Sebuah kontemplais bagi cacat diri
Kelima
Keinginan untuk segera keluar dari kampus hujau unila membuat saya berkenalan dengan seorang bapak pegawai dekanat FMIPA, umurnya berapa? Saya tidak begitu mengetahuinya, tetapi nampaknya tidak begitu jauh berbeda dengan usia ayah saya, sudah separuh abad, ya ayah saya sudah tua, tetapi beliau selalu berkata “ayah masih muda de, masih ganteng” begitu kelakarnya pada saya putrinya.
Saya sadar, pada saat menjajakan pop mie, di kereta kelas ekonomi, bahwa saya sudah berlaku sombong, mungkin rasa sombong itu sudah muncul dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tetapi, bapak petugas dekanat itu berkata, menasehati saya, ketika saya bercerita tentang pengalaman saya berjualan di kereta, dan berakhir pada kalimat “saya sudah sombong pak… bla..bla..bla”, beliau menimpali dengan berkata “gak boleh sombong, apa yang kita lakukan, orang lain juga bisa lakukan, hanya mungkin ada yang langsung bisa, ada yang perlu belajar untuk bisa”. Diam, saya hanya diam, bapak sekretaris itu benar, apa yang saya lakukan, orang lain pun bisa lakukan.
Antasida mulai bekerja, system pencernaan sudah mulai kembali normal bekerja sepertinya.
Berat, nafas itu berat tertahan, mendengarkan bapak pegawai dekanat.
Allah sudah memuliakan manusia, melebihkan manusia di atas makhluk Nya yang lainnya. Dia berikan dunia dan segala isinya, Dia anugerahkan akal dan pikiran, Dia ciptakan manusia, dengan sebaik-baiknya bentuk. Dan bila ada satu dari kita yang berkata “si fulanah atau si fulan mengalami cacat fisik atau mengalami cacat mental”, itu hanya sekedar sudut pandang yang manusia hasilkan.
Di sisi lain, Dia katakan kita, manusia, sombong, lemah, tergesa-gesa, mudah berputus asa, gemar bekeluh kesah. Ketika ditimpa musibah, kita meratap, kita menghamba, dan bila musibah itu terlepas, bila anugerah nikmat itu didapat, kita lupa, kita khianat. Kita diibaratkan seekor kera, seekor keledai, seekor anjing, yang tercipta dari air mani, air yang hina. Sebegitu hinanya kita, hingga bila bukan karena rahmat dan kasih Nya, aku, kamu, mereka dan kita semua, bukan apa-apa, bukanlah apa-apa.
Manusia tidak pernah dapat menciptakan selain menemukan dan menghasilkan, itu pun karena rahmat dan kasih Nya pada manusia hingga manusia dapat gunakan akal dan pikiran yang ia ciptakan.
Saya sombong, padahal saya tidak memiliki apa-apa, sama sekali. Bahkan hingga tulisan ini saya munculkan, bisa jadi saya pun sudah merasa sombong, riya, ujub, hanya saja, mungkin saja, mereka bersembunyi, terselubung oleh kabut yang berada di dalam hati dan kepala, hingga yang nampak hanya remang-remang saja.
Beberapa orang katakan, kamu pandai menulis, kamu pandai berbicara di depan khalayak ramai, ada juga yang katakan, budi pekerti mu baik, bapak pegawai dekanat itu pun berkata “sampeyan niki wes ayu, baik, sopan, sopo sing jadi bojo mu nduk, beruntung sekali” begitu ujar si bapak, tersenyum, saya malu.
Kelima
Keinginan untuk segera keluar dari kampus hujau unila membuat saya berkenalan dengan seorang bapak pegawai dekanat FMIPA, umurnya berapa? Saya tidak begitu mengetahuinya, tetapi nampaknya tidak begitu jauh berbeda dengan usia ayah saya, sudah separuh abad, ya ayah saya sudah tua, tetapi beliau selalu berkata “ayah masih muda de, masih ganteng” begitu kelakarnya pada saya putrinya.
Saya sadar, pada saat menjajakan pop mie, di kereta kelas ekonomi, bahwa saya sudah berlaku sombong, mungkin rasa sombong itu sudah muncul dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tetapi, bapak petugas dekanat itu berkata, menasehati saya, ketika saya bercerita tentang pengalaman saya berjualan di kereta, dan berakhir pada kalimat “saya sudah sombong pak… bla..bla..bla”, beliau menimpali dengan berkata “gak boleh sombong, apa yang kita lakukan, orang lain juga bisa lakukan, hanya mungkin ada yang langsung bisa, ada yang perlu belajar untuk bisa”. Diam, saya hanya diam, bapak sekretaris itu benar, apa yang saya lakukan, orang lain pun bisa lakukan.
Antasida mulai bekerja, system pencernaan sudah mulai kembali normal bekerja sepertinya.
Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. QS. al-Isra' (17) : 37
Berat, nafas itu berat tertahan, mendengarkan bapak pegawai dekanat.
Allah sudah memuliakan manusia, melebihkan manusia di atas makhluk Nya yang lainnya. Dia berikan dunia dan segala isinya, Dia anugerahkan akal dan pikiran, Dia ciptakan manusia, dengan sebaik-baiknya bentuk. Dan bila ada satu dari kita yang berkata “si fulanah atau si fulan mengalami cacat fisik atau mengalami cacat mental”, itu hanya sekedar sudut pandang yang manusia hasilkan.
Di sisi lain, Dia katakan kita, manusia, sombong, lemah, tergesa-gesa, mudah berputus asa, gemar bekeluh kesah. Ketika ditimpa musibah, kita meratap, kita menghamba, dan bila musibah itu terlepas, bila anugerah nikmat itu didapat, kita lupa, kita khianat. Kita diibaratkan seekor kera, seekor keledai, seekor anjing, yang tercipta dari air mani, air yang hina. Sebegitu hinanya kita, hingga bila bukan karena rahmat dan kasih Nya, aku, kamu, mereka dan kita semua, bukan apa-apa, bukanlah apa-apa.
Manusia tidak pernah dapat menciptakan selain menemukan dan menghasilkan, itu pun karena rahmat dan kasih Nya pada manusia hingga manusia dapat gunakan akal dan pikiran yang ia ciptakan.
Saya sombong, padahal saya tidak memiliki apa-apa, sama sekali. Bahkan hingga tulisan ini saya munculkan, bisa jadi saya pun sudah merasa sombong, riya, ujub, hanya saja, mungkin saja, mereka bersembunyi, terselubung oleh kabut yang berada di dalam hati dan kepala, hingga yang nampak hanya remang-remang saja.
Beberapa orang katakan, kamu pandai menulis, kamu pandai berbicara di depan khalayak ramai, ada juga yang katakan, budi pekerti mu baik, bapak pegawai dekanat itu pun berkata “sampeyan niki wes ayu, baik, sopan, sopo sing jadi bojo mu nduk, beruntung sekali” begitu ujar si bapak, tersenyum, saya malu.
-bersambung-