Kontemplasi 8 Juli 2009
chapter 2
Berangkat dari rasa muak, karena sikap berlebihan tim sukses masing-masing pasangan dalam mengiklankan, dalam berjanji, maka saya bingung hingga akhirnya saya putuskan, kali ini saya tidak akan memilih sepertinya. Tetapi ini lah saya kini, manusia dengan noda biru tua di jari kelingkingnya, noda itu saya dapatkan tepat setelah saya memilih satu dari tiga calon presiden yang ada di dalam kertas, di dalam bilik suara.
Quick count, manusia bersifat tergesa-gesa, dan karena sifat ketergesa-gesaan itu pulalah akal dan pikirannya berkata, “mengapa tidak membuat sebuah inovasi dengan menggunakan system penghitungan cepat untuk mendapatkan hasil yang paling tidak mendekati akurat”, maka terlahirlah system quick count ke dunia.
Salah satu capres dipastikan menang dan pilpres nampaknya benar-benar akan menjadi satu putaran. Bangsa ini benar-benar membutuhkan orang dewasa yang berpikiran dewasa, sejatinya bagi yang menang semakin merendah ia, hatinya. Laksana padi yang semakin padat berisi bulirnya, maka semakin merunduklah ia karena isinya. Seperti itu pula harapannya pada manusia, seperti itu pula seharusnya yang terjadi pada capres yang diprediksikan unggul oleh media. Dan bagi yang kalah, seyogyanya menerima kekalahan dengan lapang dada.
Bukan dengan mengumbar “bla…bla…bla.. menang” atau “bla….bla..bla… terjadi kecurangan”, yang satu takabur, yang satu sibuk mencari kesalahan, mencari kambing hitam, hingga yang saya khawatirkan karena ia dilengkapi dengan 9 perasaan dan 1 logika, maka ia akan berkata “pemilu harus diulang”, maka saya akan berkata “masya Allah, demi Allah, semakin gila manusia”, mereka katakan proses demokrasi, ada juga yang katakan “untuk belajar berdemokrasi, tak mengapa banyak dana dihabiskan”.
Baiklah, Ok, saya marah, “astaghfirullah, sontoloyo, gila, edan, mual rasanya”. Demokrasi ??? demokrasi macam apa yang ada di kepalamu, demokrasi macam apa, bila rakyat di luar sana menggelandang, busung lapar, gizi buruk. Demokrasi macam apa hingga hampir semua anggaran Negara dikucurkan ke sana, untuk dana kampanye, bilik suara, kertas suara, dan segala macam tetek bengek lainnya.
chapter 2
"mari merenung sejenak"
Berapa banyak kertas yang dihabiskan, berapa banyak plastik dan kain yang akhirnya hanya menjadi tumpukan, onggokan, dan berapa banyak cat warna yang habis hanya untuk pudar sia-sia dimakan cuaca yang semakin tidak menentu saja. Hingga, berapa banyak lagi pohon-pohon yang harus ditebang karena kebutuhan manusia akan kertas yang semakin meningkat setiap harinya.Berangkat dari rasa muak, karena sikap berlebihan tim sukses masing-masing pasangan dalam mengiklankan, dalam berjanji, maka saya bingung hingga akhirnya saya putuskan, kali ini saya tidak akan memilih sepertinya. Tetapi ini lah saya kini, manusia dengan noda biru tua di jari kelingkingnya, noda itu saya dapatkan tepat setelah saya memilih satu dari tiga calon presiden yang ada di dalam kertas, di dalam bilik suara.
Quick count, manusia bersifat tergesa-gesa, dan karena sifat ketergesa-gesaan itu pulalah akal dan pikirannya berkata, “mengapa tidak membuat sebuah inovasi dengan menggunakan system penghitungan cepat untuk mendapatkan hasil yang paling tidak mendekati akurat”, maka terlahirlah system quick count ke dunia.
Salah satu capres dipastikan menang dan pilpres nampaknya benar-benar akan menjadi satu putaran. Bangsa ini benar-benar membutuhkan orang dewasa yang berpikiran dewasa, sejatinya bagi yang menang semakin merendah ia, hatinya. Laksana padi yang semakin padat berisi bulirnya, maka semakin merunduklah ia karena isinya. Seperti itu pula harapannya pada manusia, seperti itu pula seharusnya yang terjadi pada capres yang diprediksikan unggul oleh media. Dan bagi yang kalah, seyogyanya menerima kekalahan dengan lapang dada.
Bukan dengan mengumbar “bla…bla…bla.. menang” atau “bla….bla..bla… terjadi kecurangan”, yang satu takabur, yang satu sibuk mencari kesalahan, mencari kambing hitam, hingga yang saya khawatirkan karena ia dilengkapi dengan 9 perasaan dan 1 logika, maka ia akan berkata “pemilu harus diulang”, maka saya akan berkata “masya Allah, demi Allah, semakin gila manusia”, mereka katakan proses demokrasi, ada juga yang katakan “untuk belajar berdemokrasi, tak mengapa banyak dana dihabiskan”.
Baiklah, Ok, saya marah, “astaghfirullah, sontoloyo, gila, edan, mual rasanya”. Demokrasi ??? demokrasi macam apa yang ada di kepalamu, demokrasi macam apa, bila rakyat di luar sana menggelandang, busung lapar, gizi buruk. Demokrasi macam apa hingga hampir semua anggaran Negara dikucurkan ke sana, untuk dana kampanye, bilik suara, kertas suara, dan segala macam tetek bengek lainnya.
-bersambung-