Pages

Sunday, July 19, 2009

Sombong itu menyakitkan

Sebuah kontemplasi bagi cacat diri
Ketiga


Sombong yang berikutnya benar-benar sombong yang menyakitkan, menyesakkan, dan memalukan.

Jam pelajaran olah raga itu tiba, semua murid bebas bermain di luar, asalkan gelarnya tetap berolah raga, bukan hanya diam, tertawa “Cekikikan” tidak jelas, seperti yang teman-teman perempuan saya lakukan. Main kasti, setidaknya begitu kesepakatan yang timbul antara kami para murid dengan guru yang mengajar olah raga pada saat itu.

Baiklah, pemukul kasti sudah ada di tangan seorang teman saya, bola sudah diambil alih oleh teman saya yang lainnya. Semua sudah berada pada posisi jaga, termasuk saya. Dan ketika teman saya berkata “jangan di depan situ sef, nanti kena bola” begitu kata teman saya, lelaki. Tidak menggubris, saya sudah katakan saya ini sombong bukan, maka inilah sombongnya. Saya pikir, saya pasti bisa menghalau bola kuning bergaris, berdiameter tak sampai 10 cm itu.

Dan bila saya bisa menangkap bola yang dipukul itu, lalu melemparkannya tepat ke tubuh tim lawan saat itu, maka saya pikir tim saya bisa menang.

Keras kepala, satu lagi fakta yang saya temui tentang saya selain introvert adalah bahwa saya sudah keras kepala sejak kecil nampaknya. Maka, “ya sudahlah”, mungkin seperti itu yang ada di kepala teman-teman saya saat itu. Bola pun dilempar, dengan kecepatan yang saya tidak tahu berapa kilometer/jam, atau berapa knots untuk ukuran kecepatan kapal. Seorang teman saya, yang menjadi lawan dalam permainan pun sudah siap dengan pemukulnya, tak lama, “hap”, bola dan pemukul itu bertemu, lalu tiba-tiba semua terasa menyesakkan. Bola yang dipukul, tapi mengapa saya merasakan sakit yang luar biasa bahkan hingga tidak bisa bernapas dengan leluasa.

“brukkk, saya terjatuh”, setelah sebelumnya terdiam menahan rasa sakit tepat di bawah tulang rusuk. Nampak remang-remang, rekan-rekan silih berganti bertanya “kamu gak papa sef?”, si pemukul berkata sembari tersenyum menampakkan barisan gigi-giginya “tu kan, sudah saya bilang, jangan dekat-dekat sef, ujung-ujungnya kena bola kan?”

Setidaknya itulah yang saya ingat, saya memang berhasil menangkap bola kuning itu, tetapi bukan dengan kedua tangan saya, melainkan dengan perut saya. “udah ke UKS aja yuk” begitu ujar teman-teman yang perempuan, tetapi dengan sombongnya saya berkata “gak apa, gak papa kok”, senyum tidak jelas itu saya sunggingkan, senyum menahan rasa sakit, senyum menahan rasa sesak karena tidak dapat bernafas bebas untuk beberapa saat. Saya “sok” kuat, padahal saat itu rasa sakit yang amat sangat sudah mendera system syaraf yang berada di sekitar perut saya yang terkena lemparan bola. Tapi, demi menyelamatkan muka yang sebenarnya bukan milik saya, dengan sombongnya saya berkata “tidak apa-apa”.

Inilah sombong yang kedua dan konyol, lucu rasanya, karena saya menyadari kesombongan saat itu baru beberapa hari yang lalu.

-bersambung-