Pages

Showing posts with label Kontemplasi. Show all posts
Showing posts with label Kontemplasi. Show all posts

Saturday, June 23, 2018

Tentang Dia, saya, kita dan bahagia

Bagaimana saya mencintai Nya? Hanya Dia yang tahu, Dia Yang Maha Tahu.

Saya bukan tipikal pribadi yang mudah terkesan dengan makhluk yang sama manusianya dengan saya.

Karena setiap kemampuan yang dimiliki oleh manusia, Allah yang memberikan, Allah yang menggerakkan hati mereka, yang memberikan hidayah kepada hamba Nya.

Tak ada sedikit pun andil manusia di dalamnya, karena semua yang kita miliki, adalah miliknya.

Mereka yang pintar, semua Allah yang membukakan akal pikiran mereka, untuk dengan mudahnya menangkap, menerima, mencerna, ilmu Nya, kalam Nya.

Mereka yang cantik, tampan rupawan, bersuara merdu, semua Allah Yang berikan.

Mereka yang baik hatinya, dermawan, Allah yang menggerakkan mereka agar berlaku demikian.

Seorang kawan saya pernah berkata, kenapa tak ada photo anak-anak mu, suami mu? Karena saya tidak mau penyakit 'ain menjangkiti mereka yang melihat dan menjangkiti keluarga kecil ku. Karena saya tidak ingin menyakiti, melukai perasaan mereka yang belum bertemu dengan jodohnya, yang belum mendapatkan buah hati di dalam kehidupan pernikahannya.

Seorang teman saya pernah bertanya, tak inginkah kamu berjalan-jalan keliling dunia?

50:50  karena saya bisa berimajinasi mengunjungi belahan bumi Nya yang lain dengan memejamkan mata, membayangkan, berimajinasi berada di sana, menghirup udaranya, berlarian di atas rerumputan sembari menikmati air sungai yang mengalir, dengan menutup mata, membayangkan, Alhamdulillah bahagia bagi saya. Karena bahagia kita yang hadirkan bukan?

Tidak ingin kah kamu bekerja? Berusaha? Memiliki banyak harta?

Saya tertawa

Untuk setiap manusia, saya percaya antara yang satu dengan yang lainnya Allah sudah menentukan menetapkan takdir mereka. Apa yang saya butuhkan, tidak sama dengan apa yang orang lain butuhkan. Rezeki bukan sebatas mobil, rumah, jalan-jalan ke luar kota, ke luar negeri saja. Memiliki jodoh yang mengerti, anak-anak yang sehat wal afiat, tetangga yang bersahabat, pun rezeki yang tak terkira bagi saya. Lebih berharga dari sekedar jalan-jalan, makanan minuman lezat, atau barang-barang mewah & mahal yang mungkin dimiliki oleh rekan-rekan saya yang lainnya. Ini menurut saya

Ada banyak hal yang bisa kamu lakukan untuk mengaktualisasi dirimu, sayang ijazahmu, sayang kemampuanmu.

He he he he

Tetapi, karakter manusia yang satu, dengan yang lain tak sama. Ada dari mereka yang mampu melakukan banyak hal dengan santai, sembari mereka menjaga atau menitipkan anak-anak mereka. Tapi, saya tidak mampu begitu, hati saya merasa tidak nyaman bila saya melakukan itu. Itulah sebabnya saya memilih di rumah, menghabiskan waktu dari pagi hingga pagi dengan titipan yang Allah berikan ini.

Ini pilihan hidup, setiap pilihan yang kita ambil ada cabang di dalamnya. Baik buruknya, menyenangkan atau tidaknya, tergantung bagaimana kita menghadapinya, menjalaninya.

Kesuksesan kita, hanya kita yang rasa, pribadi lain di luar kita, di luar lingkaran keluarga kita, menjadi penonton setia, komentator setia. Berbahagia lah dengan standar sukses mu, dengan standar bahagiamu. Hidup berdasarkan dirimu & keluargamu, bukan berdasarkan penilaian, pendapat, penghargaan orang lain.

Mendengarkan saran itu perlu, melihat bagaimana kehidupan orang lain itu bagus. Tapi sekedar untuk mengambil ibrahnya meninggalkan mudharatnya, bukan untuk menyalinnya, dan berusaha mengaplikasikannya dalam kehidupan berbangsa & bernegara di dalam keluarga kecil kita.

Sampai saat ini, pribadi tanpa cela yang membuat saya terkesan adalah kekasih Nya. Saya pikir, muslim yang lain pun memiliki penilaian yang sama. Sehingga, apabila menemui manusia lain yang pintar, terkenal, memiliki banyak kolega, memiliki paras tampan/cantik, keluarga yg nampak bahagia dari photo keluarga yang dimunculkannya di media sosialnya. Atau manusia lain yang dengan segudang pencapaiannya, prestasinya, segudang pujian untuknya, perjalanan ke luar negerinya.

Mari kita berbahagia untuk rezeki yang Allah titipkan kepada mereka. Mari kita bersyukur, atas kelebihan yang Allah percayakan, amanahkan kepada mereka, semoga mereka juga menjadi amanah atas apa yang Allah titipkan kepada mereka, begitu juga dengan kita.

Karena sombong adalah pakaian Nya

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman:18)

“Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang menyombongkan diri.” (QS. An Nahl: 23)

Karena kesalahan terbesar iblis adalah berlaku sombong

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kalian kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblisia enggan dan takabur (sombong) dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir“ (QS. Al Baqarah:34)

Dan jauhilah sifat riya

Terjemah surat Al Maa'uun Ayat 4 - 7

4. Maka celakalah orang yang shalat,

5. (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya

6. yang berbuat riya

7. dan enggan (memberikan) bantuan.

Okeh oceh, sekian dari kita-kita. Semoga menjadi pelajaran bagi kita semua, yang baik, yang benar datangnya dari Allah saja, khilaf & salah datangnya dari saya.

Bagai dua sisi mata uang

Apakah kita berbahagia dengan jalan hidup yang kita pilih?

Bahagia itu kita yang rasa, kita yang mengusahkannya, kita menemukannya, kita yang menghadirkannya.

Berbagi kebahagiaan tetapi bukan memamerkan kebahagiaan. Karena memamerkan itu sejatinya semu, kadang memunculkan riak-riak energi negatif yang baru. Apa yang didapatkan manusia dari memamerkan setiap perjalanan hidupnya? Apa yang didapatkan dari kita yang menampilkan semua sisi kehidupan kita? Likes di kanal media sosial kita? Puluhan, ratusan orang mengagumi kita? Pujian semu yang menyanjung ini anu itu?
Kita mencari apa? Pengakuan dari sesama manusia? Semu, semuanya semu.

Apakah kita berbahagia? Tidak perlu menunjukkannya, berbagilah dengan menebarkan energi positif kepada sesama. Terpusatlah pada mereka yang menyayangi kita, yang membutuhkan uluran tangan & kasih sayang dari kita. Bukan memusatkan pada masa lalu, pada mereka yang membuat kita kecewa. Karena sejatinya, hal-hal yang kita anggap sakit itu, yang membuat kita kecewa dan marah itu, berperan jua dalam perjalanan pendewasaan diri kita. Berperan jua dalam membentuk jati diri kita, menajamkan naluri, menguatkan nyali menapaki hidup ini di kemudian hari.

Ironi

Waktu terus berlalu, hari berganti, yang pergi telah pergi, tahun berganti. Tetapi hati tetap sulit memaafkan masa lalu, begitu benci menerima kekurangan manusia yang lainnya. Ada banyak hal yang bisa saja berjalan tidak seperti apa yang kita inginkan, apakah kita berhenti berjalan, memutuskan untuk tidak berbahagia dengan apa yang telah Allah berikan, amanahkan, percayakan pada kita saat ini? Ironi bukan, menggelikan sekaligus menyedihkan.

Ketika banyak manusia lainnya berjalan, menengadahkan kepala, menarik nafas, menghembuskannya dengan ikhlas, menengok sesekali ke belakang, melongok pada masa lalu. Yang putih, biru, abu-abu, yang hitam, kemudian berjalan dengan tenang, bahagia, memaafkan, sesekali mengingat untuk menertawai kemudian tersenyum pergi.

Di sini, kita masih tergopoh-gopoh, terengah-engah, sulit bernafas, begitu mengingat masa lalu yang kelabu. Perasaan kecewa, merasa dihianati oleh sesama manusia, manusia yang kita anggap sempurna, padahal sejatinya mereka, aku, kamu, kita ditetapkan sebagai hamba yang berkeluh kesah, pelupa dan penuh alpa.

Di titik ini, kita terus menerus tenggelam dalam marah, kecewa yang tak berkesudahan selama bertahun-tahun lamanya. Menghabiskan waktu yang Allah berikan pada kita untuk terus kecewa pada manusia. Menaruh simpati pada manusia, maka bersiaplah untuk kecewa.

Belajarlah memaafkan masa lalu, berjalanlah dengan riang, langkah kan kaki mu dengan ringan. Bahagia itu kita yang hadirkan, kita yang rasakan. Bersyukurlah pada takdir yang Allah tetapkan. Karena setiap jalan hidup manusia tidak pernah sama. Karena jodoh kita, itulah yang insya Allah terbaik untuk kita, yang bisa menerima kita apa adanya.

