Pages

Wednesday, August 20, 2008

Dia dosen saya

Dia dosen saya, dosen baru, bertubuh tambun.

Masih ingat dengan PIMNAS Vs kelas kambing? Yah dia lah yang mengatakan secara tidak langsung bahwa Univ saya juga termasuk ke dalam kelas kambing.

Apa saya marah? Tidak. Buat apa, toh mungkin saja memang kelas kambing. Lantas mengapa ia menjadi salah satu manusia yang saya amati kemudian saya tuliskan ke dalam catatan pikiran ini? Tidak ada, hanya ada beberapa hal darinya yang entah apa itu, saya jgua tidak tahu.

Beberapa bilang, dia frustasi, ada juga yang katakan dia belum menunjukkan prestasi apa-apa, hanya bisa omong saja. Apa saya juga berpikiran begitu? Insya Allah ndak begitu, dia dosen saya, saya menghormatinya, tidak saya marah karena dia katakan UNILA tidak seperti institutnya yang di sana.

Sekali waktu, dia pernah bercerita, betapa begitu kentara perbedaan antara institutnya dengan kampus hijau saya tercinta. Apa saya marah? Kesal? Ah tidak, tak perlu itu semua, karena memang itu nyatanya. Saua hanya berkata ”yah begitulah UNILA pak, lagipula kenapa dulu bapak memilih mengajar di sini. Di sini nggak ada apa-apa pak. Korupnya saja yang banyak, makanya kampus ini nggak maju-maju”

Mau tahu apa alasan dia? Materi, ya materi. Hmm jawaban yang jujur, realistis. Dia katakan, yang intinya, di sana, di kota kembang, sulit untuk menjadi kaya. Yah saya hanya mendengarkan dengan seksama ceritanya. Memang, nampak beberapa kali dari cerita yang ia sampaikan pada saya, bahwasannya ia kecewa, ia belum bisa seperti rekan-rekan sejawatnya di sana.

Inilah salah satu potret kehidupan, setidaknya ia sudah berusaha jujur dengan apa maunya. Saya tidak patut mengatakan ia begini, atau ia begitu dalam konotasi yang negatif.

Sedangkan nabi musa menghadapi fir’aun dengan lemah lembutnya. Sejatinya, antara saya dan nabi musa, saya tidak ada apa-apanya. Sejatinya, antara si bapak dan fir’aun, sungguh jauh berbeda, karena di dalam Al Qur’an, Allah benar-benar murka pada pharaoh hinggá mendaulatnya langsung menyeberang ke neraka dengan jam penerbangan pertama.

Maka siapakah saya, bila sampai saya melontarkan kata-kata mencemooh, mengatai-ngatai si bapak yang katanya kecewa dengan kampus saya yang nota benenya memang jauh berbeda dengan institutnya. Maka siapakah saya yang berani-beraninya mengata-ngatai si bapak yang menisbatkan diri menjadi salah satu penganut paham sekuler di negeri ini.

Saya bukan siapa-siapa, saya hanya manusia tak ubahnya seperti si bapak yang sama manusianya dengan saya.

Beginilah hidup, beginilah manusia, banyak macam dan ragamnya. Sekali lagi, saya menghormatianya, karena ia sama manusianya dengan saya, saya menghargainya, karena bagaimana pun juga ia dosen saya. Dan hari ini, seorang teman berkata “bapak itu sholat cep”. Entah mengapa, berkali-kali saya ucapkan subhanallah, saya benar-benar gembira mendengarnya.