Pages

Friday, August 15, 2008

Buitenzorg to Batavia, untuk sebuah rencana

chapter -13
Bus tua dan asimilasi budaya

Mencoba mengetuk pintu kamar seorang teman untuk kemudian berpamitan pulang, hari ini saya harus segera pergi menuju Buitenzorg untuk kemudian meneruskan perjalanan ke Batavia. Sepanjang jalan, aktivitas mulai terlihat meskipun belumlah ramai karena manusia-manusia pekerja masihlah lelap di dalam mimpi panjangnya. Terminal ini tetap saja ramai, meskipun belumlah terlihat penumpang-penumpang yang sedianya memadati terminal manakala matahari sudah bertengger di atas kepala ini.

Tidak ada senyum disunggingkan, perjalanan kali ini belumlah terlihat dimana letak hikmah dan belumlah juga akan sarat dengan petuah-petuah yang biasanya menggelitik kepala untuk berpikir kemudian menuliskannya hingga menjadi baris-baris kalimat penuh makna atau mungkin hanya sekedar tulisan yang membosankan bagi mata manusia-manusia yang membacanya…..entahlah

Bus DAMRI jurusan terminal Leuwi Panjang, saya masih belum mengerti apa dan kenapa terminal itu diberi nama seperti itu, tidak sempat bertanya dan tidak pula tahu harus bertanya pada siapa hingga pada akhirnya menjejakkan diri di bangku belakang dari bus DAMRI tujuan Leuwi Panjang. Lama, manusia mulai memadati bus yang saya taksir tak lagi muda ini.

Kursi yang sudah tambal sana-sini, belum lagi karat yang begitu kentara hingga bus ini semakin menunjukkan kerentaannya,. Pikir saya, di luar sana ini bus sudah dimuseumkan, tidak lagi digunakan, tapi dipress untuk kemudian jadi onggokan, rongsokan. Di Negeri ini, bus-bus seperti ini masihlah beroperasi, meskipun tingkat emisifitas yang melebihi ambang batas.

Bus berjalan, dengan suara mesin yang memekakkan, tapi lama-kelamaan seperti sebuah harmoni dari sebuah kehidupan yang memang sejatinya mau tak mau menjadi wajib untuk didengarkan, untuk kemudian menjadi bahan renungan, bagi yang mau mempelajari filosofi dari sebuah bus DAMRI yang sudah berusia senja ini. Sejatinya, bus ini menjadi saksi bisu dari setiap percakapan yang terjadi di dalamnya, ia menjadi salah satu dari sekian banyak saksi bisu dari zaman yang terus berkembang. Sekiranya ia bisa berbicara, tentulah ia sudah banyak bercerita, berkisah tentang manusia-manusia dan tentang apa saja yang sempat dilihat dan dilewatinya meskipun hanya dalam sekejap mata.

Silih berganti, pengamen-pengamen jalanan mulai menghibur dengan sekenanya untuk sekedar mendapatkan penghasilan. Tidak seberapa sebenarnya, hanya uang-uang receh yang mereka kumpulkan. Mulai dari seorang yang kurang akal yang mencoba menghibur manusia-manusia yang berakal, mengapa saya katakan dia tidak berakal? Karena memang Allah ciptakan dia dalam kekurangan.

Tak lama berselang, pemuda-pemuda tanggung, mencoba memanjakan penumpang dengan bernyanyi dan berdendang. Saya tidak begitu memperhatikan, hingga tak lama berselang setelah kepergian mereka, seorang lelaki paruh baya yang entah bagaimana ceritanya, sudah berada di sebelah saya. Bertanya darimana, sekolah dimana, hingga ia bercerita tentang pekerjaannya sebagai pemandu wisata dengan dua orang anak yang blasteran Indonesia dan istrinya yang berkebangsaan Australia.

Mendengarkan dalam diam, asimilasi budaya. Seperti apa dampak yang ditimbulkannya, mendekati kantor pariwisata di jalan Braga, lelaki paruh baya itu turun setelah kemudian memberikan no handphonenya pada saya.

Beliau meminta saya menemuinya bila saya sedang berada di kota Bandung. Ia ingin berdiskusi sesekali, saya hanya bisa menganggukkan kepala, lalu memberi senyum sekenanya. Lelaki paruh baya pun turun, melambaikan tangannya pada saya. Kembali, membalas sekenanya, sembari kepala ini terus menerus berpikir ‘agama apa yang dianut oleh kedua anaknya?’. Entahlah, saya tidak tahu, tidak pula terpikir untuk bertanya saat itu. Beginilah dunia......

to be continued ....