Pages

Friday, March 25, 2011

Inilah aku di suatu hari, 25 Maret, Jumat di tahun ini, 2011

Jumat, 25 maret 2011

Pagi, menjelang, seperti biasa aktifitas sehari-hari saya lakukan. Menyibukkan diri, menguras sedikit energi, demi menghilangkan rasa sepi, penat, akan sesuatu yang terlepas. Burung-burung pagi itu bernyanyi 'cuit cuit' seperti itu setiap hari. Alhamdulillah masih ada sedikit tempat untuk mereka bertengger, menegakkan sarang sebagai tempat berlindung dari panasnya matahari dan dinginnya hujan.

Meretas asa, menembus bayang-bayang gelap yang remang. Sudah ku coba menghidupkan pelita, pelita asa yang temaram, yang hampir saja padam. Tetapi angin pilu itu sungguh kuat menusuk sumsum tulang jiwa, sungguh menyayat sanubari, membuat hati tersengal-sengal, terengah-engah menjaga asa yang hampir padam.

Entah mengapa hari ini terasa begitu pilu wahai awan pagi, entah mengapa hati ini terasa begitu melankoli, titik-titik air itu hampir membasahi bumi ini, sedih. Aku ingin pergi, melangkahkan kaki, kemana? entahlah aku tak tau, menembus angin pagi, memburu nafas yang serasa ingin pergi meninggalkan diri ini. Aku pergi, ku cium tangan wanita yang sudah melahirkan dan membesarkan aku, dia lah ibuku. Wanita yang menatap dunia lebih dari separuh abad. Wanita yang menghabiskan sisa-sisa harinya di atas lantai yang dingin, wanita yang mempersingkat waktu tidurnya, demi berkutat dengan dinginnya angin malam, demi berkawan dengan terik matahari dan dinginnya angin dikala hujan datang.

Dia ibu ku, aku sayang, meski terkadang lidah yang tak bertulang milik ku, yang ia lahirkan, tanpa sengaja menghujam hatinya, jauh masuk hingga mungkin terasa sakit ia ketika mendengarnya. Dia ibuku, tak lagi muda, kerut keriput mulai menghiasi wajahnya. Aku pergi, begitu kata ku, dan ketika dia bertanya kemana arah dan tujuan ku, ku katakan 'aku tak tahu' ya aku memang tak tahu. Dalam kebingungan, kekhawatiran, ia menatapku dari kejauhan. Sembari kembali mengulang 'ade, mau kemana?', aku katakan suatu tempat yang ibu memang sudah tau itu. "hati-hati" begitu kata-kata itu meluncur dari bibirnya yang tak lagi muda, mengikuti seluruh tubuhnya. Ya Allah aku menyayanginya, menyayanginya, sungguh.

Dan titik-titik air ini menggenang di kelopak mata, hangat, sedih dan rasa bersalah itu menyeruak, aku menyayangimu, wahai wanita tua, separuh abad, yang mencari nafkah siang dan malam itu, untuk aku dan ketiga saudaraku.

Bus Ekonomi, tujuan terminal raja basa,

Ia melaju kencang, ia datang setelah hampir setengah jam aku menunggu, dan menunggu hingga menjadi perhatian segelintir orang. TIdak ada teman, pembunuh rasa sepi hanya sebuah alat komunikasi, aku berbicara melalui kata dengannya, ibuku yang jauhnya beberapa ratus meter dari tempatku berdiri. Ia mencoba menghubungiku berkali-kali, membujukku untuk tidak jadi pergi, menemani ia berseloroh, bercengkrama, menghabiskan hari-hari membantu meringankan sedikit pekerjaannya. Tapi, 'maaf ibu, aku harus pergi, untuk hari ini, sore hari aku akan pulang kembali'. "Tapi, mau kemana de?" begitu tanya nya."sekedar melangkahkan kaki, menenangkan diri", demi membunuh rasa jenuh akibat -menganggur, tanpa aktifitas otak'.

Hilir mudik orang-orang, manusia yang berada di kota ini, dari desa yang satu, desa yang lainnya. Dengan berbagai macam rupa, warna, corak, bahasa, kulit mereka. Dengan berbagai macam pikiran yang silang lintang di dalam kepala mereka. Bus ekonomi ini penuh sesak, semua sibuk dengan urusannya masing-masing. Asap rokok yang mengepul, menambah kadar carbon di bumi yang hijau ini, semakin tinggi. Menyedihkan, kesadaran manusia akan betapa berharganya -bumi- yang Allah berikan, masih amat kurang.

Manusia Indonesia, mungkin manusia-manusia lain yang berada di belahan bumi lain, -no idea- bahwa ada manusia seperti kami ini, bagian dari bumi ini, bagian dari bangsa ini, di sini.

