pernah bertanya seberapa pentingkah kita bagi orang lain?
pernah bertanya, seberapa penting diri kamu bagi teman mu?
jangan bertanya seberapa penting dirimu, bagi orang tuamu
jangan juga bertanya seberapa penting diri kamu bagi keluargamu
tapi, bertanya seberapa penting orang tuamu di dalam kehidupanmu
penting, ya hanya ketika kamu membutuhkan tempat bersandar yang kuat, tangguh, dan tetap. Tidak berpindah tempat seperti teman-teman yang hilir mudik datang dan pergi. Ada teman yang karena ketulusan, kesamaan nasib dan cerita awal, ada teman yang sejalan karena kesamaan dalam kepentingan.
Orang tua dan keluarga memiliki kesan yang berbeda, memiliki guratan di dalam kain kanvas pelukis dengan garis-garis tegas, yang kadang hitam bila kita melihat dari sisi ego sentris kita sebagai manusia. Memiliki garis lembut, cerah, mengharukan, luar biasa memiliki makna, bila kita melihat dari sudut pandang yang berbeda, sisi manusia yang menghargai bahwa apa-apa yang keluarga, orang tua kita lakukan, semua karena mereka mengetahui pasti tentang kita.
Sebesar apapun kebaikan orang, manusia yang lalu lalang di hadapanmu, semua memiliki kepentingan yang jelas dari dirimu sebagai individu.
Lalu seberapa pentingkah dirimu bagi temanumu
Berdasarkan hasil pemikiran, mengamati, menganalisa, mencoba menarik sebuah kesimpulan. Ketika kita berada dalam satu karakter, bisa jadi kira dekat dengan dia. Ketika kita berada dalam satu kepentingan bisa menjadi kedekatan yang dipaksakan. Ketika itu berdasarkan agama, suku, ras dan golongan, rasa senasib dan sepenanggungan, maka keterikatan emosional antara kita dengan dia, akan semakin besar dirasa.
Tetapi, ketika semua sudah terpenuhi, cerita tidak lagi seperti awal mula dia terjadinya. Maka keterikatan itu bisa terkikis secara simultan sampai mungkin dia habis.
Aku dan bayangan hitam itu
"Apakah kamu merindukan kedua orang tuamu"
bayangan hitam itu menunjuk kepada ku
"aku? ya aku merindukan keduanya"
dia mendekat, bergerak menjauh dari tempat dia terbentuk. Bahasa tubuhnya mengisyaratkan -kenapa kamu tidak menelepon mereka-
"aku? ya, kamu benar, aku terlalu lemah mengakui bahwa aku terlalu keras kepala untuk memulai semua itu"
Bayangan hitam itu semakin mendekat
Berdiri di sebelahku
Tepat di samping telingaku
Rasa dingin yang tiba-tiba datang, membuat seluruh rambut-rambut di tubuhku meremang.
Secara tiba-tiba ia meniupkan angin yang sejuk ke telinga sebelah kananku
Cahaya putih yang tadinya nampak hanya seperti sebuah titik dari kejauhan di tengah dia, bayangan yang hitam, semakin nampak jelas. Semakin lama semakin membesar, semakin terlihat.
Bayangan itu menggambarkan tentang sesuatu yang aku masih mencoba menelaah ada apa di balik cahaya yang dia tunjukkan.
Banyak orang yang hilir mudik, tanpa menghiraukan aku yang melihat tidak jauh dari keramaian yang terbentuk, terlihat secara tiba-tiba di depan mata. Ada ketiga orang saudara ku di sana, duduk diam. Melihat kakak perempuan ku memeluk satu-satunya keponakanku, yang selalu tidak bisa diam. Lucunya dia "hafizh diem ya, liat itu bakas sama kajutnya......" aku tak lagi mendengar apa yang kakak perempuanku katakan kepada anak lelakinya itu. Bayangan hitam itu menutup kedua telingaku, aku melihat ke arahnya,
"kenapa?"
Ia meletakkan jari telunjuknya ke bibirnya -sssst- ia ingin aku diam
"baiklah, aku diam" aneh, pikirku
Masih berdiri melihat dari kejauhan, sebuah drama yang aku masih tidak mengerti maksudnya.
Bayangan itu mengarahkan telunjuknya ke depan, ke arah seorang anak perempuan yang lain, adik perempuan ku, dia membaca Al qur'an
"kamu tahu, diantara kami berempat, aku merasa dia yang akan berada di surga yang paling atas" begitu aku memamerkan adik perempuanku kepada bayangan hitam itu.
Sembari tersenyum memandang adik perempuanku aku berkata
"dia paling rajin membaca Al quran. Hey, kenapa dia menangis?"
Aku segera menggerakkan kedua kakiku, sampai bayangan itu menahan ku, dengan menarik lengan kananku.
Dingin, tangan bayangan hitam itu begitu dingin
Dia kembali memintaku untuk diam, melihat.
semakin ramai saja yang datang, kakak perempuan ku masih duduk dalam diam. Dia memberikan keponakanku kepada ayahnya, kakak iparku. Mengikuti apa yang adik perempuanku lakukan, membaca Al Quran.
Kali ini, bayangan itu menunjuk ke satu sudut ruang dimana aku melihat seorang pemuda tanggung. Diam, -terbengong-bengong-, dia nampak bingung atas apa yang terjadi saat ini. Dia nampak melihat ke sana- ke mari, ingin bertanya, tapi nampak bingung untuk bertanya pada siapa.
