Pages

Friday, May 1, 2009

Anak sekecil itu

Chapter 3

Kepergian mbak eni tidak begitu berpengaruh pada asrama kami, sepertinya. Tetapi tidak begitu bagi mas endi dan seorang putrinya, veni. Anak itu sudah mulai menginjak masa remaja, sewaktu kali mencoba mengajaknya bercakap-cakap, aku baru sadar, dia sudah mau masuk kelas 1 SMP.

“lagi ngapain ven? Main masak-masakan ya?

Gadis kecil itu hanya mengangguk saja, membelakangiku, sembari sibuk dengan acara pura-pura masak-memasaknya.

Ada sedikit rasa iba yang kutujukan pada gadis kecil ini. Anak sekecil itu sudah harus ditinggal ibunya yang pergi entah kemana. Anak seumur dia, sudah harus mendengarkan pertengkaran ayah dan ibunya yang terjadi hampir di setiap malamnya. Mungkin ia tidak begitu mengerti, tetapi aku yakin lambat laun itu akan mempengaruhi psikologinya yang masih rentan karena usianya yang masih tergolong anak-anak menurutku.

“kalau tengah malem berantem, gak lama tu, kedengeran suara anak kecil nangis ‘kar”

Begitu ujar reni pada ku, beberapa waktu yang lalu, sudah hampir setengah tahun yang lalu dia bercerita tentang hal itu. Tapi aku hanya menganggap angin lalu, pikirku saat itu, pertengkaran itu bukan urusanku.

Lambat laun, kepergian mbak eni, sedikit demi sedikit mulai memberi dampak pada asrama sekarwangi 1 ini. Jadwal dinyalakannya mesin air, sudah tidak teratur lagi, asrama semakin lama, semakin tidak terawat saja. Meskipun, pada kenyataannya, pada saat mbak eni masih ada di sini, ia pun bisa dihitung dengan jari kapan membersihkan gedung dan lingkungan di sekitar asrama ini.

Suatu kali, petugas yang biasa mengambil sampah dari asrama ini, mulai mengeluhkan keterlambatan kami dalam membayar retribusi. Mas endi yang merasa tidak tahu menahu, menyerahkan pada salah seorang anak asrama, yang juga adikku.

“saya itu capek mas, sudah nagih uang sampah baik-baik, malah dimarah-marahin lagi. Saya gak mau lagi ngurusin uang sampah, biar diganti orang lain aja”

Adikku itu pergi begitu saja, meninggalkan masalah yang belum sempat kami bicarakan solusinya.

Malam itu, petugas retribusi sampah mendatangi asrama ini, mas endi pun mau tidak mau memanggil adikku itu. Entah seperti apa kejadiannya, yang aku tahu petugas retribusi itu, mengeluh dengan menggunakan emosi.

“ya sudah mas, nanti kita adakan makrab (malam keakraban) saja” Aku mencoba menengahi.

Tak sempat aku bertemu dengan petugas retribusi itu, adikku pergi meniggalkan aku, mas endi dan dua orang anak asrama yang lainnya.

“kamu berdua yang urus ya de, nanti insya Allah di makrab kita bicarakan semua” Begitu ujarku pada kedua anak asrama itu.

“saya mah ikut aja mbak sekar, habis saya juga gak ngerti” ujar mas endi pada kami saat itu.

Wajar kalau mas endi tidak tahu menahu, karena memang yang mengurusi asrama dan segala tetek bengek lainnya, mbak eni semuanya.

Beberapa hari kemudian, malam keakraban pun jadi dilaksanakan. Memang tidak banyak yang datang, tetapi aku rasa cukup mewakili ke 40 kamar yang ada di asrama ini. Mencoba memberi pemahaman pada adik-adik yang datang. Mengapa adik-adik, ya karena memang bisa dikatakan, di asrama ini aku sudah tergolong lebih tua dibandingkan mereka. Aku menghuni asrama ini sejak taun 2003, sedang mereka 2005 sampai 2008 tahun lalu.

Memang bukan hanya aku yang dituakan di asrama ini, ada beberapa orang lagi, hanya saja pada saat itu, mereka ada yang datang terlambat, ada pula yang memilih untuk tidak datang.

Masalah retribusi sampah sudah terselesaikan, semua penghuni setuju bahwasannya uang retribusi per kamar akan dibayarkan lunas langsung pada mas endi. Masing-masing kamar, wajib menyerahkan Rp. 12.000 rupiah setiap tahunnya.

“ada lagi yang mau komplain? Tentang jam malam mungkin? Atau tentang kenapa pada saat listrik padam, tamu-tamu tidak boleh datang”

“umm saya mau komplain mbak. Asramanya sekarang kotor” Begitu ujar salah seorang penghuni asrama.

“oh iya, memang kotor sekali de. Mbak juga ndak betah. Gini aja, kira-kira, tega nggak membiarkan mas endi membersihkan 3 gedung asrama? Kira-kira tega nggak, melihat mas endi naik turun tangga, dari lantai satu sampai lantai 3?”

Mereka hanya diam, tidak ada yang menjawab, tidak juga ada yang menanggapi.

“ya sudah, begini saja. Kita kan tahu, mbak eni sedang pergi. Jadi untuk urusan kebersihan asrama, baiknya kita tanggung sama-sama. Mulai dari buang sampah jangan sembarangan, kalau misalkan ada yang nyapu lantai, kotorannya jangan disapukan ke tangga, tapi disekop, trus masukin ke kotak sampah. Gimana? Setuju ya? Asrama ini rumah kedua buat kita semua yang ada di sini, jadi kebersihannya jadi tanggungan kita bersama” begitu jawabku

Seperti pidato singkat, agak khawatir kalau adik-adik itu akan semakin keras memprotes apa yang terjadi pada asrama ini. Tetapi, Alhamdulillah mereka mau mengerti. Masalah pun terselesaikan, tidak ada yang keberatan menyangkut kebersihan asrama dan siapa yang bertanggungjawab dalam membersihkannya. Tidak juga ada yang merasa keberatan dengan jam bertamu yang diterapkan, lambat-laun, penghuni asrama ini sudah merasa nyaman dan terbiasa dengan peraturan yang ada, hingga akhirnya seorang penghuni berkata di saat terakhir malam keakraban saat itu.

“asrama ini, sudah kondusif mbak, nggak masalah kok dengan jam bertamunya, cuma itu mbak, suara knalpot motor yang bertamu itu lho mbak, mengganggu. Kalau motor cewek sih, gak apa, tapi tu kan motor cowok” begitu jelasnya

“iya, mbak ngerti, mbak juga keganggu de, padahal mbak ada di lantai 2, apalagi kalian yang tinggal di lantai 1, pasti berisik banget. Gini aja, coba diingatkan baik-baik yang punya motor, ya kalau masih ndak mau juga. Ya sudah mau bagaimana lagi, harusnya yang punya teman itu, yang sudah kasih tau temennya bagaimana adab bertamu di asrama ini”

-bersambung-