Tenggelam dalam pikiran, lelah, lelap selama perjalanan. Entah seperti apa rupa, entah seperti apa bentuk ketika mata terpejam, ketika jiwa jauh berada di dalam alam bawah sadar, aku tertidur kemudian. Entah sudah berapa kali mobil ini menaik dan menurunkan penumpang, entah sudah berapa kali pula ia berhenti dan berjalan, aku tak tahu, aku tak sadar akan hal itu

"19.23, adza isya pun berkumandang, rasa sakit dari salah satu titik syaraf dirasa mulai mengganggu. Bodohnya aku, sebentuk butiran di wajahku yang ku rasa mengganggu, sudah ku usik keberadaannya dengan menekannya sekuat tenaga. -Jerawat- itu mulai memprotes tindakannya, ia meradang, hingga rasa sakit itu muncul ke permukaan. Mari kita rehat sejenak, sholat, karena kita tidak pernah tahu, kapan Dia akan meminta malaikat mautnya menjemput kita untuk selamanya

Terminal raja basa

Kota ini penuh sesak, menghabiskan waktu bersama ibu angkatku. Ibu dari seorang lelaki yang hampir saja menikahiku. Lelaki itu kemudian menghembuskan nafas terakhirnya dalam sebuah kecelakaan maut yang merenggut nyawanya, ia pergi untuk selama-lamanya. Lebih menyedihkan ketika, karena kecelakaan itu terjadi setelah ia pulang dari rumah kedua orang tua ku. Hancur, aku, kedua orang tuanya, keluarganya, teman-temanku dan semua orang yang mengenalnya, ketika lelaki bernama Dyan Isworo itu pergi, meninggalkan dunia ini dan tidak akan kembali.

Bayang-bayang masa lalu, melambai-lambai menghantui setiap jejak yang aku langkahkan di bumi ini. Seperti apa pun berusaha mencoba untuk menegakkan kepala, menatap dunia, tetap saja, rasa pilu itu diam-diam merayap, merambat, mencabik-cabik jiwa, hati dan rasa. Sesak, tersengal-sengal, hingga terisak-isak, sedih itu tak tertahankan.

Aku, sefta marisa dwipasari jn, -jobless, unemployed, pengangguran-, ya itu kini yang tersematkan.

Hari mulai menjelang petang, wanita yang usianya lebih dari separuh abad itu, sedikit lebih tua dari usia ibu kandungku. Ia sudah bagai ibu bagi ku, ibu dari Dyan Isworo Fisika Instrumentasi 2004. Menghabiskan separuh dari hari ku bersamanya, mendengarkan ia bercerita, berkisah tentang kedua anaknya, anak lelaki yang tersisa, yang masih menjadi tumpuan harapannya. Kakak-kakak dari Dyan isworo, mereka lah yang membuat wanita paruh baya itu, mempertahankan, memperjuangkan senyumnya, walau rasa kehilangan seorang anak bungsu, anak kesayangan, benar-benar memukulnya jatuh, telak jauh ke dalam palung jiwanya.

Aku pulang, ku cium tangan wanita itu, ibu angkatku. Ku cium pipinya, aku pamit, 'hati-hati de' begitu katanya. Aku menyayanginya, begitu pun ia, akulah pengganti anak bungsunya, Dyan Isworo yang sudah meninggalkan kami semua. 

BUS DAMRI jurusan Tanjung karang - terminal Rajabasa

Penuh sesak dengan manusia, beragam usia, beragam bau, peluh keringat bercampur di dalamnya. AC yang menyejukkan sedikit menurunkan tingkat emosi manusia, akibat dari cuaca panas yang menghembuskan nafasnya.

Sudah hampir 2 bulan, murni aku tidak bekerja. Sudah hampir 5 bulan, hal bernama -gaji- itu tidak aku terima. Ibu angkat ku menyadarkan aku akan hal itu, senyum miris aku sunggingkan, menyembunyikan rasa kekhawatiran akan sesuatu yang bernama -uang-. 

Bus ini terus melaju, kencang, semua ingin segera mengakhiri penderitaan dari duduk, berdiri berdesakan, dan dari bau keringat manusia yang beragam macam, yang sudah bercampur baur dengan bau matahari dan asap kendaraan.

ketika Supir bus DAMRI berteriak ANJING!!!

-Anjing- begitu teriak supir bus DAMRI, beberapa saat setelah sesuatu menyebabkan ia menginjak pedal rem secara tiba-tiba, hingga membuat beberapa penumpang wanita berteriak terkejut karenanya. Apa gerangan, emosi pak supir terpancing tiba-tiba. -Ooo- begitu ujar beberapa penumpang, mengetahui bahwa yang menyebabkan pak supir tersulut emosinya adalah ketika seorang wanita bersama seorang bocah lelaki di belakangnya, mengendarai motor dengan tidak hati-hati, membahayakan nyawa orang lain dan diri sendiri.

