Bapak bilang ”dia anak saya”
Bapak berjumpa dengan komandannya, dan yang membuat saya terkejut adalah ketika bapak perkenalkan saya sebagai anaknya, anak pertamanya.
Diam, pada awalnya saya tidak mengerti, hanya meng-iyakan apa-apa yang mereka katakan, apa yang mereka tanyakan. ”Sama siapa pak” begitu tanya istri pak komandan pada awalnya. ”Sama istrinya ya?” lanjut si ibu. ”bukan, sama anak saya” aku bapak. ”Oh nomor berapa?” begitu lanjut si ibu. ”Anak pertama” jawab bapak, ”hmm masih imut-imut ya” begitu tambah si ibu.
Bapak mengakui saya sebagai anaknya dan komandan bapak beserta istrinya mempercayai apa yang bapak katakan.
Kapal melaju dengan kecepatan sekian knots perdetik, saya tidak tahu karena memang saya tidak ingin tahu.
Pertanyaan ’mengapa harus saya yang pergi’, yang beberapa waktu lalu membuat sedih hati, lambat laun mulai hilang, terbang, melayang bersama angin laut yang berhembus di luar sana.
Saya bukan orang yang bisa diam untuk beberapa saat lamanya, maka sudah bukan menjadi hal yang istimewa manakala saya mulai menghujani bapak dengan pertanyaan-pertanyaan seputar pekerjaannya.
Bapak bilang, gajinya kecil, resikonya besar, nyawa jadi taruhan apalagi ketika bapak ditugaskan ke lapangan. Bukan hanya mereka-mereka yang ingin lepas dari Indonesia yang mengincar nyawa bapak dan satuannya, tetapi anak buahnya pun bisa menjadi lawannya manakala bapak sebagai komandannya dirasa tidak berkenan di hati mereka.
Lalu ”makanya, hubungan dengan anak buah itu harus dijaga” begitu kata bapak pada saya. Tak lama istri komandan yang duduk di depan saya dan bapak berkata ”wah, anak sama bapak harmonis ya”. Saya dan bapak hanya tersenyum saja, ”lagi dengar cerita profesi bapaknya ya?” begitu lanjut si ibu. ”iya bu, biar tahu gimana susahnya kerjaan bapak” begitu jawab saya yang semakin melengkapi kegelian dalam kebohongan yang bapak ciptakan.