Pages

Wednesday, August 13, 2008

Buitenzorg to Batavia, untuk sebuah rencana

chapter -10

Tamu kondangan paling lama

Dari sekian banyak tamu yang hadir, nampaknya saya dan ketiga orang teman yang baru saya kenal, adalah tamu undangan yang paling lama berdiam di tempat kondangan. Kami tiba pkl 10.30 dan baru pulang sekitar pkl 15.00, bisa dihitung berapa jam yang kami habiskan di tempat si empunya kondangan.

Sebenarnya, bukan karena memang ingin berlama-lama, karena sesungguhnya rasa malu sudah mulai menghampiri manakala para tamu undangan yang lain sudah mulai angkat kaki dan berganti dengan tamu yang lain lagi.

Belum lagi seorang teman saya, yang sebentar-sebentar berjalan, menghampiri meja hidangan. Menurutnya sayang kalau makanan yang sudah disajikan tidak dihabiskan. Saya dan kedua orang teman saya yang lain tersenyum geli, karena nampaknya teman saya yang satu ini memang doyan makan.

Panitia empunya kondangan sudah mulai lirik sana-sini, sesekali mengamati kami yang belum juga beranjak pergi. Mereka tersenyum entah untuk alasan apa, yang jelas, melihat mereka saling melemparkan pandangan saja, saya sudah malu dibuatnya. Belum lagi ketika beberapa ibu-ibu yang nampaknya masuk ke dalam pasukan barisan panitia konsumsi, mulai menghidangkan kembalin makanan kecil ke hadapan kami.

Malu, ya malu, terlebih lagi ketika seorang ibu berkata ’Ayo makan lagi neng’. Baru sekitar pkl 14.00, penyebab lamanya kami di kondangan ini sudah datang. Ya, kami menunggu seorang teman yang berjanji akan datang ke si empunya kondangan, vidi namanya.
Membiarkan dia menarik nafas sebentar, membiarkan ia menyantap hidangan makan siangnya yang mungkin akan merangkap menjadi makan malamnya, selesai.

Sekitar pkl 15.00 saya dan keempat orang teman saya, berpamitan. Sebelumnya orang tua si empunya hajatan meminta kami menunggu sebentar, ’Oh tidak, si bapak membekali kami dengan makanan’, ’Buat diperjalanan’ begitu katanya.

”Terima kasih pak” begitu ucap saya dan keempat orang teman saya. Tak lama ”Mau pulang naik apa neng? Di sini gak ada kendaraan yang lewat, biar dicarikan tukang ojeg saja”. Begitu kata si bapak, yang mungkin merupakan salah satu anggota keluarga dari si empunya kondangan yang perempuan.

Pasrah, daripada harus berjalan kaki, naik ojeg pun dijabani. Memang cukup jauh, tak terbayang kalau kami berlima harus berjalan kaki, kira-kira entah pukul berapa kami baru bisa sampai di kota Bandung.

Si bapak dan beberapa orang temannya mengantarkan kami sampai di tempat mobil angkutan menuju terminal Subang. Bapak dan beberapa orang temannya langsung beranjak pergi, baik sekali, kami berlima tidak perlu membayar jasa mereka. Padahal sejatinya, profesi sampingan mereka adalah tukang ojeg, jadilah kami berlima menumpang dengan titel gratisan.

to be continued...