Aku berbahagia insya Allah, atas izin Nya, atas takdir Nya, atas masa lalu, masa kini dan masa depan yang digariskan oleh Nya.

Terima kasih untuk masa lalu, bukan untuk disesali, tetapi jadi pelajaran untuk diri. Apa yang sudah terjadi, waktu tidak dapat diputar kembali, Allah Yang Maha Mengetahui betapa diri ini mencintai Nya berpasrah diri terhadap ketentuannya.

Memaafkan

Semoga Allah melapangkan hati memudahkan jalan hidayah Nya untuk menyentuh hati

Sunday, June 3, 2018

Tremble, Rumble, past & future bukan cerita dongeng belaka

Lemahnya manusia, bagaimana sekelilingnya bisa dengan mudah mempengaruhi suasana hatinya.

Bagaimana memaafkan manusia, bagaimana memaafkan masa lalu, bagaimana memaafkan diri sendiri. Bila saja waktu dapat diputar kembali, apa yang terjadi saat ini, adalah apa yang ditanam di masa lalu. Apa yang berlaku hari ini, mungkin saja manifestasi dari ucapan tanpa sengaja, dengan sengaja, di masa lalu.

Apakah aku berjalan di masa yang salah, di waktu yang salah. Apakah yang terjadi buah dari apa yang ditanam dahulu.

Rumble, perut kosong keroncong, kecamuk di dalam kepala mengabaikan suara kecamuk yang bersahut-sahutan di dalam perut. Kita hidup untuk Allah Yang Menghidupkan dan mematikan kita. Ada saat di mana terasa begitu berat meninggalkan dunia, Allah terlupa. Ada saat di mana terasa begitu berat melangkahkan kaki di dunia, setiap tapaknya terasa perih, menyakitkan. Setiap helaan nafas yang diambil, kemudian dihembuskan terasa berat. Beginikah yang namanya berdua, genap? Ada yang dikorbankan, terkorbankan, ditinggalkan, berdamai dengan masa kini, mengakui bahwa kita tinggal kenangan, masa lalu yang jaya sudah berlalu.

Wrinkles

Menandakan semakin tua dunia, semakin tua manusia, bangunan bertambah tua. Tak ada sesiapa yang mampu menghentikan waktu, berdamai dengan perubahan, daun-daun yang berguguran. Memaafkan, karena Allah Maha Pengasih & Maha Penyayang, Maha Mengampuni. Segala apa yang ada pada diri kita, adalah milik Nya. Kemampuan memanipulasi, menyembuhkan, mengatasi, ada pada Nya. Manusia? Hanya meminta, memohon bantuan Nya, menyembuhkan luka yang ada.

Tambal sulam

Dunia bukan cerita dalam buku yang bisa kita tentukan akhirnya, riak-riak di dalamnya tentang jalan cerita tokohnya. Dunia ciptaan Nya, yang berjalan sesuai kehendak Nya, perubahan cuaca, arah angin, suasana hati manusia, semuanya berada dalam kendali & kuasa Nya.

Foolish love

Menaruh simpati, harapan pada manusia berbuah kecewa, karena manusia memiliki kelemahan, kekurangan. Menggantungkan harapan pada Nya, hanya pada Nya, sehingga cinta mu tidak menjadi cinta yang bodoh, harapan mu bukan harapan yang bodoh, simpatimu bukan simpati yang bodoh dan membabi buta. Karena Dia tidak pernah membuat hamba Nya kecewa, terluka, sendiri & sepi.

Daun-daun mulai tua, perlahan menguning, kemudian terbang terbawa angin.

Kadang aku bertanya, Allah apakah Engkau benar-benar ada? Tapi meninggalkan agama ini? Yang sempurna ini, tidak tidak tidak ada yang sempurna selain ajaran nabi Muhammad ini. Terlalu sulit untuk menolak bahwa ada kekuatan besar yang mengawasj jagat raya ini. Terlalu sulit mengabaikan bahwa ada zat yang Maha kuasa atas segala sesuatunya. Tapi benar kah jalan yang ditempuh ini, menyandarkan diri pada Mu. Nothing to lose, berbuat baik karena Nya meskipun Dia ada atau tidak di kemudian hari ketika nafas terhenti.

Tremble in fear

Foolish love

It must be foolish love

I tremble in fear

Do you love me
Do you care about me
O moon
Long time no see

Am i happy
With the hope
With the dream
A thousand dream & hope
Seems to be come true

Or i am suffering
In silent
Pretend to be happy
Because the fact a cannot escaping

O moon
Not to leave me
O Allah please help me
To stand still
Accept the reality

The time goes by
The wrinkles added by the time changed

O Allah
Hold me still
This foolish love
Torturing me

O Allah
I tremble in fear
Of death
Of lonely

Friday, June 1, 2012

Dunia benar panggung sandiwara

Mari berbual-bual tentang kehidupan. Malam semakin larut, adzan isya baru saja selesai dikumandangkan, dan itu berarti tak berapa lama lagi orang-orang kampung akan datang ke rumah ini, untuk memulai tahlilan. Tahlilan yang sudah berlangsung sejak hari minggu yang lalu dan malam ini memasuki malam ke 6.

Di dusun ini, apabila ada yang meninggal, terkadang ada keluarga yang memutuskan untuk -mentahlilkan- anggota keluarganya tersebut sampai 7 malam berturut-turut. Bahkan, memberikan bingkisan tanda terima kasih pada tamu undangan yang datang, bayangkan kalau ada 1000 orang yang datang, sementara si keluarga yang ditinggalkan notabenenya adalah keluarga yang tidak mampu. Kalau begitu, setiap keluarga akan berdoa supaya anggota keluarganya tidak pernah meninggal, karena meninggal itu ternyata -mahal- harganya.

Setiap yang hidup akan merasai mati, hal yang pasti. Ketika kita berpikir, berangan-angan tentang yang tak pasti, merencanakan yang belum pasti, tetapi seringkali terlupa tentang yang pasti, MATI.

Dunia ini panggung sandiwara, benar-benar panggung sandiwara. Menjadi -familiar- ketika gelar sandiwara itu berubah nama menjad -drama, sinetron- dan sebagainya. Lingkungan sekitar kita tak ubahnya seperti cerita dalam sebuah sinetron kejar tayang, yang setiap hari tayang di televisi, dari hari ke hari. Tayangan yang menjadi konsumsi ibu-ibu, ibunya ibu, sebagai pengganti drama telenovela beberapa tahun yang lalu, yang dulu.

Aku bercerita tentang lingkungan tempat dimana aku tinggal, suasana yang begitu asing, atmosfer yang aku hindari, sejatinya benar-benar aku hindari, tetapi pada kenyataannya Allah menginginkan aku berada di lingkungan itu, berada di sini.

Para lelaki sudah berada tepat di bawah kamar ku, mereka sebentar lagi akan memulai membaca doa-doa, yang sebenarnya kalau diartikan dalam bahasa indonesia, doa itu untuk diri sendiri dan keluarga si pembaca doa, bukan untuk yang meninggal, karena 'doa anak yang sholeh dan sholehah' yang sebenarnya akan cepat sampai ke Almarhum, sebut saja namanya Pak Imam. Dan almarhum adalah seorang lelaki yang sudah beranak dan bercucu.

Sepeninggalnya, cucunya menangis tersedu-sedu, begitu juga ketiga anaknya, yang dua orang lelaki dan seorang perempuan. Tetapi, kepada salah seorang cucunya aku berpikir "tangismu akan terhenti ketika matamu dihadapkan pada uang -sumbangan- para pelayat itu" lalu "sedihmu pun tak akan lama, begitu diberikan mobil dari orang tuamu" begitu pikirku saat itu, dan -wallahhh- hari kedua sang cucu sudah tertawa terbahak-bahak, memerintah neneknya yang sudah tua, berkata kasar, menyanyi seperti seseorang yang gagal rencana keartisannya. Pikirku "tebakkanku sungguh jitu"

Dan untuk anak lelaki si almarhum, sebut saja namanya Ridwan yang lebih banyak diam, tenggelam dalam alam pikirannya. Bersyukurnya almarhum, karena dari ketiga anaknya, hanya dialah yang menunaikan sholat wajibnya. Harapanku saat itu, semoga anak tak lupa mendoakan bapaknya, yang sudah berada di alam sana.

Anak perempuannya sebut saja namanya Nindi, yang hanya terlihat di hari kematiannya, sisanya? dia tidak pernah nampak, karena memang sudah berpindah agama, menjadi seorang nashara/nasrani. Tetangga kiri dan kanan bergumam "sungguh berat beban almarhum, karena anak perempuannya berpindah agama". Dan pada suatu ketika, anak lelaki almarhum yang lain berkata, "dia (anak perempuan) bilang, tidak menemukan ketenangan ketika sholat, tetapi menemukan ketenangan di dalam agama barunya" begitu ceritanya.

Dan anak lelakinya yang lain, kita sebut dia dengan nama Rio, menurut cerita tetangga kiri dan kanannya, menurut cerita si nenek yang adalah ibunya si anak lelaki ini (*sebut saja namanya Yati). Katanya, tabiatnya yang buruk, tidak dapat diandalkan, melulu hanya berpikir, berbicara tentang uang. Bahkan ketika si almarhum sudah tak ada, anak lelaki ini berkata "biar saya yang urus pensiun bapak". Ibunya hanya diam, tak ingin semakin membuat kusam situasi yang memang sudah runyam.