Air mataku jatuh
lemas, dia adik lelaki ku, satu-satunya adik lelakiku. Tak pelak itu membuat hatiku berteriak, dengan mata berkaca-kaca
"ada apa dengan ini semua?"
Bayangan itu membuka tabir yang nampak buram sebelumnya di depan mataku. Dia menarik tirai putih yang sedari tadi menutupi penglihatanku.
Ada tubuh yang terbujur kaku di depan kakak dan adik perempuanku. Terbungkus kain putih, dengan kapas di sana-sini, menutup hidung dan telinga.
Aku lemas, meremang, ingin menjerit, ya aku menjerit, aku berteriak
mereka adalah kedua orang tuaku, ayah dan ibuku. Aku berlari, mencoba mendekati tubuh kaku kedua orang tuaku yang sudah tak lagi bernyawa itu.
Aku tak mampu, aku tak dapat.
Aku melihat ke arah bayangan itu
"kenapa? kenapa aku tidak bisa menghampiri mereka"
Bayangan itu hanya diam, tak bergeming
Sekuat tenaga aku berusaha
Mengeluarkan segala kemapuanku
Tangis ku semakin pecah, tak tertahankan
Melihat adik lelakiku yang diam, tak mengerti akan apa yang terjadi
Melihat saudara perempuanku menangis dalam isak tertahan, melihat keponakanku menyentuh kakek dan neneknya dengan kedua tangan kecilnya, tetapi tak ada yang ia dapat selain kebekuan, bisu, diam, tak bergerak.
Aku menyerah
Aku lelah, sekuat apapun aku mencoba tetap tak dapat mendekati tubuh kaku ayah dan ibuku.
"Setidaknya, biarkan aku mendekati adik lelakiku, biarkan aku memeluknya"
Aku menangis berteriak
"biarkan aku menjelaskan kepada adik lelaki ku, tentang apa yang terjadi"
"tidak tahukah kamu, dia begitu dekat dengan ibu dan ayah ku"
"tidakkah kamu merasa iba pada dia, adik ku itu tidak normal, tidak seperti anak-anak yang lainnya"
"Tolonglah, aku mohon"
Aku mengiba-mengiba pada bayang-bayang hitam itu
Dia mendekat kepadaku, angin dingin itu kembali menghampiriku
Dia meniupkan angin itu kembali ke telingaku, semua hilang, pergi entah kemana. Semua yang ada di depan mataku, saudara perempuanku, adik lelakiku, semua pergi.
"kemana, orang-orang yang tadi lalu lalang"
"kemana kakak dan adikku?"
Bayangan hitam itu, masih diam, tak bergeming. Kali ini yang dia lakukan hanya menutup kedua mataku beberapa saat, untuk kemudian membukanya kembali.
Nampak nyata, semua orang orang yang secara tiba-tiba kembali berada di depanku. Mereka menangis terisak, aku berlari, bertanya mendekat kepada mereka. Tapi tampak tak ada satupun yang dapat melihatku. Dan siapakah itu, yang sedang dimasukkan ke dalam lubang itu, liang lahat itu.
Aku menoleh kepada bayangan hitam itu, ia mempersilahkan aku mendekat, melihat dari dekat.
Aku terdiam, tersungkur di atas gundukan tanah galian yang merah. Aku begitu mengenal dia, wajah yang terbungkus kain putih itu, seluruh persendianku, tulang-tulangku tak dapat menopang tubuh ringkih ku. Jasad itu, itu adalah aku, itu aku, seperti itu kah rupaku, begitu kurus, tirus, pucat.
Aku melihat ke sekelilingku, ayah dan ibuku. Terlebih ibuku, menangis terisak ia, sesekali membenamkan wajahnya di tubuh lelaki itu, dia adalah ayahku. Guratan tua itu semakin nampak jelas di wajah mereka, nampak ayahku menahankan rasa sedihnya. Adik perempuan dan kakak perempuan ku menangis terisak-isak tak dapat menahankan, dan adik lelakiku, ia hanya diam dalam kebingungan.
Aku berlari, mendekat ke arah ibuku, mencoba memeluknya, mencium tangannya, tapi tak dapat, aku kini hanya bayang-bayang, seperti bayangan hitam itu.
"ibu, aku di sini, ade' di sini bu"
"ayah ade' di sini"
Aku mencoba memeluk ayah ku, aku tak mampu
Aku berlari ke sana, ke mari, mencari bayangan hitam itu. Aku ingin bertanya apa arti dari semua ini, apakah Aku sudah mati? dimanakah aku kini?
Bayangan hitam itu pergi, yang nampak hanya jubah hitamnya dari kejauhan, sesuatu berbisik kepadaku, kata-kata itu membuatku lemas, merinding, dan aku tahu selama beberapa waktu ini aku berteman dengan siapa. Suara itu berkata "dialah malaikat maut itu".
"Astaghfirullah"
hanya itu yang dapat aku ucapkan
Dari kejauhan, dia melepaskan penutup kepalanya, malaikat maut itu tersenyum kepadaku. Senyum yang lembut, tetapi membuat aku semakin takut.
aku tak ingat lagi akan apa yang terjadi pada diriku setelah itu, yang aku tahu aku sudah berada tepat di dalam kamar kostan ku di jalan pelesiran no 28. Aku masih hidup, kedua orang tuaku, mereka berdua pun masih ada, alhamdulillah, semua hanya halusinasi dari sebuah cerita.