Pages

Thursday, October 13, 2011

Heart this is hard to be hurt

Malam, titik-titik hujan itu menemani kejatuhanku dari dekat, dan mereka semakin dirasa dekat dengan hati, kepala dan alam pikiranku.

Malam ini, pkl 23:13 hujan rintik-rintik membuat basah tanah yang belum lagi kering wahai bumi. Apakah kabarmu hari ini? senang kiranya, karena hujan kembali datang menemanimu, tanpa kompromi, tanpa kesepakatan antara bumi dan langit akan hujan rintik-rintik.

Aku sedang sedih wahai bulan, datanglah kepada ku, temani aku, temani di sini di dalam sini, di salah satu sudut di ruang hati ini. Dia sedang terluka wahai bulan, aku mohon palingkan wajahmu sebentar saja, dengarkan aku bercerita, tanpa perlu membuat 'kesepakatan' antara aku dan kamu, tentang kapan, dimana dan berapa lama tentang cerita yang ingin aku sampaikan.

Bulan menggeliat dalam pekatnya malam, bergerak perlahan, ia berkata "ada apa manusia?" begitu dia menyapa. "Ada apa gerangan, hingga basahlah pipi mu akan titik-titik air mata". begitu dia menambahkan.

"Temani aku, temani aku menangis, kali ini, saat ini, malam ini"
"Sampai pagi menjelang, karena tak dapat tidur, tak dapat lelap raga ini, sulit untuk menutup mata ini"
"Ada apa gerangan?" rembulan bertanya
"kata kesepakatan itu mengusik hatiku, setiap bait kata terasa menghujam akibat dari rasa egoisku"
Bulan menghela nafas panjang, berat, terasa amat berat, hembusan nafasnya mengiringi hembusan angin malam yang bertiup, menyibakkan tirai jendela kamarku. Kamar yang kecil, sempit, seadanya, karena memang aku orang yang tidak punya.

"Aku bukanlah tempat yang tepat untuk keluh kesahmu"
"Aku belum cukup bijak untuk kembali menjadi pendengar setiamu"

Aku menangis tersedu-sedu, rasa sakit itu semakin pilu. Aku terdiam, termangu, begitu menyadari aku hanya seorang diri, kali ini, saat ini. Mungkin memang benar, aku lebih pantas dan baik untuk menjadi sendiri, menjadi pribadi yang berdiri di atas kedua kaki ini.

"Datanglah kepada Nya, Yang Menciptakan kamu, Yang Mengerti akan isi hatimu" begitu rembulan berkata, sembari tersenyum lembut kepadaku.

Tersedu-sedan aku menangis kencang, teriakan hatiku membuat seluruh syaraf yang berada di tubuhku mengejang.

"Aku bodoh wahai bulan"
"Mengadu pada Nya? aku tidak punya cukup keberanian untuk itu"
"Apa yang harus aku katakan? tentang hidupku? mana bagian yang menarik dari hidupku? selain timbunan-timbunan kata-kata palsu"
"Mana lagi bagian dari hidupku yang bisa dijadikan catatan putih dari perjalananku"

Aku berteriak "Aaaaaaaaaaaaaaaaargggghhhh, Tuhan ku, tolong aku. Kembali kan aku ke jalanmu. Biar susaaaaaah, biar payaaaaahh, biar penuh dengan darahhhhh. Kembalikan akuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu"

Wahai bulan, tolonglah aku, sampaikan kepada Tuhanku, Allah Yang Maha segala-galanya itu. Betapa aku merindu, betapa aku ingin merasakan hembusan angin surga itu. Betapa aku mengharapkan cahaya itu kembali menyinari jalan hidupku.

Bahagia itu membuat aku lupa akan betapa bodohnya aku
Uraian tawa itu membuat aku terlena tentang betapa sebenarnya aku sudah termakan tipu daya dunia

"Daging yang tumbuh di dalam tubuhku, yang terkadang mengusik tubuh ringkihku, tidak juga membuat aku bangun dan tersadar akan semua salah dan khilafku. Aku bukan manusia yang pesimis" begitu wanita kurus, tak menarik itu berkata pada dirinya. Dan wanita kurus tak menarik itu adalah aku.

Pergi kemanakah dia yang dulu,  berlari kemanakah kamu kini, wahai manusia yang berusia 25 tahun. Aku tidak tahu, aku tidak tahu, dan aku tidak tahu menahu. Sakit hanya sakit yang aku rasakan, hati berkata "Aku sakit wahai sefta marisa, aku sakit. Dan kamu sudah menyakitiku dengan semua jalan hidupmu". 

Aku terduduk, lemas, lututku tak mampu berdiri. Aku tidak lagi mengenali aku yang kini, tidak lagi jelas tentang apa dan mengapa aku bisa seperti ini. Jalan itu menjadi gelap, malam ini semakin pekat di rasa, lembah itu semakin dirasa lembab. Aku terjerembab, terdiam, terduduk, terjerembab, tak ada pelita, tak ada seorang anak manusia pun yang datang dan menghampiri kemudian tertarik untuk membawaku pergi.

Hanya kesalahan demi kesalahan yang aku rasakan
Hanya tumpukan noda yang dirasa semakin membuat hitam catatan yang aku punya
Bahkan air mata pun enggan untuk datang menemani saat-saat kejatuhanku.

Seperti porak-poranda benteng pertahananku,mengais-ngais dengan jari-jemariku. Hingga tidak terasa kucuran darah segar mulai keluar, menyeruak dari sela-sela kuku jari jemariku. Mengais-ngais rahmat yang Dia tebarkan bagi seluruh umat manusia, mencari-cari kemanakah aku bisa menemukan belas kasih dan ampunan itu. Ampunan bagi masa lalu ku yang merugi itu, belas kasih bagi kekhilafanku yang sungguh memalukan itu. "Aku terjerembab wahai bulan" aku pun menangis tersedu-sedan.

Mengulurkan tangan, sembari berteriak "tolong aku, siapapun yang berada di sana tolonglah aku. Tanpa perlu ada kesepakatan itu. Aku mohon selamatkan aku, karena aku tidak tahu sampai dimana batas usiaku". Tangis ku semakin memecah kesunyian setiap sudut ruang di dalam hatiku. Rasa bersalah, malu, amarah, kecewa atas ke-aku-an ku, membuncah, menyeruak, menusuk setiap sisi-sisi kemanusiaanku, aku kembali menangis pecah karena hal itu.