Dunia ini seperti panggung sandiwara, benar-benar panggung sandiwara, dan keluarga ini tak ubahnya seperti cerita di dalam sebuah sinetron kejar tayang. Ketika si ibu bercerai secara agama dengan almarhum, kemudian ketika si ibu yang sudah renta itu melulu membanggakan anak perempuannya yang sudah berpindah agama, melulu menegatifkan anak lelakinya yang terakhir itu, dan begitu mengelu-elukan, membanggakan cucunya, anak dari anak perempuannya.

Seperti kisah sinetron, ketika pada awalnya si ibu dan suaminya yang kini sudah almarhum, adalah pada mulanya sebuah keluarga yang kaya raya. Kemudian sampai ibu dan bapak bercerai, kemudian anak perempuan dan anak lelakinya yang berfoya-foya, ke tempat hiburan malam, sampai ketika cucu perempuan si ibu, (*sebut saja nama cucu itu Riri) mendapati Nindi (ibunya) dan Rio (pamannya) sedang menghisap narkotika bersama-sama.

Pak imam dan ibu Yati memiliki 2 orang putera dan 1 orang puteri. Cerita dimulai ketika Ibu Yati dan Pak Imam memutuskan untuk berpisah Pada saat itu tak berapa lama, Nindi melahirkan anaknya yang kemudian diberi nama Riri. Nindi adalah seorang wanita karir yang kemudian bekerja di Ibukota, kecintaannya pada pekerjaan membuat dia meninggalkan bayinya pada ibunya, ibu Yati. Sampai suatu ketika, Nindi bercerai dengan suaminya. Singkat kata singkat cerita, nindi mengikuti jejak kedua orang tuanya -bercerai-. 

Aku temukan perceraian menjadi hal yang biasa, ketika tetangga kiri dan kanan, termasuk ibu yati bercerita tentang -si anu, si itu- dan masih banyak lagi yang lainnya -bercerai-, dengan anak satu, dua, atau tiga.

Lambat laun Riri menjadi dewasa, kemudian menjadi terpukul ketika dia dihadapkan pada 'ibunya, nindi, pindah agama'. Riri semakin menelan pil pahit ketika dihadapkan pada fakta yang tak kunjung berujung mengenai siapa ayah kandungnya. Setelah bercerai, nindi menikah lagi dengan Wijaya, orang-orang berkata -wijaya adalah ayah biologis riri', sementara suami pertama Nindi, bukan ayah biologis Riri, "cuma formalitas" begitu ujar tetangga.

Keadaan yang rumit, membuat Riri tumbuh menjadi anak perempuan yang keras. Dan semakin rumit ketika Ibu yati mendidik Riri dengan manja. Riri tumbuh menjadi gadis yang melulu berpikir tentang uang, tak peduli neneknya memiliki uang atau tidak. Bahkan, Riri pun bisa dengan mudah meneriaki neneknya, berkata kasar pada nenek yang sudah membesarkan dia, yang memasakkan air mandi untuknya setiap pagi, yang memijitinya ketika kelelahan, bahkan yang menyuapinya sampai umurnya sudah menginjak 17 tahun. Pendek kata, neneknya tak ubahnya seperti "kacung, pembantu" baginya. Persis seperti 'sinetron Hidayah yang ditayangkan di sebuah stasiun televisi swasta beberapa tahun yang lalu'.

Sampai saat ini, aku tetap tak habis pikir, kejadian seperti ini benar-benar ada di dunia. Kejadian tentang orang tua yang bercerai, kemudian anaknya pun bercerai. Tentang anak lelakinya yang menghambur-hamburkan uang orang tuanya, bahkan kesimpang-siuran cerita antara sang ibu, Yati, dengan sang anak, Rio. Semua nampak begitu membingungkan.

Tentang bagaimana Riri bisa dengan beraninya memanggil ibunya hanya dengan "Si Nindi itu sudah kasih uang belum?" atau suatu ketika "kamu yang goblok" begitu dia membentak neneknya. Atau ketika dia tertawa-tawa ketika melihat uang, ketika dijanjikan untuk dibelikan mobil oleh Wijaya, suami kedua ibunya. Meskipun pada kenyataannya, para tetangga berkata "ibu yati hutangnya banyak, bahkan meskipun rumah itu dijual, hutangnya tak tertutup". Beberapa orang bilang, "hutang itu karena Rio" ada juga yang bilang "hutang itu karena Nindi". Semua begitu simpang siur, tak jelas. Dan entah dimana letak hubungan kekeluargaan mereka, antara anak, ibu, saudara, menantu.

Karena ketika Ibu Yati mengadakan acara tahlilan di rumahnya, dua anak menantunya yang perempuan, tidak lagi nampak, kecuali di hari pertama dan kedua. Sisanya? keponakan ibu Yati dan beberapa orang tetangg membantu ibu Yati mempersiapkan segalanya. Bahkan Riri pun hanya sibuk dengan telepon genggam dan kegiatan bersoleknya.

Semua begitu membingungkan, bukan karena begitu inginnya aku untuk ikut campur ke dalam sebuah sandiwara drama. Tetapi aku tak ubahnya seperti manusia naif yang termelongo berkata "ada ya kejadian seperti ini di dunia nyata". Melulu begitu isi kepalaku berkata, bahkan sampai saat ini aku masih tak habis pikir dengan apa yang terjadi pada atmosfer tempat aku berteduh kini. 

All i can do, berdoa semoga apa yang terjadi di sekelilingku saat ini, tidak terjadi pada keluarga dan orang-orang terdekatku. 

Seperti ini yang nampak ketika manusia tidak mengenal Tuhannya, tidak mendekatkan diri pada Allah ta'ala. Melainkan menjadikan dunia sebagai tujuan, menjadikan harta sebagai idaman, sebagai idola di dalam hidupnya. Dan begitu menyedihkan ketika menjadikan agamanya sebagai permainan. 

Naudzubillah, semoga Allah menjauhkan aku, keluargaku, orang-orang terdekatku dan kamu dari siksa kubur, siksa api neraka, dan tipu daya dunia. Amin

Monday, May 28, 2012

Bukan sekedar di atas kertas, sebuah ilustrasi

Hujan turun, deras, aku bercerita tentang seorang anak manusia yang sudah cukup lama aku kenal, amat lama. Beberapa berkeluh-kesah pada datangnya hujan, tetapi anak-anak pembawa payung-payung besar itu, begitu riang ketika hujan datang, karena berarti 'profesi mereka sebagai pengojek payung' sudah pasti menuai rezeki.

Suara titik-titik hujan itu begitu terdengar keras, membasahi setiap mili dari atap rumah tempat anak manusia itu berada kini. Sekedar ingin bercerita tentang bahwa kualitas seorang anak manusia bukan sekedar apa yang tertera di atas kertas.

Suatu ketika, ketika aku tidak tahu harus memulai darimana, suatu ketika dimana aku merasa tidak bebas dengan kamu, tempat dimana aku terbiasa bercerita, berceloteh tentang tingkah laku manusia, penghuni bumi ini, penghuni bumi nusantara, Indonesia.

Dan anak SD yang jujur itu pun sudah beranjak dewasa

Dan tangis itu pecahlah, sesenggukan ia, sore menjelang sholat maghrib itu, ketika dia mengetahui bahwa dia satu-satunya orang yang mendapatkan nilai mutu terendah dari teman-teman satu kelasnya. Sebenarnya nilainya bukan menandakan bahwa dia tidak lulus untuk mata kuliah itu, dia lulus, tetapi dengan semua apa yang dia usahakan, dia merasa keadaan sudah berlaku tidak adil padanya.

Temannya berkata, "Bill gates berkata, orang sukses itu adalah orang yang tau bagaimana dunia bekerja". Hatinya berkecamuk, dia marah entah pada siapa, marah pada dirinya karena tidak bisa bekerja seperti dunia bekerja, dia mampu, dia tidak mampu, dia tidak mau. 

"Apakah aku harus berbuat curang pula seperti mereka, untuk sukses di dunia?" begitu dia berkata pada temannya yang berada disaluran telepon selulernya

"Ya, supaya kamu bisa mendapatkan hasil seperti apa yang teman-teman kamu dapatkan, jika memang itu perlu menurut kamu" begitu jawab temannya

"aku tidak bisa" begitu jawabnya

"Kenapa kamu tidak bisa?" tanya temannya
"Bekerja seperti apa dunia bekerja, kalau kamu merasa bahwa kamu diperlakukan tidak adil, kalau kamu merasa bahwa perlu agar orang lain tau, kamu tidak sebodoh itu. Maka kamu temui dosenmu, tanyakan mengapa nilai kamu paling rendah diantara yang lainnya. Daripada kamu berkeluh kesah yang tidak menghasilkan apa-apa" begitu ujar temannya pula

Snak perempuan itu terus menarik nafas panjang, kepala dan hatinya terus berpikir, kemudian
"menemui dosen? untuk apa? bertanya mengapa nilaiku bisa seperti ini? kalau pun aku diberikan lembaran-lembaran hasil ujianku, aku percaya memang aku pantas dengan nilai itu. Lalu? aku harus berkata apa lagi? mengatakan bahwa hampir 100 % peserta ujian berlaku curang? bekerja sama? menyamakan jawaban setiap kali ujian?"

