Pages

Saturday, July 11, 2009

Prologue

Kontemplasi 8 juli 2009,
chapter 1


"mari mengulas kembali"

Kadang apa yang menurut kita penting, belum tentu menurut orang lain penting. Miris, seperti menagih simpati dari sesama kalangan manusia. Malang, laksana seorang lebay yang tak ada satu orang pun mau memperhatikan.

Mari berkisah di sebuah halaman word berwarna biru tua, pekat, ditemani nyanyian orchestra jangkrik-jangkrik rawa, sembari sesekali terdengar suara riuh ramai kendaraan yang lalu lalang di luar sana, sembari sesekali dijeda dengan deru klakson transportasi paling egois abad ini, kereta api. Entah mengapa hingga kini masih dinamai kereta api, padahal seumur hidup saya, tidak pernah melihat kereta itu mengeluarkan api.

Hari ini, tgl 8 juli 2009, menjadi hari paling bersejarah bagi rakyat Indonesia yang beragam macam suku bangsa, agama, dan budaya. Pemilihan umum presiden secara langsung untuk kedua kalinya setelah yang pertama kali dilakukan pada tahun 2004 silam.

Tidak ingin memilih pada awalnya, tak lain dan tak bukan, karena di lingkungan asrama, kami-kami mahasiswa sudah sejak lama kehilangan hak pilihnya, entah mengapa. Bahkan saya yang sudah bertahun-tahun berada di daerah ini pun, tetap saja tidak mendapatkan hak untuk memilih, kecuali pada pemilu tahun 2004 lalu.

Ibu saya bilang, “pulang, sayang satu suara, usahakan untuk pulang”. Nampaknya kali ini, kami satu keluarga memiliki satu suara, memilih calon yang sama. Agak malas sebenarnya, karena beberapa hari yang lalu, karena pulang pergi, akhirnya tubuh ini menunjukkan keeksistensiannya atas diri saya. Sebagian besar mengalami disfungsi, dimulai dari sakit kepala yang luar biasa, disusul dengan flu dan batuk yang tak terhingga, lalu demam hingga akhirnya penyakit maag itu pun ikut bersuara, ia turut andil dalam acara “pesta mogok” yang dilakukan oleh tubuh saya.

Benar-benar tim yang solid, benar-benar kolaborasi yang sempurna. Akhirnya, traumatic, saya putuskan untuk tidak pulang, tidak memilih, “toh, yang terpilih pun tidak akan bisa membantu menyelesaikan tugas akhir saya” begitu kata saya pada ibu. Dan keesokan harinya “bu, tolong surat undangan untuk memilih saya dibawa, insya Allah saya sampai di rumah pkl 11”, begitu kiranya bunyi pesan saya pagi ini.

Memutuskan untuk pulang pergi, entahlah, panggilan nurani, ya saya menamakan ketololan saya kali ini dengan sebutan “panggilan nurani”. Saya tiba di kotabumi, perjalanan 2 jam dari tanjung karang, tempat saya menuntut ilmu. Kata ibu “langsung saja ke tempat Om wustho”, ya rumah pak RT masih tetap menjadi tempat pemungutan suara. Entah sejak tahun berapa bapak yang satu itu menduduki jabatannya, yang jelas, sepertinya ia memang tidak pernah ada yang menggantikannya. Apakah pak RT itu ingin seperti bung karno yang berkeinginan menjadi presiden seumur hidupnya???? Sepertinya tidak, sepertinya bukan. Karena setahu saya RT tidak digaji, selain dari pada tanggung jawab yang menanti.

Perbedaan antara kedua jabatan itu adalah bahwa jabatan yang pertama RT tentunya, bisa dihitung dengan jari orang-orang yang mau mengembannya, atau memang tidak ada, bahkan meskipun RT sebelumnya ingin menyerahkan tampuk kekuasaannya dengan sukarela, tetap saja, tidak akan ada yang mau mengembannya menggantikan pejabat sebelumnya.

Berbeda dengan jabatan yang satunya, presiden. Manusia rela mati demi mendapatkannya, capres-capres menghabiskan dana yang tak terbayangkan oleh gelandangan-gelandangan yang kelaparan di luar sana, yang mungkin memegang uang 50ribu rupiah saja sudah bukan main senangnya. Milyaran rupiah tidak tanggung-tanggung mereka keluarkan.

Muak, saya muak, melihat iklan-iklan yang bertebaran, ditambah lagi dengan spanduk, baliho, papan reklame, semua ada, semua lengkap, setiap sudut jalan tidak akan luput dari gambar-gambar yang hanya akan menjadi sampah pada akhirnya.

------