Sebuah Kontemplasi bagi cacat diri
Keempat
Saya tidak mengingat kesombongan-kesombongan yang lainnya, yang saya hasilkan, yang saya nampakkan pada saat saya duduk di bangku sekolah dasar, di bangku SLTP tidak juga di bangku SMA. Maka, mari mereview kembali kesombongan yang saya hasilkan pada saat saya menginjak masa-masa dewasa.
Hari itu hari sabtu sepertinya, tanggal berapa saya lupa tepatnya, tapi insya Allah kejadian itu berlangsung satu tahun yang lalu, ya kurang lebih begitu.
Di dalam kereta menuju desa kelahiran saya, baturaja. Bukan karena ingin pulang ke kampong halaman, tetapi adik lelaki ibu saya yang nomor Sembilan, menikah pada hari minggunya. Singkat cerita, saya mengambil kesimpulan bahwa kereta ekonomi tidak begitu menyenangkan, karena asap rokok yang sedianya selalu lalu lalang, mengganggu pernapasan.
Inilah sombong yang ketiga, rasa sombong itu ada ketika seorang penjual pop mie di kereta jurusan tanjung karang – baturaja, belum berhasil menjajakan dagangannya. Tiba-tiba hati ini berkata, antara sisi putih dengan sisi hitamnya.
Sisi putih berkata “hitung-hitung cari pengalaman, bagaimana rasanya menjadi mereka yang mencari apa yang namanya penghidupan di atas kereta yang berjalan, di atas kereta yang penuh sesak, di atas kereta yang bercampur baur segala macam bau manusia”.
Sisi hitam berkata “mari buktikan, masak kamu tidak bisa menjual satu buah saja. Kamu seorang sefta, pedagang pop mie itu saja bisa, lantas mengapa kamu ndak bisa”, yak benar sekali, sisi hitam itu pada saat itu, pada hari itu, lebih mendominasi hati dalam berniat, sombong sekali rasanya. Dan saya baru sadari itu beberapa saat kemudian, dalam keadaan malu, karena ternyata satu pop mie pun tidak ada yang laku.
Berjalan dari gerbong yang satu ke gerbong yang lainnya, sudah mandi peluh dan keringat saya saat itu, tetapi Allah menggariskan di dalam buku catatan kehidupan saya, bahwasannya saya tidak akan dapat menjual satu pun pada saat itu, hari itu, di atas kereta itu.
Saya sudah dewasa, bukan anak TK, bukan SD, bukan SLTP, bukan pula SMA, maka tak berapa lama, saya pikir, saya kira, hati dan kepala saya berkata, mereka mencoba membantu saya menarik satu benang merah, dari sekian banyak benang yang berwarna-warni yang menghalang rintang di dalam kepala saya saat itu.
Pertama, ternyata mencari uang itu bukanlah hal yang mudah, bahkan menjual satu buah mie instant pun, saya belum dapat, meskipun sejatinya saya sudah hilir mudik menjajakan, mengesampingkan rasa malu, mengesampingkan panas terik matahari yang menyinari atap gerbong kereta pada saat itu, hingga produksi keringat tubuh saya meningkat.
Kedua, ini yang membuat saya malu, betapa saya sudah diliputi rasa ujub, sombong , dengan beranggapan bahwa “tidak mungkin saya tidak bisa menjual satu buah mie instant pun” saat itu.
Hari ini, nikmat itu sedang berkurang satu, tubuh saya mengalami disfungsi, system pernapasan ini terganggu, berimbas pada system syaraf yang lainnya hingga rasa demam itu sedikit mendera. Lama, nikmat yang lainnya berkurang pula, penyakit maag itu mendera system pencernaan saya, kalau sudah begini, tak berguna bersombong-sombong ria.
Keempat
Saya tidak mengingat kesombongan-kesombongan yang lainnya, yang saya hasilkan, yang saya nampakkan pada saat saya duduk di bangku sekolah dasar, di bangku SLTP tidak juga di bangku SMA. Maka, mari mereview kembali kesombongan yang saya hasilkan pada saat saya menginjak masa-masa dewasa.
Hari itu hari sabtu sepertinya, tanggal berapa saya lupa tepatnya, tapi insya Allah kejadian itu berlangsung satu tahun yang lalu, ya kurang lebih begitu.
Di dalam kereta menuju desa kelahiran saya, baturaja. Bukan karena ingin pulang ke kampong halaman, tetapi adik lelaki ibu saya yang nomor Sembilan, menikah pada hari minggunya. Singkat cerita, saya mengambil kesimpulan bahwa kereta ekonomi tidak begitu menyenangkan, karena asap rokok yang sedianya selalu lalu lalang, mengganggu pernapasan.
Inilah sombong yang ketiga, rasa sombong itu ada ketika seorang penjual pop mie di kereta jurusan tanjung karang – baturaja, belum berhasil menjajakan dagangannya. Tiba-tiba hati ini berkata, antara sisi putih dengan sisi hitamnya.
Sisi putih berkata “hitung-hitung cari pengalaman, bagaimana rasanya menjadi mereka yang mencari apa yang namanya penghidupan di atas kereta yang berjalan, di atas kereta yang penuh sesak, di atas kereta yang bercampur baur segala macam bau manusia”.
Sisi hitam berkata “mari buktikan, masak kamu tidak bisa menjual satu buah saja. Kamu seorang sefta, pedagang pop mie itu saja bisa, lantas mengapa kamu ndak bisa”, yak benar sekali, sisi hitam itu pada saat itu, pada hari itu, lebih mendominasi hati dalam berniat, sombong sekali rasanya. Dan saya baru sadari itu beberapa saat kemudian, dalam keadaan malu, karena ternyata satu pop mie pun tidak ada yang laku.
Berjalan dari gerbong yang satu ke gerbong yang lainnya, sudah mandi peluh dan keringat saya saat itu, tetapi Allah menggariskan di dalam buku catatan kehidupan saya, bahwasannya saya tidak akan dapat menjual satu pun pada saat itu, hari itu, di atas kereta itu.
Saya sudah dewasa, bukan anak TK, bukan SD, bukan SLTP, bukan pula SMA, maka tak berapa lama, saya pikir, saya kira, hati dan kepala saya berkata, mereka mencoba membantu saya menarik satu benang merah, dari sekian banyak benang yang berwarna-warni yang menghalang rintang di dalam kepala saya saat itu.
Pertama, ternyata mencari uang itu bukanlah hal yang mudah, bahkan menjual satu buah mie instant pun, saya belum dapat, meskipun sejatinya saya sudah hilir mudik menjajakan, mengesampingkan rasa malu, mengesampingkan panas terik matahari yang menyinari atap gerbong kereta pada saat itu, hingga produksi keringat tubuh saya meningkat.
Kedua, ini yang membuat saya malu, betapa saya sudah diliputi rasa ujub, sombong , dengan beranggapan bahwa “tidak mungkin saya tidak bisa menjual satu buah mie instant pun” saat itu.
Hari ini, nikmat itu sedang berkurang satu, tubuh saya mengalami disfungsi, system pernapasan ini terganggu, berimbas pada system syaraf yang lainnya hingga rasa demam itu sedikit mendera. Lama, nikmat yang lainnya berkurang pula, penyakit maag itu mendera system pencernaan saya, kalau sudah begini, tak berguna bersombong-sombong ria.
-bersambung-