"ya kalau memang perlu" begitu jawab temannya

"Tidak, aku tidak mau begitu, aku tidak ingin begitu. Berlaku jujur, sudah menjadi keputusanku, meskipun dari dulu aku sudah tahu akan seperti ini konsekwensinya, tetapi tetap saja kali ini begitu mengecewakan aku. Mereka yang sama sekali tidak tahu menahu, yang kadang hanya bermain-main ketika dosen-dosen itu menyampaikan materi di depan kelas. Dan masih banyak lagi hal-hal lain yang membuat aku kecewa. Rasa kesal itu selalu ada, begitu setiap kali ujian diadakan, kejadian sama berulang. Persaingan ini tidak sehat, kompetisi ini tidak menguntungkan aku." ujar anak perempuan itu

lalu tambahnya

"yang semakin membuat aku merasa malu, ketika bagian administrasi tempat dimana aku menuntut ilmu, memperlakukan aku seperti berbeda dengan teman-teman aku yang lainnya. Mereka tidak menatap wajahku ketika aku bertanya tentang subjek yang harus aku ulang di semester depan. Mungkin hanya perasaanku saja, tetapi pada saat itu aku ingin berkata -aku tidak bodoh, pada saat ujian itu diadakan, aku sedang dalam keadaan sakit-, semakin tidak berpihak kepadaku ketika banyak yang berlaku curang pada saat ujian. Itu selalu terjadi, meskipun dosen pengawas melihat, meskipun pengawas ujian berada di sana, seperti tidak terjadi apa-apa. Mereka yang mengawas turut berperan dalam prilaku curang yang dilakukan oleh teman-temanku" begitu ujar anak perempuan itu sembari terus sesenggukan menahankan tangisnya

"Dengar,........." temannya mengomentari celoteh panjangnya
"keluh kesahmu tidak akan menghasilkan apapun itu, temui dosenmu, katakan apa yang terjadi, supaya berhenti tangismu, supaya berhenti keluh kesahmu. Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kalau kaum itu sendiri tidak berusaha untuk mengubahnya" tambahnya

Anak perempuan itu terdiam, dia teringat ketika beberapa tahun yang lalu, ketika dia duduk di bangku sekolah dasar, bagaimana dia dikucilkan karena diminta untuk membocorkan jawaban ujiannya kepada teman-teman satu kelasnya. Hal yang menyakitkan, dan lebih terasa menyakitkan ketika dia masuk ke perguruan tinggi, dimana dia berpikir bahwa masa lalu pada saat SD itu sudah berlalu, ternyata itu hanya bayang dan harapan semu. 

Semakin kejam ketika orang-orang dewasa lebih percaya dengan apa yang tertera di atas kertas, daripada apa yang ada di dalam kepala manusia yang memiliki kertas. 

"Sekarang kamu mau apa?" tanya temannya
"Menyerah? perjuangan kamu belum selesai, dunia luar lebih kejam daripada ini, lebih absurd, lebih aneh, sampai saling membunuh. Apa yang terjadi pada mu, dihadapkan pada keadaan dimana orang-orang disekelilingmu berbuat curang massal pada saat ujian? itu masih hal yang kecil, dan memang seperti itulah dunia bekerja. Kalau kamu tidak bisa menerima, bersabar, berlaku curanglah, karena memang seperti itulah dunia bekerja saat ini." begitu ujar temannya saat itu

"Tidak, aku tidak mau. Ibu bilang -nak, yang penting ilmunya, bukan nilainya, biarkan orang berpikir bahwa kita bodoh, yang penting kita tidak bodoh-. Dulu, ibu juga pernah bilang -kita tidak perlu berkata kita pintar untuk membuat orang lain berpikir bahwa kita pintar-. Dan aku tahu, aku tidak ingin berlaku curang seperti itu, aku merasa Allah melihatku, -........,dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan, bukan sebaliknya.....-" ujar anak perempuan itu

"Kalau begitu, tegakkan kepalamu. Memiliki nilai B itu bukanlah aib karena kamu berusaha dengan dirimu sendiri, bukan dengan bantuan orang lain. Tidak perlu merasa malu, tidak perlu merasa iri, menjadi jujur itu adalah pilihanmu. Negara ini memang seperti ini dan kamu sudah tau itu, kalau kamu tidak bisa bertahan, maka kamu harus pindah ke luar dari negeri ini. Negeri ini sudah sampai dimana orang-orang yang berlaku jujur itu dianggap aneh" begitu ujar temannya

Anak perempuan itu masih terdiam, dia membenarkan apa yang disampaikan oleh temannya pada saat itu, malam itu, hari itu. Dan semakin membenarkan ketika dia berpikir, ketika hatinya berkata bahwa orang-orang yang tidak berlaku curang, dianggap aneh, semakin lama semakin menjadi minoritas. Sama seperti agama Islam, agama yang dianutnya, yang datang dalam keadaan aneh, dan akan kembali dianggap aneh, bahkan saat ini pun sudah dianggap aneh.

Anak perempuan itu menghentikan tangisnya, dan aku bersyukur dia sepertinya mulai mengerti jalan hidup yang dia jalani saat ini. Anak perempuan itu semakin menyadari bahwa apa yang dia katakan dahulu bahwa -hidup itu pilihan- seperti inilah nyatanya. Dia yang memilih untuk menjadi berbeda, maka dia harus berusaha lebih karena jalan hidup yang dia pilih. Dunia belum berakhir dengan anggapan miring orang-orang tentangnya, dunia belum berakhir dengan nilai B di lembar kertas miliknya.

"Makasih ya kak" begitu ujar anak perempuan itu kepada kakaknya yang sudah seperti teman baginya

Malampun semakin larut, anak perempuan itu mencoba berdamai dengan hati dan akal pikirannya. Memberikan semuanya kepada Allah yang menentukan takdirnya, menerima semuanya sebagai rezeki, sebagai nikmat yang harus dia syukuri.

---------------------------------------------

"Jadi gitu cep ceritanya" begitu ujar temanku itu kepadaku

Pagi, ketika lelaki itu datang, duduk kemudian bercerita tentang adik perempuannya yang berkeluh kesah kepada kakak lelakinya, dia. Tentang apa yang terjadi di lingkungan tempat adik perempuannya bersekolah, di sebuah Institut teknologi ternama. 

Aku hanya mengangguk, sesekali tersenyum, mengiyakan, menggelengkan kepala, lalu ujarku
"seperti inilah dunia tempat dimana kita berada"

Angin semilir bertiup, sejuk, membawa matahari berjalan semakin jauh, semakin membumbung tinggi kemudian tertutup awan. Aku dan temanku itu kembali duduk dalam diam, seperti tenggelam dalam alam pikiran kami masing-masing tentang bumi nusantara dan manusianya yang semakin bertambah tua, semakin menjadi tingkah lakunya, semakin menyedihkan, tetapi memang beginilah 'dunia bekerja saat ini', memang seperti inilah dunia yang diterima oleh manusia zaman kini.



Sebuah ilustrasi tentang manusia zaman kini
cerita tentang anak SD yang dikucilkan karena tidak membagi jawaban ujian kepada teman satu kelasnya, cerita setahun yang lalu, membuahkan inspirasi untuk menuliskan cerita ini


Thursday, May 10, 2012

Bocah lelaki dengan burung besi bernama sukhoi jagoannya

Mentari beranjak ke peraduan, burung-burung sudah terbang pulang kembali ke sarang. Kota ini seakan tidak pernah mati. Suara deru mesin kendaraan roda dua, roda empat hilir mudik ke sana ke mari. Suara anak-anak, balita, orang tua, muda memenuhi rongga-rongga udara yang kemudian tertiup terbawa angin petang, hingga dalam hitungan beberapa meter, suara-suara itu masih akan terdengar oleh telinga manusia dan makhluk hidup yang lainnya.

tidak ada angin bertiup senja yang semakin temaram ini. Hanya sisa-sisa awan yang sebenarnya berwarna biru, putih, atau sebenarnya tak berwarna, yang kemudian serta merta berubah menjadi gelap, suram, kelabu manakala mentari mulai tenggelam di ufuk barat, meninggalkan awan yang tetap berada di atas, langit katanya. Berjejer rapi, tanpa pernah runtuh, jatuh ke bumi meskipun sejatinya awan-awan itu tidak ada yang menyangga, tidak pula ada tali yang menggantungnya. 

anak kecil itu terdiam, duduk menekuri  pinggir jalanan sebuah desa di salah satu kota yang ada di Indonesia. Dia adalah satu titik yang ada di dunia, yang tinggal di sebuah negeri, negeri antah berantah kata orang 'berambut pirang' di sana. Anak lelaki kecil itu beralaskan sendal jepit, memanggul bongkah-bongkah es batu yang di letakkan di dalam sebuah karung, tepat di punggungnya.

apakah lahir dapat memilih? tidak ada yang bisa memilih. Sebagian orang merasa beruntung lahir di tengah keluarga yang kaya, dengan harta melimpah, fisik dan wajah yang tampan, gagah, rupawan, dengan makanan minuman yang luar biasa enaknya. Dan sebaliknya, sebagian orang merasa tak beruntung ketika lahir dan hidup dari keluarga yang sebaliknya.

dia adalah anak lelaki, berusia 13 tahun, tinggal di sebuah desa, dengan kaki-kaki yang yang kokoh, dengan jari jemari kaki yang kuat menapak, memijakkan diri ke bumi. Dia berjalan di bawah terik matahari, setiap hari, dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun.

