Pages

Tuesday, July 14, 2009

Mari menatap hari

Pagi tanggal 14 juli 2009, sedih itu sudah hilang, mencoba memaafkan sumber kesedihan, karena ia memang menyedihkan. Mencoba menelan pil pahit akibat janji-janji yang selalu diabaikan, yang kerap dibatalkan dengan kata-kata andalan melalui pesan "afwan", selalu begitu, selalu seperti itu.

Sehari yang lalu, kemarin tepatnya tanggal 13 juli 2009, ia sudah kerap kali berjanji untuk kemudian mengabari kembali melalui sebuah pesan singkat dengan berkata "afwan sefta". Aku manusia, mencoba menembus batas ke-manusiaan ku dari berkata, beranggapan bahwa "sabar ada batasnya". Mencoba mengenyahkan jauh-jauh dengan berkata "tidak apa, ya sudah", pada awalnya. Berkali-kali, kepala dan hati diliputi rasa bosan dengan janji yang sudah beberapa kali tidak pernah ditepati oleh nya, oleh dia. Dengan mengemukakan berbagai macam alasan, hingga menurut kepala saya lebih tepatnya dia mengajukan alasan sebagai pembenaran.

Kemarin, 13 juli 2009, satu pelajaran "jangan pernah berharap pada manusia", pada akhirnya kecewa itu muncul ke permukaan. Untuk kesekian kali, janjinya ia batalkan, rasa marah, sedih, kesal, bercampur baur di dalam hati saya. Enggan untuk segera beranjak angkat kaki dari masjid kampus Al wasi'i, ada rasa sedih di dalam hati yang harus aku obati, segera agar tidak berbuah penyakit hati suatu hari nanti.

Air mata itu hampir jatuh rasanya akibat rasa kesal dan kecewa yang sudah memuncak rasanya. Tapi, tarikan nafas panjang itu meredakan, mencoba merebahkan diri, sembari menata hati dan pikiran, menanamkan, menancapkan dengan sekuat tenaga di dalam hati dan pikiran bahwa "dia hanya manusia" serta sesekali mematri di dalam hati "coba posisikan dirimu pada posisinya". Sudah, selesai, sebuah pesan saya kirimkan, pesan yang terkirim karena saya memang sudah tidak dapat lagi berbuat apa-apa, bersama pesan itu saya katakan "terserah saja, saya sudah lelah, sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa".

Saat itu, ingin menangis keras rasanya, ingin mendengar suara ayah, suara ibu lalu berkata "ibu saya sedang sedih". Tapi itu hanya sebatas angan, keinginan itu saya batalkan, saya biarkan rasa sedih itu berlalu bersamaan dengan dentang jarum jam "tik tak, tik tak". Saat itu adalah saat itu, maka beberapa jam kemudian, di dalam gelap remang-remang dini hari, hari ini.

Di dalam diam, hening yang sesekali diselingi lolongan anjing tanpa henti sejak pkl 23.39 malam tadi, saya bercerita, saya tumpahkan semua, saya mengadukan apa yang saya rasakan, hingga helaan nafas itu membantu menjernihkan pikiran dengan berkata "maafkan saja", ya hanya itu yang saya punya, rasa memaafkan sembari berharap agar Dia memberikan kesabaran.

Beberapa jam berlalu, pagi ini, membukan hari dengan mengucap doa selepas bangun dan terjaga dari tidur yang tak sampai 3 jam rasanya. Semanga itu harus ada, harus tetap ada, senyum itu harus tetap disunggingkan, ditampakkan pada manusia yang lainnya, karena ada hak mereka atas diri saya. Pagi ini, yang kemarin ya itulah kemarin, sudah berlalu beberapa jam yang lalu, harus tetap melangkah, menatap hari dengan senang.


Menghirup udara pagi dalam-dalam, mendengarkan kicau burung-burung yang semakin lama semakin riuh terdengar. Sesungguhnya terdapat tanda-tanda kekuasaan Nya di balik pergantian siang dan malam, ada kuasa Nya pada burung-burung yang terbang hilir mudik mencari makan, membuat sarang, yang berkicau setiap harinya.

Cinta sebening embun, mari menatap hari dengan semangat tinggi, tidak terlampau berlebihan di dalam kurang, tidak pula terlampau berlebihan di dalam lebih. Tidak boleh kalah dengan matahari, tidak juga boleh mengalah pada burung-burung pagi, tidak juga mengalah pada hembusan angin di pagi hari, hari ini.