Pages

Tuesday, October 11, 2011

Karena ia tidak akan pernah sama

Kemarin listrik padam, tiba-tiba pada pkl 2.30 pagi waktu Indonesia bagian barat. Nampaknya Allah menginginkan saya berlaku adil pada tubuh yang sudah Dia percayakan pada saya.

Saya, salah satu dari sekian banyak hamba yang berada di bumi ini, yang terkadang membuat gelap mata dan melenakan manusia yang menghuni di dalamnya, termasuk saya.

Sore itu, wanita paling cantik, paling memesona di dunia itu menelepon saya. Katanya “de tadi ibu kirim uang” yah, lagi-lagi soal uang. Lagi-lagi kiriman uang. Lalu “minggu ini pulang gak?”, hah pulang waduh gimana ini, “jeb…jeb…jeb” dirasa pisau kata-kata itu menghujam dalam, hingga membekas di dalam hati dan alam pikiran.

Bingung, bagaimana harus menjawabnya. Entahlah, setahu saya beberapa tahun yang lalu saya merupakan satu dari sekian banyak anak manusia yang ahli dalam membuat alasan. Dan sekarang, sedikit demi sedikit keahlian itu mulai hilang, mungkin, saya juga tidak tahu pasti.

“gak bisa bu, kalau pulang gimana dengan Tugas Akhirnya” begitu jawab saya sekenanya, wanita cantik paruh baya itu diam, kemudian “oh, ya sudah kalau nggak pulang”, telekomunikasi pun terputus setelah wanita cantik itu menutupnya dengan salam.

Saya tidak lagi pandai memberi alasan, setelah ibu saya itu selalu berkata “…nanti kalau sudah menikah, bisa tambah jarang pulang de”, begitu selalu beliau berkata pada saya. Saya hanya terdiam, memejamkan mata, ibu selalu begitu, menjelang kepulangan saya, serta merta ia menyelinap masuk ke kamar belakang, atau lebih tepatnya kamar belakang plus gudang, gudang barang-barang hasil kreatifitas wanita paruh baya itu.

Beliau berbaring, antara tertidur dengan tersadar. Mulai bercerita, berkisah, terkadang mengurai isak tangisnya pada akhirnya. Dan saya kembali hanya bisa terdiam, mendengarkan. Dari wanita yang satu ini, saya banyak belajar, bagaimana wanita bisa menjadi begitu kuat, bagaimana tiba-tiba ia bisa menjadi begitu lemah, dan saya hanya bisa terdiam.

Mengapa manusia harus menikah? Karena itu sunnah, sudah ditentukan di dalam Al Qur’an manusia diciptakan berpasang-pasangan. Mengapa tidak lelaki semua? Atau wanita semua yang menghuni dunia? Tidak bisa seperti itu agaknya. Mengapa harus menikah? Pertanyaan itu selalu terngiang-ngiang di kepala sejak beberapa tahun yang lalu.

Saya tidak ingin menikah, begitu awalnya, sampai mencari-cari alasan agar keinginan saya bisa terkabulkan. Tapi tak bisa, tapi tak dapat, manusia yang genap diennya saja belum tentu masuk surga Nya, bagaimana dengan yang diennya masih separuh seperti saya. Dan keduaorang tua saya, tidak ada setuju-setujunya dengan ide gila yang ada di kepala saya.

Akhirnya, beberapa tahun berikutnya, dengan berat hati, bertarung dengan apa yang ada di dalam diri, kemudian berkata, di atas sejadah tua “saya akan menikah ya Rabb, saya akan menikah, tetapi, dengan hamba Mu yang mencintai Mu, yang mematuhi perintah Mu dan menjauhi larangan Mu”. Dengan berat hati, dengan berat hati.

Dan beberapa bulan belakangan ini, ibu selalu berkata seperti itu, terkadang ayah pun begitu “kalau sudah nikah, nanti pasti susah kalau mau pulang de”, begitu selalu. “Arrrgggghhhhhhhh” saya masih ingin bersama ibu, masih ingin menjahili ayah, masih ingin menggoda ibu. “Memang kalau sudah nikah gak bisa cep? Bisa kali cep” begitu teman-teman, orang-orang di sekeliling saya berkata . Berbeda, tidak akan sama, berbeda.

Mengapa harus menikah ya Allah, kenapa harus menikah?