Hari itu dia terduduk di tepi jalan yang bersisian dengan sawah yang hampir menguning padinya. Anak lelaki itu duduk dalam diam, kelelahan, bongkah-bongkah es batu yang akan digunakan oleh bapaknya untuk membuat 'es tong-tong' itu, terasa begitu membebani punggungnya. Pikirnya "ah aku istirahat sebentar, tak mengapa" begitu gumamnya.

Anak lelaki itu tetap duduk, meski mentari begitu menggoda dengan lidah-lidahnya yang panas. Dan anak lelaki berambut pirang kerana matahari itu tetap tak bergeming, sampai ketika seorang penjaga warung kecil, tepat di seberang jalan dia duduk, memanggilnya "Kene 'le" begitu penjaga warung itu berteriak dari kejauhan.

Anak lelaki itu serta merta kegirangan, mengangkat sekarung penuh bongkah es batu yang beratnya mencapai 12 kg itu, kemudian meletakkannya di punggungnya yang masih muda belia, sama belianya dengan usianya.
"istirahat di sini le, di luar panas" begitu ujar penjaga warung itu. Seorang wanita tua, dengan kain 'jarik' yang melilit tubuhnya, dari perut sampai ke mata kakiknya. Dengan kebaya yang sudah lusuh, dengan rambut berwarna putih yang tersanggul rapi di kepalanya.

"inggih mbah, matur suwun" begitu ujar bocah lelaki itu

mbok penjaga warung meninggalkan bocah kecil itu setelah berkata "nek haus, airnya di atas meja ya le, ambil sendiri" begitu ujar si mbok, sembari menunjuk ke meja kayu tua yang tepat berada di hadapan bocah lelaki itu. 

"mbah ke belakang dulu ya, ada yang mau mbah kerjain" begitu ujar wanita renta itu, sembari meninggalkan bocah lelaki itu sendiri di amben-amben warung kecilnya.

Angin semilir bertiup, Tuhan tidaklah jahat, begitu pikir bocah lelaki itu. Panasnya matahari yang membuat tersiksa jari-jemari dan telapak kakinya, masihlah diiringi dengan tiupan angin yang meskipun semilir tetapi mampu membuat butiran-butiran keringat yang semula mengalir deras dari ujung kepala sampai ke pelipisnya, menguap, hilang, meninggalkan kesejukan. 

Bocah lelaki yang berambut merah karena matahari itu masihlah menikmati indahnya dunia, versinya, versi orang desa, versi seorang bocah lelaki yang merupakan satu titik kecil di galaksi bima sakti ini. Masih begitu asiknya sampai ketika pandangannya tertumpu pada sebuah tulisan yang berjalan, berganti hilir mudik di layar televisi milik wanita tua yang menjamunya siang ini.

Tulisan itu menceritakan tentang kematian, maut, sesuatu yang tak terduga, sesuatu yang pasti, datang tiba-tiba, bisa terjadi pada seseorang, atau pun terjadi pada banyak orang dalam waktu yang bersamaan. 

Pesawat milik rusia bernama sukhoi itu menarik hatinya, bocah lelaki berambut merah karena matahari itu. Dia tertegun mengamati betapa gagahnya burung besi yang berwarna dominan biru itu terbang, menukik, sebelum kemudian akhirnya dia tahu bahwa burung besi itu sudah hancur, berkeping-keping, karena melawan kokohnya tebing.

Dia pun tertegun, dia tak mengerti mengapa burung besi yang baru itu bisa celaka seperti itu. Mengapa burung besi yang katanya kokoh itu bisa hancur berkeping-keping karena tebing yang diam tak bergerak, mati tak peduli. Pikirnya "tebing yang angkuh berdiri itu sudah menghancurkan burung besi idamanku" begitu gumam bocah lelaki berambut merah karena matahari itu.

Bocah lelaki itu masih enggan untuk beranjak dari tempat dimana dia duduk dan termangu, menekuri setiap gerak yang dimunculkan oleh kotak ajaib yang berada di hadapannya saat itu.

Dia semakin terbingung-bingung ketika banyak orang berkerumun, menangisi kehancuran burung besi jagoannya yang berwarna biru, yang bernama sukhoi itu.

Bocah itu tidak lulus SD, tetapi dia masih mampu membaca, mengerti sedikit tentang apa yang di sampaikan oleh ibu-ibu pembaca berita yang ada di dalam kotak ajaib si mbah yang sudah tua renta. Burung besi yang baru saja lahir itu membawa banyak orang di dalam perutnya. Orang-orang yang pada awalnya merasa akan menjadi bagian dari sejarah, berada dalam burung besi yang bernama sukhoi, yang berasal dari rusia itu, negeri yang bocah lelaki itu sama sekali tidak pernah membayangkan seperti apa rupanya.

Mati, kata itu yang melayang-layang di dalam kepala bocah lelaki itu. Mereka yang berada di dalamnya secara simpang siur dikabarnya sudah pasti tidak selamat, "mestine wis menghadap gusti Alloh" begitu gumam lelaki itu. Dia merasa sedih, sedih karena burung besinya kalah dari pertarungannya dengan tebing yang sudah lebih dahulu lahir dari pada burung besinya. Dia merasa iba pada mereka-mereka yang ikut di dalam burung besinya, yang kini tidak jelas bagaimana nasib mereka di sana.

Untuk sejenak, bocah kecil berambut merah karena matahari itu tertunduk lesu, kemudian termangu. Sampai ketika dia mendengar beberapa orang selamat, tak jadi menghadap gusti Alloh, karena memang belum ajalnya, karena memang bukan takdir mereka untuk wafat bersama burung besi yang menjadi jagoan bocah lelaki itu beberapa menit yang lalu.

Ibu-ibu pembaca berita yang berada di dalam kotak ajaib itu berkata, beberapa penumpang, ada yang selamat karena dilarang oleh istrinya untuk ikut terbang bersama burung besi itu, ada yang selamat karena menunaikan sholat zhuhur, sehingga bawahannya menggantikan posisinya. Pikir bocah lelaki itu bapak itu beruntung karena mengikuti permintaan istrinya, yang lain selamat karena mendahulukan sholat lohor memenuhi kewajibannya kepada Sang Penciptanya, daripada coba-coba terbang dengan burung besi baru bernama sukhoi itu. Sedangkan yang lain tidak selamat karena menolak mengikuti perkataan ibunya, yang melarangnya terbang bersama burung besi asal negeri beruang merah itu.

Hari semakin siang, matahari tetap tidak mau berkompromi dengan kelelahan yang dirasakan oleh bocah lelaki berambut merah karena matahari itu. "Mbah, aku arep mulih" begitu ujarnya sembari sedikit mengeraskan suaranya.

si mbah yang semula berada di dapur, mengurusi dagangannya, menemui bocah lelaki berambut merah karena matahari itu. "ooo iyo, sudah segeran tho?" ujar wanita renta itu
"sampun mbah, suwun yo mbah. Pulang dulu, bapak pasti nunggu es batunya" balas bocah lelaki itu
"yo, salam karo bapakmu yo le" kata mbah putri itu kepada bocah lelaki itu.
"yo mbah, assalammu'alaikum"
"kumsalam" jawab mbah putri

Bocah lelaki itu kembali mengumpulkan tenaganya, mengangkat sekuat tenaga sekarung es batu yang beratnya mencapai 12 kg itu, kemudian meletakkannya di punggungnya yang masih belia itu. Bocah lelaki itu kembali menapak dengan sendal jepitnya yang berwarna biru tua, sendal jepit yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun lamanya.

Hari ini, dia belajar, dia belajar untuk mengatakan 'ya' pada semua kata-kata, perintah yang baik, yang dikeluarkan oleh otoritas tertinggi di dalam kehidupan anak manusia. Ketika Suami berkata 'ya' pada larangan istrinya, begitu juga sebaliknya. Dan bagaimana seharusnya seorang anak berkata 'ya' pada larangan yang disampaikan oleh orang tuanya, dan tentang bagaimana mendahulukan kewajiban pada Gusti Allah, daripada mendahulukan urusan dunia yang tak akan pernah ada habisnya.

Dan hari ini, dia belajar untuk mensyukuri apa yang sudah dia terima hari ini. Bersyukur karena matahari sudah bersedia 'memerahkan' rambutnya tanpa dia harus pergi ke salon dan membayar dengan rupiah untuk itu. Bersyukur meskipun dia tidak memiliki sepeda untuk mempermudah pekerjaan 'memanggul esnya' tetapi Allah masih memberikannya kekuatan fisik dan tubuh yang sempurna. Bersyukur meskipun dia harus berhenti sekolah karena keterbatasan ekonomi kedua orang tuanya, tetapi dia memiliki keluarga yang utuh, yang menyayanginya. Menyesal? tidak ada, meksipun orang tuanya tidak mampu, meskipun harus terhenti sekolahnya, meskipun kakaknya mengalami kekurangan dari sisi pendengarannya.

