Sebuah kontemplasi bagi cacat diri
Pertama
Kamu tau, burung-burung itu kembali berkicau lagi di pagi ini, matahari itu kembali bersinar lagi, dan hari ini usia saya sudah bertambah lagi 1 hari. Selalu begitu akan terus seperti itu siklus yang akan saya hadapi, yang harus saya hadapi. Ingin hidup seribu tahun lagi, ingin tetap berada pada usia ini,23 tahun dan terhenti hingga tidak pernah bertambah lagi. Inginnya ada sesuatu yang tercipta abadi, selama-lamanya, tidak akan pernah berubah, tidak berubah karena waktu, tidak pula berubah karena bertambahnya usia.
Berpikir, sia-sia, bila semuanya berada pada keadaan dimana segala sesuatu bersifat kekal, abadi, selamanya. Maka anak-anak kecil itu akan tetap seperti itu, remaja-remaja itu akan terus seperti itu, orang-orang dewasa, orang-orang tua itu, akan selalu begitu, dalam bentuk dan rupa, dalam pola pikir mereka. Berpikir, kekal, abadi itu akan berujung pada sesuatu yang tidak baik, tidak menyenangkan, tidak indah pada akhirnya. Akan muncul apa yang namanya rasa bosan, karena selalu berada pada usia 23, tidak bertambah tidak pula berkurang. Akan ada rasa jenuh, ketika semuanya nampak sama, dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun, dari abad ke abad. Benar kiranya, segala sesuatu sudah berada pada porsinya, sudah Ia tetapkan masing-masing ketentuannya. Benar pula kiranya, bahwa segala sesuatu yang berlebihan tidak akan baik pada akhirnya.
Manusia-manusia itu terus lahir, kemudian tumbuh, kemudian mereka berkembang biak, hingga tua itu menyapa, hingga nikmat itu sedikit demi sedikit Ia kurangi seiring dengan bertambahnya usia. Ada yang berkurang dalam penglihatan, ada yang berkurang dalam pendengaran, ada pula yang berkurang dalam ingatan, semua kembali seperti awal mula ia diciptakan, awal mula ia ada, awal mula ia lahir ke dunia.
Saya sombong, aku sombong, seseorang pernah berkata “mengapa aib dibuka, bila nyatanya Allah sudah menutup aib kita, manusia”, maka saya mencoba mencari pembenaran, dengan berkata bahwasannya saya tidak sedang membuka aib saya, tetapi saya lebih suka menyebutnya “saya sedang mencoba untuk jujur pada diri saya sendiri, agar rasa sombong itu pergi, atau paling tidak, ia merasa jera untuk sering muncul ke permukaan dan menampakkan diri”.
Sekolah dasar negeri 3 kotabumi, kabupaten kecil yang dari dulu hingga sekarang tidak banyak perubahan yang saya rasakan. Kecuali manusia-manusianya yang datang dan pergi, yang awalnya anak-anak hingga menjadi dewasa dan memilih tinggal atau bahkan meninggalkan tanah kelahirannya.
Saya dilahirkan pada tanggal 20 maret 1986, hari kamis,ba’da shubuh, setidaknya begitu yang kedua orang tua saya katakan, setidaknya begitu yang tertera pada akta kelahiran saya. Nama saya, sefta marisa dwipasari Jn, dengan Jn singkatan dari nama ayah saya, Junaidin. Tidak begitu mengerti mengapa ayah saya menamai saya dengan naman sepanjang itu, selain “ayah ketemunya itu de, ya kalau dulu ayah ngerti nama-nama dari al qur’an, pasti nama kalian sudah diambil dari al qur’an” begitu kira-kita jawab ayah saya, ketika saya bertanya apa makna dari nama yang beliau berikan pada saya.
Tapi yah sudahlah, frasa bahwa “nama itu adalah doa” saya mengerti, saya setuju, sangat setuju akan hal itu. Tapi, bila saya sudah terbentur pada dinding hingga yang tersisa hanya bertahan manakala mereka bertanya apa makna dari nama saya yang begitu panjang, maka saya akan berkata, berkilah, menyelamatkan harga diri yang sebenarnya itu tidak begitu penting bagi manusia macam saya. Saya akan berkata “menurut Shakespeare, apalah arti sebuah nama”, ya begitu, selalu begitu. Dan mereka yang merasa tidak terima, akan kembali berkata “nama itu doa”, di dalam hati “siapa juga yang ndak mau didoakan melalui namanya”, tapi sudahlah, pada akhirnya saya bangga dengan nama yang panjang yang ayah saya berikan, sematkan pada saya anak perempuannya.
