Pages

Thursday, July 23, 2009

Pandai-pandailah bersyukur

Sebuah kontemplasi bagi cacat diri
Keenam


Sehari yang lalu, rawa belakang asrama, langit-langit yang dipenuhi awan putih yang beranjak kelabu, burung-burung yang terbang sore itu, senja itu, angin yang tak berhembus itu, mereka mengajak saya berpikir akan sesuatu.

Ada yang membuat saya kecewa, ada yang membuat saya sakit hati, ada yang membuat saya ingin dihargai, ingin dihormati, ada pula yang membuat saya tersinggung.

Burung-burung layang itu terbang, hilir mudik, menjelang senja mereka semakin ramai berkumpul di angkasa. Berpikir, kenapa harus kecewa, kecewa akan apa, untuk apa, pada siapa. Mengapa harus sakit hati, pada apa, pada siapa? Manusia? Untuk apa? Karena toh manusia wajar berbuat salah pada manusia yang lainnya. Untuk apa sakit hati, karena hati ini bukan saya yang punya, bukan saya yang miliki kuasa atasnya.

Untuk apa ingin dihargai, untuk apa ingin dipuji, untuk apa pula saya merasa tersinggung. Untuk apa ingin dipahami, untuk apa pula ingin dimengerti, untuk apa pula ingin di dengarkan, tidak menjadi begitu penting itu semua, ketika, manakala saya menyadari bahwa saya tidak punya hak apa-apa atas diri saya, atas pemikiran, atas perasaan, atas hati, atas fisik yang Allah anugerahkan.

Lebih baik menghargai, lebih baik memuji, lebih baik memahami, lebih baik mengerti, lebih baik mendengarkan, lebih baik menjaga perasaan, lebih baik mengalah, lebih baik diam. Pujian-pujian yang manusia tujukan pada saya, saya tidak punya sedikit pun hak atasnya, melainkan Allah yang memiliki kuasa, hak atas segalanya.

Pujian dalam hal fisik? Tak punya hak untuk bangga, karena Allah yang berikan, anugerahkan fisik, rupa, bentuk, ini pada saya. Pujian karena pola pikir, karena tulisan, tak perlu merasa senang, karena akal dan pikiran itu Allah yang berikan dan mengapa saya bisa menulis, mengapa saya bisa berpikir sedikit berbeda dari manusia yang lainnya, semua itu karena Allah, karena Rabb, karena Dia yang arahkan, saya hanya menjalankan, saya hanya meneruskan, saya hanya menikmati hasil.

Dan bilamana saya dikatakan sopan, berbudi pekerti baik dan terpuji, jangan merasa senang hati wahai manusia, karena saya bisa seperti ini karena peran serta mereka-mereka yang berada di dekat saya, yang sudah membantu proses terbentuknya watak dan paradigm berpikir saya saat ini. Hingga, sampailah pada intinya bahwasannya, saya benar-benar tidak memiliki apa-apa untuk disombongkan, bahwasannya saya tidak pula memiliki sesuatu sehingga layak untuk dipuji akan sesuatu itu.

Saya tidak pernah dapat menciptakan karena Mencipta itu adalah kuasa Nya, tidak pula dapat menghasilkan sesuatu yang bermakna kecuali kotoran hasil pembuangan dari system pencernaan. Sisanya, semua Allah yang punya, dan bila mereka memuji saya, tak perlu merasa senang, tak perlu merasa bangga cukuplah berkata Alhamdulillah karena setidaknya kamu tidak membuat Allah malu, tidak membuat Allah murka, tidak membuat Allah marah dan kecewa. Dan bila manusia yang lainnya menyakiti hati, melukai perasaan ini, menyinggung sisi sensitive dari diri ini, maka agar rasa sakit itu tidak ada, katakanlah bahwa “mereka manusia, wajar kiranya berbuat salah” dan “kembalikanlah kepada Yang Memiliki hati agar kiranya Dia berkenan menentramkan hati hingga tidak pernah merasa tersakiti”.

Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.
QS. al-Isra' (17) : 37

Mencoba mensyukuri semua yang Dia berikan, meskipun ada yang katakan bahwa suara yang saya punya seperti suara lelaki begitu kata mereka, bahwa tubuh saya tidak proporsional adanya, dan masih banyak lagi kekurangan lainnya.

Berpikir-berpikir, sampai ketika ada seorang wanita yang berkata “bla…bla…”, saya menjawabnya dengan berkata “ini yang Allah berikan pada saya, saya hanya mencoba mensyukuri dengan menjaganya”, seperti ini pun, saya sudah merasa begitu sempurna, begitu subhanallah karena saya tidak pernah bisa menciptakannya. Hingga ketika mereka katakan suara saya begini, rupa saya begini, bentuk saya begini dan cara berjalan saya begini, maka saya balas dengan berkata bahwa “saya hanya mensyukuri apa yang Allah berikan pada saya”.

--selesai--