Allah Maha Adil adik kecil
meskipun susah payah engkau rasakan saat ini
meskipun tak dapat memilih di keluarga mana, kamu dilahirkan
tetapi, dengan syukurmu kepada Tuhan yang menciptakan kamu
tetapi, dengan syukurmu terhadap apa yang Allah berikan kepadamu

kamu jauh, jauh lebih mulia daripada aku, dia, mereka dan manusia yang lainnya, yang sempurna, yang tak sempurna, yang sehat, yang kaya raya, yang memiliki segalanya tetapi lupa, tidak pandai mensyukuri dan tidak ber-qanaah terhadap apa yang telah Dia berikan kepada aku, kita, kami, manusia.






Wednesday, May 9, 2012

tentang Irshad Manji dan orang kota vs orang udik, sebuah filosofi

Saya tidak mengerti tentang 'ada apa denganmu' situs blogger.com yang sudah menemani saya sejak beberapa tahun yang lalu. Tapi, baiklah, kita kesampingkan hal itu, mungkin bukan kesalahan 'blogger.com' nya, melainkan sesuatu terjadi pada jaringan serta provider yang saya gunakan.

Lama tak berjumpa, mengotak-atik isi kepala, melampiaskan apa yang hati saya tanyakan kepada kepala saya tentang seperti apa manusia, alam, tentang kehidupan, bahkan terkadang tentang cuaca.

'tak tik tuk tek tok' seandainya seperti itu suara yang dihasilkan dari interaksi yang terjadi antara jari-jemari saya dengan tuts-tuts keyboard netbook yang kecil tapi tak mungil ini. Tentunya, akan lucu terdengar di telinga saya dan bisa jadi akan terpecah konsentrasi saya. Karena terlalu terpesona dengan suara 'tak tik tuk tek tok' itu.

Saya akan berhenti memulai selayang pandang yang sebenarnya merupakan sebuah pengalihan karena apa terkadang, apa yang ingin saya tuliskan, belum mampu untuk saya tuangkan. Maka, mari berlebih-lebihan dalam membuat sebuah metafora, perumpaan, hiperbolik, yang terkadang terlampau berlebihan.

Siang ini, di dalam sebuah kamar petak, lantai dua, menikmati remangnya cuaca dari siang menjelang senja di kota Bandung. Tepatnya, taman sari, pelesiran nomor sekian (*no saya samarkan demi keselamatan penulis). Hahahahaha, saya mulai bergurau tentang keselamatan yang lebih kepada mengada-ada.

Saya menulis, sebuah cerita, sebuah pandangan tentang seorang anak manusia bernama Irshad Manji. Sejatinya saya tidak mengenalnya, diapun sudah lebih kepastiannya 'tidak mengenal' saya pula. Pemberitaan beberapa hari terakhir ini membuat saya 'sedikit' atau memang 'tertarik' untuk sekedar mencari tahu tentang sosok yang lumayan membuat masalah di negeri ini semakin bertambah *hehehehe.


Singkat tentang Irshad Manji, dari namanya saya pikir dia lelaki, ternyata dia wanita, berusia 44 tahun, berkebangsaan Kanada, seorang muslim. Selebihnya mengenai sosok Irshad Mandi dapat dibaca di situs berita kompas.com. Saya bukanlah seseorang yang bisa dengan mudah 'fans' dengan seorang anak manusia, karena menurut saya, semua manusia sama kedudukannya. Hanya beberapa orang saja yang mampu membuat saya tertegun, kemudian serta merta saya akan berkata 'saya mengidolakannya'.

Sosok irshad manji ini cukup membuat situs berita online kebanjiran berita mengenai sepak terjangnya di Indonesia pada tahun 2012, ya setidaknya terhitung sejak kedatangannya ke Indonesia, sampai dengan ketika dia diboikot oleh ormas tertentu pada saat akan melakukan diskusi di Teater Salihara. Menurut beberapa situs berita online yang saya baca, Irshad Manji dituding menyebarkan hal-hal tentang 'transgender, homoseksual, dan lesbian' melalui bukunya yang berjudul 'Allah Liberty and Love'. Tetapi, menurut si penulis (irshadmanji red) dia tidak menyebarkan paham-paham, pemikiran-pemikiran tersebut di dalam buku yang dia karang.

Waallahualam, karena saya belum membaca bukunya. Tetapi, menurut teman saya *masih menurut pendapat orang lain, isi buku dari Irshad manji tersebut 'memprovokasi'. Tentu saya akan provokatif apabila yang membaca, sekedar membaca tanpa menganalisa, kemudian terbawa dengan alur pikiran si penulis, atau bertentangan tetapi bertentangan tersebut sifatnya merusak. Seperti memaki-maki penulis, atau menghina, menghujat salah satu pihak, seperti yang saya baca  melalui komentar-komentar pembaca berita tentang Irshad Manji di situs-situs berita online *menyedihkan.

Hal yang menjadi pertanyaan di dalam benak saya adalah bagaimana Irshad Manji bisa sampai ke Indonesia, sementara pada tahun 2008 *dia sempat menerbitkan buku juga*, tetapi tidak terkenal. Siapa yang mengenalnya? saya tidak, bahkan tidak ada pemboikotan atas kedatangannya. Lalu, tahun ini, 2012, siapa yang mengundangnya, siapa juga yang mempersiapkan, mengatur agenda diskusi Irshad Manji dengan Universitas-universitas, siapa pula yang memfasilitasinya? Yang menjadi fasilitatornya, yang menghubungkan dia pihak-pihak yang sekarang ini telah, sedang, dan akan berdiskusi dengan Irshad mengenai bukunya 'Allah, Liberty, and Love'.

Sedikit aneh menurut saya, ketika dia katakan bahwa Tuhan itu sama dengan cinta. Tetapi, bila dia perempuan, dia muslim, dia mencintai Tuhannya, dan dia paham sekali dengan konsep ketuhanan, cinta, yang saat ini dia anggap benar. Seharusnya, setiap pencinta akan melakukan segala sesuatu untuk kekasih yang dicintainya, seperti Allah perintahkan TUTUP AURAT, maka bila memang benar dia memahami konsep 'cinta', memahami Tuhannya, maka dia *irshad manji* akan menutup auratnya. Tetapi, pada kenyataannya, dia tidak.

Buku yang dia karang, pernyataan yang dia keluarkan, pemikiran yang dia tuangkan ke dalam bukunya, menurut saya kontradiktif dan Irshad Manji lebih kepada sosok yang Inkonsisten.

Dan yang saya heran, mengapa orang Indonesia sebegitu inginnya berdiskusi dengan dia? Secara gamblang, singkat, sekilas, dan dangkal, saya melihat sosok Irshad Manji adalah tipe manusia yang mencari pembenaran, bukan kebenaran. Dia lebih nampak sebagai seseorang yang mencari hal-hal yang mendukung pemikirannya, mengambil ayat sebagian lalu mengesampingkan ayat yang lain.

Lantas, hal apa yang ingin didiskusikan orang Indonesia dengan dia *Irshad Manji*?

Orang Indonesia, penyakit latahnya tidak pernah hilang. Asalkan seseorang itu berasal dari luar negeri, entah itu Amerika, Kanda, eropa atau barat sebelah ujung berungpun. Asalkan berasal dari barat, diketahui muslim, berpikiran 'terbuka' menurut mereka, maka akan berbondong-bondong tertarik. Menganggap kata-kata orang 'Barat, muslim' itu -petuah, emas, bijak-, menganggap cara pikir mereka luar biasa. Meskipun sebenarnya biasa saja.

Kemudian secara kurang ajarnya saya membuat sebuah perumpamaan. Dimana Orang Indonesia tak ubahnya seperti orang Udik, orang kampung yang dari kampung sekali. Tak mengenal listrik, tak mengenal televisi, tak mengenal alas kaki. Sehingga, ketika melihat orang kota (*orang asing, barat) datang ke kampungnya yang udik, dengan memakai mobil *meskipun butut*, yang wanita memakai rok pendek dengan konde seberat 1kg, yang lelaki dengan pakaian perlente dengan pantat tertungging-tunggi ke belakang, sembari menyunggingkan senyumnya yang memperlihatkan barisan gigi-gigi emasnya. Maka serta merta orang udik itu mengikuti orang kota ke balai desa. Menonton pertunjukan 'orang kota masuk desa'.
Sesampainya di balai desa, termelongo-melongo-lah orang-orang udik itu ketika melihat orang kota yang berbeda dengan mereka. Orang kota yang putih-putih, yang giginya terpasang emas, perak. Sampai ketika orang kota itu berbual-bual "gajah itu lebar sodara-sodara" begitu ujar orang kota.

Maka orang desa yang udik itu akan saling berbisik satu sama lain "oooooo, ternyata gajah itu lebar. Pak kades kemarin bilangnya gajah itu besar" ujar salah satu orang udik, orang udik lain menimpali "pak kades salah, orang kota pasti benar" begitu ujar udik yang satunya, udik yang lebih udik lagi tak mau kalah "mungkin gajahnya pak kades dengan gajahnya orang kota beda" begitu ujar udik paling udik dengan mimik meyakinkan. Lalu ketiga orang udik itu secara bersamaan berkata "oooooo, ya ya, mungkin gajahnya beda".

