Pages

Wednesday, July 1, 2009

Listrik padam, alhamdulillah

Listrik padam, menulis atau lebih tepatnya mengetik di dalam kegelapan, ditemani alunan musik toshiro masuda, meraba-raba tuts keyboard laptop yang tak terlihat kerana gelap, tapi subhanallah insting yang Dia ciptakan, tak banyak kesalahan yang saya lakukan.

Listrik padam, sebagian besar aktivitas di jalan kopi, di Asrama Annisa ini terhenti, tidak ada suara nyaring televisi, tidak pula suara-suara merdu penyanyi-penyanyi band pendatang baru, atau pun suara musik gila yg berasal dari kost-kostan tetangga.

Beberapa orang kawan yang berasal dari jurusan yang sama, jurusan fisika, yang berdomisili tidak jauh dari tempat saya berada. Terkadang sering kali menggoda bila listrik padam itu tiba, “belum bayar listrik” begitu katanya. Saya hanya tertawa, tertawa penuh tanda Tanya atas kelakar mereka. Kadang rasa kesal itu tiba, bertanya, berpikir, bagaimana mungkin sekaliber propinsi bisa acap kali mengalami apa yang namanya pemadaman bergilir, terkadang bukan lagi pemadaman bergilir, tetapi lebih nampak pemadaman tak tentu waktu.

Lebih mengesalkan lagi karena wilayah kampus terkadang terkena imbas dari pemadaman, berpikir, pantas saja kiranya propinsi ini tidak maju-maju begitu kata kepala dan hati saya pada saat itu, dan saya sudah lupa kapan kiranya kepala dan hati saya mengatakan itu.

Tak selamanya yang nampak negative itu begitu negative, pun sebaliknya. Tak selamanya yang nampak positif itu sebenarnya positif, kamu tak mengerti, saya pun tak mengerti.

Sisi lain dari listrik yang padam malam ini, bahwasannya ada pemandangan lain yang lebih indah dari pada sekedar memandangi pemandangan yang ada pada saat lampu-lampu itu menyala, dari pada pemandangan buatan yang televisi tampakkan melalui ketampanan, melalui kecantikan, melalui kemolekan tubuh pria dan wanita yang sebenarnya hanya kamuflase belaka, yang saya pikir, semua itu keindahan yang sia-sia.

Keindahan itu ada pada gugusan bintang-bintang yang nampak tersebar, nampak mengacak, nampak tak beraturan tetapi justru sebaliknya. keindahan itu ada pada malam yang Ia ciptakan, malam yang sudah menggantikan siang pada hari ini, malam yang dipenuhi dengan bintang-bintang yang bertaburan.

Ada kesenangan, ada ketenangan, ada kebahagiaan yang muncul dari listrik yang padam pada malam ini hari ini. Setidaknya terhentilah semua nyanyian-nyanyian duniawi yang melenakan, yang dilantunkan oleh suara-suara merdu yang Allah ciptakan, anugerahkan pada manusia-manusia agar dengan suara merdu yang mereka dapatkan, mereka dapat bersyukur dan bertasbih menyebut asma Nya, tapi entahlah, waallahu alam, seberapa banyak dari mereka, kita, manusia yang menyadari itu semua.

Alunan-alunan musik dunia, picisan, roman-roman cinta sia-sia yang melenakan, semua terhenti. Pada kenyataannya, menurut hati dan kepala diri saat ini, ada alunan musik yang lebih indah dari itu semua, ada harmoni yang lebih merdu dari pada sekedar tabuh genderang, petikan gitar, atau dentingan piano yang manusia hasilkan dari gerak tangannya. Alunan musik itu muncul dari jangkrik-jangkrik yang mengerik, harmoni itu tercipta dari serangga-serangga yang menghuni rawa yang berada tepat di belakang asrama.

Hingga pada akhirnya, Alhamdulillah untuk listrik yang padam, yang menyala tak berapa lama kemudian. Tidak ada suara televisi yang terdengar meskipun listrik sudah menyala yang menghasilkan terang benderang. Manusia-manusia itu sudah lelah dalam aktivitas seharinya, manusia-manusia itu sebagian besar memilih mengakhiri harinya di dalam lelapnya, di dalam dengkurannya, di dalam nyenyak tidurnya.

Cinta, aku cinta, suka aku suka, ada keindahan di balik kegelapan, ada kesejukan di balik dinginnya, derasnya air hujan, ada semangat di balik panas matahari yang menyengat, pada akhirnya dengan menyebut nama Nya, akal, pikiran berkata Alhamdulillah untuk itu semua.