Rujak bebeg atau sebenarnya rujak bebegk, ah entahlah, pertama kali mendengar, pertama kali tahu tentang makanan atau panganan ini kira-kira pada saat saya sedang duduk di bangku sekolah dasar, kelas berapa sudah tentu saya sudah lupa.
Menurut penuturan ibu saya, pada saat saya masih amat sangat bengal, bandel, dan super duper nakal, saya begitu "lapar mata", melihat apa-apa yang muncul di televisi, maka serta merta saya akan berkata "ibu, beliin itu ya", selalu begitu, mungkin itulah kenapa ibu saya begitu melarang saya berdiam diri di depan kotak ajaib yang kadang membuat saya lapar mata, ingin membeli, ingin memiliki semua yang ada, yang muncul dari dalamnya.
Hari itu hari apa, sudah pasti saya lupa, karena sudah beberapa tahun yang lalu. Seingat saya, saat itu siang hari, film aktor legendaris yang juga humoris dan seorang budayawan, sedang diputarkan. Judulnya apa, sudah tentu pula saya lupa, yang saya ingat si dia, si babe, si benyamin, sedang menjajakan dagangannya, sembari berteriak-teriak berkeliling kampung, "rujak bebeg, rujak bebeg" begitu katanya.
Penasaran, seperti apa rupanya, seperti apa pula rasanya itu makanan yang bernama rujak bebeg. Bertahun-tahun berlalu, saya bukan lagi anak ibu yang begitu sedemikian sehingga lapar mata, manakala melihat sesuatu yang menurut orang lain menggiurkan selera. Mungkin karena saat masih kanak-kanak penyakit lapar mata itu sudah puas merajalela, menguasai hati dan kepala, hingga ketika dewasa, yang tersisa hanya rasa bosan saja.
Saya tidak lagi ingat dengan itu "rujak bebeg", sama sekali tidak. Sampai suatu hari, ketika saya dan dua orang teman saya bertandang ke kota jakarta untuk sebuah acara tahunan IPA di JCC Hall. Beberapa hari kami berada di ibukota indonesia tempat segala macam suku, budaya, bahasa, bangsa dan agama ada. Mendekati hari kepulangan, mereka sengaja menemani saya mencari MP3, teman yang ujung-ujungnya ternyata lebih dari sekedar teman bagi saya beberapa tahun kemudian. Tapi bukan MP3 yang akan saya kisahkan kali ini, tetapi tentang rujak bebeg dan si abang pedagang rujak bebeg di kota ini.
Mendekati stasiun kota Jakarta, melewati jalan sempit untuk menyebrang menuju ITC mangga dua, ya kalau saya tidak salah. Tanpa dinyana, tanpa saya duga, di sepanjang jalan sempit itu, banyak sekali pedagang yang mencari rezeki dari setiap manusia yang lalu lalang. Awalnya saya tidak peduli, hingga mata saya tertumpu pada sebuah tulisan "rujak bebeg". Hhahhh gak salah, rujak bebeg, ibarat pucuk di cinta ulam tiba, melayang-layang rasanya, hingga saya merasa akhirnya saya dapat merasakan juga seperti apa itu rasanya rujak bebeg.
"bang saya beli satu"
Dua tahun atau mungkin lebih, sudah berlalu. Tak perlu lagi mencari hingga ke ibukota negeri ini untuk mendapatkan itu rujak bebeg, karena ternyata lambat laun itu rujak mulai merambah pasar propinsi lampung yang saya tinggali ini.
-Lapar, alhamdulillah abang dog-dog sudah datang, nasi goreng plus mie goreng pedas, sebentar lagi insya Allah sudah bisa mengobati rasa rindu ini pencernaan pada apa yang namanya makanan-
Suatu kali, saya membeli itu panganan tepat di sebelah jalan masuk swalayan. Khas-khasnya pedagang rujak bebeg, tidak dengan gerobak tetapi dengan memanggul barang dagangannya. Kenapa dikatakan rujak bebeg, ya karena itu rujak dibejeg-bejeg dengan kayu yang dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai "alu", tapi lebih kecil tentunya.
Saya cerewet, tidak bisa diam barang sekejap saja, maka jadilah si abang pedagang sibuk berlipat ganda. Di satu sisi, dia menyelesaikan pesanan saya, di sisi lain si abang meladeni pertanyaan-pertanyaan tidak penting yang saya ajukan. Mulai dari "asalnya darimana bang?" dan si abang menjawab "dari jawa mbak". Lalu, "sudah lama jualan rujak bebeg bang?" si abang kembali menjawab "baru berapa bulan mbak".
"emang ini makanan aslinya dari mana tho bang?" si abang masih sabar rupanya "dari jawa barat mbak, tapi rata-rata yang jualan dari jawa tengah kesana mbak". Ooo baru tau saya kalau ternyata rujak bebeg itu makanan asli propinsi jawa barat, saya pikir makanan asli betawi, ya karena yang pertama kali saya lihat mempopulerkan makanan jenis ini yang bang benyamin itu.
Saya masih terus bertanya, seputar "sering dipalak gak bang? biasanya sehari dapet berapa bang?" sampai "kenapa milih jualan rujak bang", begitu kira-kira pertanyaan terakhir saya. Lalu, dia berkata seperti ini pada saya, he..3x "Daripada mencuri mbak, daripada minta-minta, malu". Begitu katanya, begitu ujar si abang penjual rujak bebeg itu.
Whuuuiiiih, si abang canggih, begitu kira-kira perasaan saya saat itu. Ahh si abang jadi mengingatkan saya pada si dani penjual koran di perempatan. Si abang jadi mengingatkan saya pada penjual pop mie di atas kereta jurusan rajabasa-kotabumi.
Lama, tidak lagi berjumpa dengan itu abang pedagang. Sampai siang ini, keinginan untuk merasakan rujak bebeg itu kembali datang, "satu bang", "pedes mbak?" begitu tanya si abang "yups, pedes baaangett bang", begitu saya berkata sembari memberi penegasan.
Imbas dari penegasan "pedes bangettt" baru terasa beberapa jam kemudian. Itu rujak bebeg bekerja seperti obat pencahar, bekerja seperti aktivia, bekerja lakasana dulcolax dan vegeta. Hahhh, sudah dzalim pada sistem pencernaan saya ternyata, dan malamnya saya kelaparan. Imbas dari "pedas banget" berbuntut panjang, semua yang ada di dalam pencernaan dikeluarkan dengan paksa, seperti tanpa sisa. Buntutnya, rasa lapar itu mendera hingga akhirnya abang dog-dog menjadi sasaran utama "bang, satu nasi goreng sama mie goreng pedes banget ya"....
Lagi-lagi makan pedas, tapi baiklah jangan fokus pada seperti apa pola makan saya. Mari menitik beratkan pada si abang penjual rujak bebeg yang ternyata masih bisa berkata "dari pada menjadikan mencuri sebagai propesi, daripada menjadikan meminta-minta sebagai mata pencahariannya, si abang lebih memilih berjualan gaya bang ben beberapa tahun silam -rujak bebeg- menjadi pilihan".
Semoga Allah melapangkan rezeki si abang dan abang-abang lainnya yang bekerja demi apa yang namanya sebuah penghidupan.