Dan kedua orang kota laki perempuan itu serta merta mendelik satu sama lain, saling melirik, memberi kode kepada sesamanya yang artinya 'orang udik mudah dibohongi'. Di lain waktu, mereka akan berkata 'orang udik mudah diadu domba', karena keesokan harinya, mengenai gajah yang besar, gajah yang lebar itu menjadi permasalahan besar. Udik yang satu dengan udik yang lain masing-masing bersikukuh dia yang paling benar, sampai perkelahian pun terjadi, antara sesama orang udik.

Dan, kampung udik yang semula damai itu menjadi rusuh, ribut, kelahi sana-sini, karena kedatangan orang kota ke kampung udik di suatu ketika.
Apa istimewanya buku itu? entahlah

Menurut Irshad buku itu tentang kebebasan, kebebasan bertanya, berpendapat. Yaaaa dari artikel yang saya baca, dia pernah diultimatum untuk menerima tanpa diberi kebebasan untuk bertanya *ketika dia berada di Madrasah.

Siapa yang bilang bahwa Islam itu konservatif? tidak menerima keterbukaan? tidak boleh kritis? tidak boleh bertanya? Hal yang salah kalau ada yang menganggap Islam itu seperti itu. Irshad hanyalah satu dari beberapa gelintir orang Muslim yang kedapatan "apes", karena bertemu dengan guru yang tipikalnya "saya guru, apa yang saya bilang kamu ikut, tak perlu banyak bertanya". Lalu apakah yang salah islam? Islam secara keseluruhan? muslim dan ulama secara keseluruhan?

Tidak, Islam tidak ada yang salah dengannya. Irshad hanya kedapatan apes karena bertemu dengan guru yang seperti itu karakternya, sifatnya. Dan guru juga manusia, lalu, apakah semua guru di madrasah seperti itu? siapa bilang? ckckckckck, sangat disayangkan ketika Irshad secara dangkal men-generalisir bahwa islam yang saat ini (*padahal yang dia temui saja) adalah konservatif). Sebuah analisa dangkal dan hebatnya lagi dengan analisanya sendiri tersebut dia menghasilkan sebuah buku, yang dijual, diterjemahkan, kemudian orang Indonesia berbondong-bondong ingin berdiskusi dengan dia tentang bukunya.

Menyedihkan, ya bagi saya menyedihkan. Hal yang menyedihkan ketika orang-orang muslim yang tidak mengenal agamanya sendiri, kemudian serta merta tertarik dengan Irshad kemudian beranggapan bahwa Irshad mewakili kegundahan hatinya tentang agama Islamnya yang menurut dia telah mengekangnya. Dan yang lebih aneh lagi adalah, ketika dengan jelas Lesbi dikategorikan sebagai gangguan psikologi yang berimbas pada disorientasi seksual. Dan seorang Lesbian, Irshad Manji, justru dijadikan bahan rujukan, contoh, panutan oleh akademisi-akademisi, sungguh memprihatinkan.

Sama memprihatinkannya ketika seorang teman saya, lebih memilih menggunakan kutipan seorang tokoh spiritual Dalai Lama, ketimbang kutipan Al quran, hadist, Rasulullah dan para sahabat nabi, orang -orang sholeh, sholihah. Kiamat semakin dekat kawan, ketika manusia muslim zaman kini semakin menutupi identitas ke-Islamanannya, semakin menganggap aneh ke-Islamannya, dan saya pun termasuk di dalamnya.

Monday, April 2, 2012

jelajah 1000 wajah

Entah dengan motivasi apa saya membuat judul 'jelajah seribu wajah' ini beberapa bulan yang lalu, tapi mari membuat sebuah asumsi-asumsi sederhana. Sebuah kesimpulan, meskipun kesimpulan itu didapat dari sebuah analisa dangkal tentang berbagai macam wajah yang bisa manusia nampakkan di hadapan manusia yang lainnya.

Manusia memiliki banyak wajah di dalam hidupnya, bahkan seorang suami/istri sekali pun tidak akan pernah tau seperti apa isi di dalam hati pasangannya.

Media televisi banyak menceritakan tentang bagaimana manusia-manusia yang pendiam, yang terlihat baik di luar, tetapi belakangan melakukan tindakan yang menurut orang-orang di sekelilingnya "tidak mungkin dia melakukan itu"

Jelajah seribu wajah, beberapa kali saya melihat iklan rokok di televisi, betapa manusia setiap harinya menggunakan topeng di dalam kesehariannya. Lebih seperti bahwa "dunia ini panggung sandiwara" atau bukan ya? mengingat setiap pemain sandiwara memainkan peran yang bukan dirinya. Sama seperti mengenakan topeng untuk peran yang dimainkannya di atas panggung pertunjukkan.

"baelah" begitu dalam bahasa sunda

Setiap manusia punya alasan mengapa dia mengenakan topeng di dalam kesehariannya. Mengapa dia bersandiwara di dalam hidupnya.

Beberapa orang kenalan saya, menceritakan pengalaman paling memalukan di dalam hidupnya, diri mereka mengatakan bahwa "ini aib" begitu ujar mereka pada saya.

Ya, saya tahu, saat itu saya mengangguk setuju. Tetapi, aib mereka aman bersama saya, saya simpan, saya terbangkan bersama angin yang bertiup kala itu. Saya mendengarkan mereka bercerita, saya memiliki, saya menyimpan kisah di dalam hidup mereka. Saya mencernanya, saya tidak menghujatnya, saya pun tidak mencibirnya, saya memakluminya, saya memaafkan mereka sebagai manusia.

Lalu ketika seorang kenalan saya itu bertanya "bukankah Allah menutupi aib hamba Nya, lantas mengapa kita harus membukanya" begitu katanya pada saya.

Ya, memang, Allah menutup aib hamba Nya. Begitu Maha pengasih dan penyayangnya Dia, ketika Dia Yang Maha menutupi aib manusia, manusia yang tak ubahnya seperti debu yang beterbangan, yang cuma seorang hamba, kadang merasa berhak untuk mengungkap, menyebarkan aib temannya, sesamanya, saudaranya.

Saya simpan rapat-rapat cerita mereka pada saya tentang seperti apa masa lalu yang mereka punya. Saya tersenyum, saya hanya bisa berkata, sebagai seorang manusia "Allah Maha mengampuni dosa hamba Nya, selama tidak menyekutukan Nya" begitu saya sampaikan padanya, beberapa tahun yang lalu, ketika saya masih menempuh pendidikan strata satu.

Jelajah seribu wajah

Di dalam gelap aku dendangkan, syair lagu kehidupan

saya biarkan masa lalu itu terbang, hilang
saya menganggap tidak ada, apa-apa yang menyakitkan
saya memaafkan manusia
berharap Dia akan mengganti luka
berharap Dia akan mengampuni dosa
berharap Dia akan memaafkan dengan kemurahan hati Nya
dengan keluasan rahmat dan ampunan Nya

Thursday, March 1, 2012

"Selamat malam bulan" begitu katanya

menghela nafas panjang

seorang wanita yang duduk mengamati kelap-kelip layar netbooknya yang menemani sekaligus menebarkan radiasi dalam skala kecil dari hari ke hari.

kembali menghela nafas panjang, seperti orang yang sedang mengalami kesusahan.

wanita itu atau anak perempuan ini, tinggal di dalam sebuah kamar berukuran 4 x 4 meter. Dengan berbalut dinding tipis yang ketika panas maka dia akan kepanasan, ketika dingin dia akan menggigil kedinginan.

ketika hujan? maka suara hujan akan begitu nyaring terdengar. seperti sebuah tong kosong yang dilempari dengan batu kerikil. Kecil memang, tetapi dengan intensitas yang tinggi, dapat membuat yang tertidur jadi tidak ingin tidur, meskipun saat itu cuaca sedang mendung mendukung, dan udara saat itu sedang sejuk bertiup.

anak perempuan itu tinggal di sebuah kamar kecil yang lantainya terbuat dari kayu, yang memuai ketika panas, yang menghasilkan bunyi derit "ngikkkk, ngeeeekk" setiap kali dia menapakkan kakinya tepat di bagian lantai yang tidak rata permukaannya. Dan aku sudah katakan, anak perempuan itu tinggal di kamar yang berdinding tipis bukan? yang bahkan bisa mendengar tangis anak lelaki yang berteriak-teriak karena ibunya belum juga menongolkan wajahnya ke kamar mandi, untuk mencuci *maaf pantatnya yang baru saja selesai dari buang hajat.

dan anak perempuan itu bahkan dapat mendengar "curhat" seorang suami kepada istrinya. Dan bahkan anak perempuan itu dapat mendengar suara gadis remaja, kelas 1 SMA yang berteriak-teriak kepada neneknya atau pamannya. Untuk terakhir kalinya, dari dinding kamar yang tipis itu pula, anak perempuan itu dapat mendengar seorang lelaki tua, renta, "abah" begitu anak perempuan itu menyebutnya, membawakan ayat-ayat suci Al Quran, dengan cara yang lama, lambat, berat, tepat setiap habis maghrib dan selepas isya.