Pertama
Kamu tau, burung-burung itu kembali berkicau lagi di pagi ini, matahari itu kembali bersinar lagi, dan hari ini usia saya sudah bertambah lagi 1 hari. Selalu begitu akan terus seperti itu siklus yang akan saya hadapi, yang harus saya hadapi. Ingin hidup seribu tahun lagi, ingin tetap berada pada usia ini,23 tahun dan terhenti hingga tidak pernah bertambah lagi. Inginnya ada sesuatu yang tercipta abadi, selama-lamanya, tidak akan pernah berubah, tidak berubah karena waktu, tidak pula berubah karena bertambahnya usia.
Berpikir, sia-sia, bila semuanya berada pada keadaan dimana segala sesuatu bersifat kekal, abadi, selamanya. Maka anak-anak kecil itu akan tetap seperti itu, remaja-remaja itu akan terus seperti itu, orang-orang dewasa, orang-orang tua itu, akan selalu begitu, dalam bentuk dan rupa, dalam pola pikir mereka. Berpikir, kekal, abadi itu akan berujung pada sesuatu yang tidak baik, tidak menyenangkan, tidak indah pada akhirnya. Akan muncul apa yang namanya rasa bosan, karena selalu berada pada usia 23, tidak bertambah tidak pula berkurang. Akan ada rasa jenuh, ketika semuanya nampak sama, dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun, dari abad ke abad. Benar kiranya, segala sesuatu sudah berada pada porsinya, sudah Ia tetapkan masing-masing ketentuannya. Benar pula kiranya, bahwa segala sesuatu yang berlebihan tidak akan baik pada akhirnya.
Manusia-manusia itu terus lahir, kemudian tumbuh, kemudian mereka berkembang biak, hingga tua itu menyapa, hingga nikmat itu sedikit demi sedikit Ia kurangi seiring dengan bertambahnya usia. Ada yang berkurang dalam penglihatan, ada yang berkurang dalam pendengaran, ada pula yang berkurang dalam ingatan, semua kembali seperti awal mula ia diciptakan, awal mula ia ada, awal mula ia lahir ke dunia.
Saya sombong, aku sombong, seseorang pernah berkata “mengapa aib dibuka, bila nyatanya Allah sudah menutup aib kita, manusia”, maka saya mencoba mencari pembenaran, dengan berkata bahwasannya saya tidak sedang membuka aib saya, tetapi saya lebih suka menyebutnya “saya sedang mencoba untuk jujur pada diri saya sendiri, agar rasa sombong itu pergi, atau paling tidak, ia merasa jera untuk sering muncul ke permukaan dan menampakkan diri”.
Sekolah dasar negeri 3 kotabumi, kabupaten kecil yang dari dulu hingga sekarang tidak banyak perubahan yang saya rasakan. Kecuali manusia-manusianya yang datang dan pergi, yang awalnya anak-anak hingga menjadi dewasa dan memilih tinggal atau bahkan meninggalkan tanah kelahirannya.
Saya dilahirkan pada tanggal 20 maret 1986, hari kamis,ba’da shubuh, setidaknya begitu yang kedua orang tua saya katakan, setidaknya begitu yang tertera pada akta kelahiran saya. Nama saya, sefta marisa dwipasari Jn, dengan Jn singkatan dari nama ayah saya, Junaidin. Tidak begitu mengerti mengapa ayah saya menamai saya dengan naman sepanjang itu, selain “ayah ketemunya itu de, ya kalau dulu ayah ngerti nama-nama dari al qur’an, pasti nama kalian sudah diambil dari al qur’an” begitu kira-kita jawab ayah saya, ketika saya bertanya apa makna dari nama yang beliau berikan pada saya.
Tapi yah sudahlah, frasa bahwa “nama itu adalah doa” saya mengerti, saya setuju, sangat setuju akan hal itu. Tapi, bila saya sudah terbentur pada dinding hingga yang tersisa hanya bertahan manakala mereka bertanya apa makna dari nama saya yang begitu panjang, maka saya akan berkata, berkilah, menyelamatkan harga diri yang sebenarnya itu tidak begitu penting bagi manusia macam saya. Saya akan berkata “menurut Shakespeare, apalah arti sebuah nama”, ya begitu, selalu begitu. Dan mereka yang merasa tidak terima, akan kembali berkata “nama itu doa”, di dalam hati “siapa juga yang ndak mau didoakan melalui namanya”, tapi sudahlah, pada akhirnya saya bangga dengan nama yang panjang yang ayah saya berikan, sematkan pada saya anak perempuannya.
-bersambung-