Pages

Friday, August 8, 2008

Buitenzorg to Batavia, untuk sebuah rencana

Chapter -1

Nama saya sekar, kalau pun ada yang memanggil saya dengan sebutan singkat ‘cep’, maka saya katakan bahwa itu sekedar sebutan dan tidak dengan serta merta nama saya berubah menjadi ’cep’ atau sebagainya.

Nama saya sekar, terserah apakah kalian yang membaca mau mempercayainya atau tidak yang jelas saya akan tetap bersikukuh pada apa yang saya katakan, bahwasanya nama saya adalah sekar. Seperti biasa, saya akan mencoba memutar memori di beberapa waktu yang lalu.

Saya anak perempuan

Malam itu, hmmh langit nampak cerah, yah kira-kira seperti itulah yang saya ingat dan bila ingatan saya salah, maka maklum saja karena saya seorang anak manusia.

Kata-kata ’mengapa harus saya yang pergi?’ pertanyaan itu terus saja membayangi, membuat melankoli hati hingga titik-titik air itu ingin jatuh lagi. Lemah sekali saya ini bukan? Entahlah, orang lain yang melihat, biasa berkata bahwa saya tidak pernah bersedih agaknya. ’Hah tahu apa manusia-manusia itu tentang saya? Sejatinya mereka tidak tahu apa-apa’.

Malam ini, saya akan kembali pergi keluar kota, tepatnya pulau Jawa. Entahlah, namun hati ini tidak ingin pergi, malas, begitu lelah dirasa, karena sejatinya baru beberapa waktu yang lalu saya kembali dari perjalanan jauh.

’Mengapa harus saya yang pergi?’, kata-kata itu masih saja membayangi. Saya perempuan, berjalan jauh sendirian, malam-malam, mendatangi terminal yang kata orang, terminal paling menyeramkan untuk tataran negeri yang kaya akan orang-orang yang gemar korupsi. Mengapa harus saya yang pergi, masih banyak teman-teman lelaki. Katanya mereka tidak tahu jalan, katanya mereka khawatir tersasar.

Bagaimana dengan saya, saya juga tidak tahu jalan, saya pun takut tersasar. Tapi, yang terjadi pada kalian tidak akan semengerikan bila itu terjadi pada saya, tak kan mungkin kalian digagahi oleh lelaki-lelaki di luar sana. Kembali, saya hanya seorang anak perempuan dan mereka tetap saja tidak menyadari bahwasannya saya hanya seorang anak perempuan.

Menyusuri jalan sembari pikiran ini terus saja melayang-layang. Entah seperti apa kiranya pikiran yang melayang-layang, saya tidak pernah tahu dan tidak ingin tahu. Saya tidak punya tujuan yang pasti, hanya memperturutkan langkah kaki. Memenuhi undangan pernikahan seorang kawan, yang menurut sebagian orang saya hanya memaksakan.

Sampai lah saya di terminal Rajabasa, satu-satunya terminal yang ada di kota ini. Terminal yang mengerikan bagi sebagian orang. Melangkahkan kaki, menuju bus jurusan pelabuhan Bakauheni, ya saya akan menyeberangi pulau Sumatera malam ini.

Mobil patas, tak ber-AC, yah hanya bus ini yang akan berangkat pada jam-jam ini, pkl 20.30 malam waktu Indonesia bagian barat.

Duduk termenung, sembari mendekap tas ransel yang sarat dengan pakaian yang sepertinya tidak akan semua saya kenakan melainkan hanya sebagai cadangan.Kondektur bus ini berkata ”Mbak kardusnya diletakkan di bawah bangku saja”, begitu katanya pada saya. Kardus itu saya bawa, berisi satu buah durian yang berukuran lumayan besar, sekedar buah tangan untuk pembimbing PKL saya yang memang menggemari buah berduri itu.

Kardus pun berpindah tempat, tak apalah karena memang baunya sungguh mengganggu bagi yang tidak menyukainya. Tak lama, seorang pria berseragam hijau tua, meminta izin untuk duduk di sebelah saya.

To be continued....