Di sini lah aku, kembali, terminal Raja Basa

-Aku pulang-,

di dalam bus, terlena dalam setiap lantunan lagu yang membangkitkan memori, yang menstimulus setiap ujung-ujung syaraf yang berada di kepala. Mereka bersinkronisasi dengan hati, rasa pilu itu kembali menyeruak, masa lalu itu kembali lagi. Helaan nafas panjang, berat, sesak, itu yang aku rasa, itu yang aku rasa.

Pabrik itu masih seperti dulu, hanya pagar biru itu membuat ia seperti sesuatu yang baru, karena dahulunya pagar itu lusuh, begitu menampakkan ketuaannya. Aku melongokkan sedikit kepala ku, melihat dari dalam bus Penantian Utama jurusan kotabumi, yang melaju kencang. Beberapa detik, aku menatap, tumpukan-tumpukan karet itu sudah mulai meramaikan. -Ya, pabrik itu sebentar lagi akan beroperasi, sebentar lagi akan berjalan, seperti dahulu, ketika pertama kali aku bekerja di situ-.

Titik-titik air hangat itu menggenang, ada setitik rasa yang ingin menimbulkan, memunculkan kata, rasa -penyesalan-. Seandainya dahulu aku tidak menerima tawaran kerja di Perusahaan Otoparts itu, tentunya aku masih bisa berada di situ, di pabrik itu. Mengasah otak, menghibur alam pikiran ku, dengan ilmu pengetahuan yang selalu baru dari waktu ke waktu. Tapi, itu sudah berlalu, pabrik karet itu tinggal masa lalu, aku bukan lagi bagian dari mereka, aku hanya mantan -Kepala Laboratorium- yang dulu pernah berada di sana.

Berpikir, sedih, pilu itu, sesal itu menghantui, tapi apakah perlu? Keputusan sudah diambil, penyesalan tidak akan berujung pada sesuatu yang membawa matahari di dalam hati ini cerah kembali. Aku, saya, bukan tipikal manusia yang senang menyesali sesuatu yang sudah terlepas dari tangan. Mengundurkan diri, mungkin memang itu jalan yang harus saya lakukan. Memang saat ini aku tidak berpenghasilan, -tidak apa-, sesuatu itu memang sedang Dia sembunyikan, sebagai pengganti dari apa, dari pekerjaan yang sudah aku lepaskan.

Mengingat sebuah perusahaan Otoparts yang membatalkan pekerjaanku, karena Jilbabku, karena pakaianku. Menyesal? tidak, aku tidak mau itu, percaya, aku percaya, sinar matahari itu akan menyinari setiap pori-pori hidup ku. Aku percaya, angin kehidupan itu akan kembali menghembuskan sejuknya, di setiap bulu roma jiwaku. Penyesalan akan waktu yang terbuang, beberapa bulan (sebagai akibat dari gelar PENGANGGURAN) yang nampaknya menyebabkan otakku, kepalaku, pikiranku, membeku, membisu, kaku? Tidak, tidak perlu itu, ilmu itu akan aku dapatkan, sudah aku dapatkan, ilmu itu tentang kehidupan, ilmu itu tentang bagaimana mengikhlaskan setiap apa-apa yang terlepas dari tangan.

Ilmu tentang dunia, tentang kalkulasi matematis, tentang analisis, ya memang belum aku dapatkan, karena aku masihlah seorang pengangguran. Tapi, ilmu tentang kehidupan, ilmu tentang keikhlasan, ilmu tentang kesabaran, itu yang saat ini sedang dalam genggaman. Dia mengajariku banyak hal, Allah memberitahu semua hal itu, ilmu pengetahuan itu, Dia mengosongkan pikiran ku dari ilmu dunia yang silang lintang membutakan mata hati yang aku punya.

Ini memang jalannya

Dan pilu itu, sedih itu, tusukan rasa yang menghujam jiwa itu bukan karena -Gelar pengangguran itu-, bukan hanya karena -tidak ada aktifitas otak tentang ilmu analisis dunia itu-, tetapi karena sesuatu, sesuatu yang meninggalkan ku, yang selalu meninggalkan ku, orang-orang yang penting di dalam hidup ku, yang menjadi penghuni di dalam hati ku, yang berkata -mencintai ku- untuk kemudian pergi, melangkah, meninggalkan aku dengan serpihan hati yang tercecer, tertiup angin di suatu hari yang kelabu, pekat, dan menyayat.

Aku tidak ingin menyesal, aku tidak ingin menyesal, aku ingin melepaskan, aku ingin mengikhlaskan setiap anak manusia yang datang, kemudian pergi meninggalkan. Sisakan harapan, secuil harapan, sisakan cahaya, walaupun temaram. Bila ia datang, biarkan temaram itu menjadi terang benderang. Bila ia sudah melupakan, biarkan temaram itu tetap temaram atau relakan ia untuk padam. Mari membuka jendela jiwa, mari kembali menata cahaya hati agar ia hidup kembali, agar ia mampu kembali menerangi setiap sudut yang ada di dalam jiwa ini

itu memang jalannya, itu memang jalan Nya