa waktu yang lalu. Allah benar-benar memiliki kuasa atas segala sesuatu.

Kali pertama saya menaiki burung besi bermesin tua sepertinya, kalau boleh memilih, ingin naik kereta api saja rasanya, tapi tak ada itu jalur kereta api menuju kalimantan, ingin naik kapal saja pada awalnya, tapi ‘gak boleh berangkat kalau mau naik kapal’ begitu ancam ayah pada saya kala itu. Terpaksa menurut, padahal menyenangkan nampaknya berada di atas kapal selama berhari-hari, berada di tengah-tengah laut, tapi was-was yang mungkin akan dirasa ayah dan ibu, karena saya tidak bisa mengapung di atas air, ya saya tidak bisa berenang, agak malu saya mengatakannya, tapi memang begitu adanya.

-bersambung-