"hhhhhh, menyenangkan" begitu ujarnya suatu ketika

anak perempuan itu mengusap-usap matanya. Ia tidak belia, tidak juga tua. Dewasa? dari sisi usia? atau prilakunya? entah lah aku tak tahu. Aku hanya salah satu dari sekian banyak makhluk Tuhan yang diberikan kesempatan untuk berada di dunia. Menerangi dengan bantuan cahaya matahari, karena aku tidak dapat berdiri sendiri. Lalu, siapakah aku? ya, aku tahu, kita tidak sedang bermain "kuis siapa dia" yang dibawakan oleh Aom kusman, yang sudah meninggal beberapa waktu yang lalu.

"flying to the moon" sekarang, kamu sudah mengenal aku?

ya aku bulan, yang nampak jauh dari keindahan, tapi begitu dingin, gelap, lembab, tak mulus begitu kamu mendekat, melihat dengan lekat.

anak perempuan itu menguap, pukul 21.31 malam. Dia masih terjaga, jari-jemarinya menekan tuts keyboard netbooknya. Dia mulai menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya mungkin tidak gatal, sembari menahan mulutnya agar tidak terbuka ketika rasa kantuk melanda.

sesat, beberapa waktu yang lalu, anak perempuan itu menangis tersedu. Anak perempuan itu terkadang ingin seperti manusia yang lainnya, teman-teman sebayanya. Tetapi, dia berada pada garis hidup yang berbeda. Berhentilah tangisnya seketika, dia sibuk membenahi setiap letak barang-barang yang ada di dalam kamar kecilnya.

Sembari sesekali menitikkan air mata, ketika dia mulai teringat dengan ibu dan bapaknya di desa, jauh di sana. Sembari menyeka air matanya, ketika dia teringat pada suatu pagi, melihat seorang lelaki muda, seorang mahasiswa, yang berjalan di depannya, tergesa-gesa, terseok-seok, menahankan sepatu sebelah kirinya, yang sudah lepas alasnya, yang memaksa lelaki muda itu berjalan dengan menggeser kakinya, agar tak semakin terbuka lubang di dasar sepatunya.

anak perempuan itu terus saja menangis, ketika melihat seorang tukang strika, janda, yang memakan 3 bungkus kue sekedar untuk menahan lapar, karena si majikan belum membelikan apa-apa untuk makan siangnya.

dan ketika anak perempuan itu melayangkan pandangan matanya berkeliling ke setiap sudut kamarnya, dia terdiam, menghitung berapa jumlah pakaian yang tergantung, yang terlipat, yang tersimpan di dalam lemarinya, di kamar ini, dan di rumahnya, di desa.

"hhhhhhh" dia menghela nafas panjang
"hhhhhh" kembali menghela nafas panjang

"apa yang kamu pikirkan?" begitu aku bertanya
"aku menghitung berapa banyak yang harus aku pertanggungjawabkan" jawab anak perempuan itu

"tanggung jawab apa? pada siapa?" tanyaku tak mengerti
"semua yang aku punya"
"pertanggungan jawab pada Dia, Allah azza wajalla" begitu jawabnya

aku terdiam, aku tak mengerti apa yang sedang ia pikirkan. Pertanggungjawab-an apa? semua yang dia punya? memangnya dia memiliki apa? yang aku tahu, dia tidak memiliki apa-apa. Rumah, kendaraan, harta benda? dia tidak memiliki itu semua.

"maaf, tapi aku tak mengerti" ujarku

"hhhhhhh" anak perempuan itu kembali menghela nafas panjang

dia menjatuhkan tubuhnya tepat ke atas kasur busa. Menatap langit-langit kamarnya, lalu

"itu, kamu lihat tumpukan pakaian yang belum sempat aku strika"
begitu jawabnya tanpa melihat, dia mengarahkan telunjuknya ke arah kiri.

aku mengangguk

"itu, kamu liat juga kan, berapa yang digantung?" katanya

aku kembali mengangguk

"di dalem lemari, kamu juga liat kan" katanya

aku kembali mengangguk

"yang di rumah, di desa, kamu juga tau kan" begitu ujarnya

aku kembali mengangguk

"hhhhh" dia kembali menghela nafas panjang. Dia menutup kedua matanya, dengan kedua telapak tangannya. Lalu.......

"rasulullah aja, waktu meninggal, cuma punya beberapa helai pakaian" begitu lanjutnya
"terus, katanya, setiap apa yang kita punya, nanti diminta pertanggungjawabannya. Dari mana asalnya, untuk apa, semuanya, semuanya ditanya" begitu tambahnya
"terus, semakin banyak yang kita punya, semakin lama kita dihisabnya, semakin banyak ditanyanya" begitu jawabnya

"hhhhh" dia kembali menghela nafas panjang

"sekarang kamu tau kan, aku ini kenapa?" ujar perempuan itu

aku kembali mengangguk.

aku temani dia dengan pantulan cahaya, bukan dari aku, tetapi dengan bantuan sinar matahari yang sedang menerangi bagian yang lain dari bumi ini.

perempuan itu tetap menutupi kedua matanya, sembari berkata

"aku belum bisa berbuat apa-apa. Aku merasa tersindir ketika membaca sebuah tulisan yang berkata -jangan cuma bisa 'ngritik' atau mikir tapi gak kreatif-. Aku merasa, aku seperti itu  'Lan" ujar perempuan itu.

"aku merasa sedih, melihat seorang lelaki, pergi menuntut ilmu, dengan sepatu yang sudah rusak alasnya. kamu tau, dia terseok-seok, susah payah menahan supaya dapat berjalan dengan sepatunya itu. Sementara aku? kamu tau kan ada berapa jumlah sepatu ku?".

"aku merasa ingin menangis, melihat seorang janda, hampir setengah abad, makan keripik untuk menahankan rasa laparnya".

"dan aku cuma bisa terdiam, ketika melihat seorang anak remaja, kusut, lusuh, duduk di depan pagar sembari makan biskuit, yang entah dia dapatkan darimana"

"dan aku merasa malu, karena -ketidak syukuranku- sekali waktu atas apa yang sudah Dia berikan padaku"

"dan aku cuma bisa menangis, kamu tau 'Lan, aku cuma bisa menangis. Ketika semua yang enak tidak berpihak pada orang miskin, tidak berpihak pada orang yang lemah".

"aku seperti berteriak-teriak sendiri tanpa ada yang mendengar 'Lan. Kepada penguasa negeri ini, kepada orang-orang kaya, kepada pejabat-pejabat yang berpendidikan tapi tidak ada satupun dari mereka yang mendengarkan teriakan ku. Mereka seperti tuli, mereka seperti buta melihat saudara-saudara mereka yang tidak mampu".

"mereka seperti seolah-olah enggak tau, seperti enggak melihat, di kiri dan kanan mereka yang cuma bisa makan dengan -kerak nasi-, yang hanya bisa makan dengan tempe, yang hanya bisa makan nasi 1 hari sekali. Kemana hati nurani mereka pergi 'Lan".

"dan sampai kering tenggorokanku, mengata-ngatai mereka yang tega menghisap darah saudaranya sendiri. Bagaimana bisa mereka menelan apa yang bukan hak mereka 'Lan? apa tidak cukup dengan rumah mewah, fasilitas serba ada, masih juga ingin mengambil yang bukan milik mereka, masih juga tak henti-hentinya mencari selah untuk mengkorupsi uang 1000 rupiah milik saudara mereka sendiri".

anak perempuan itu terdiam, dia tidak menangis, dia terlalu lelah untuk menangis, dia terlalu malu untuk menangis, dia hanya dapat

"hhhhhhh" menghela nafas, menarik nafas sedalam-dalamnya, karena hanya itu yang tersisa dari negeri ini, yang gratis, tak berbayar, yang dapat dinikmati oleh semua makhluk Nya tanpa memandang strata, usia, status dan kedudukan atau ras bangsanya.

"hhhhh" dia menarik nafas panjang, berat

untuk semua pertanyaan yang tak pernah ada jawabnya, atau sama saja jawabnya.
untuk semua kebuntuan yang belum ia temukan jalan keluarnya
untuk semua cita-cita, keinginan yang ada di dalam kepalanya, yang masih terpenjara, terkekang, terkurung oleh pikirannya tentang "keterbatasan, keberanian, kegagalan, kesombongan"

anak perempuan itu, beristirahat di dalam pikirannya, di dalam pejam-an kedua matanya

"selamat malam bulan" katanya

"selamat malam anak manusia" begitu jawabku

Friday, January 27, 2012

sebentar-sebentar

sebentar-sebentar senang
sebentar-sebentar sedih
sebentar-sebentar tertawa
sebentar-sebentar menangis

semua serba sebentar

Malam semakin larut dan selama beberapa hari ini sebentar-sebentar merasakan sakit di pergelangan tangan sebelah kanan. Entah apa sebab? tak taulah awak. Ada nampak bahwa pergelangan tangan awak menunjukkan rasa solidaritas yang tinggi kepada buruh yang sedang berdemo, menuntut keadilan demi iming-iming "kehidupan yang layak".

Dan bahkan, pergelangan tangan awak lebih manusiawi, lebih cepat bereaksi, daripada diri awak sendiri. Hebat-hebat...........,

"plok plok plok" awak lakukan ritual tepuk tangan itu demi menghargai aksi solidaritas pergelangan tangan awak yang ikut mogok kepada awak.

Tak sedang senang hati awak untuk bercakap-cakap dengan angin sepoi-sepoi yang sedari pagi hari tadi hilir mudik di depan jendela kamar awak.

"Membuat tulang-tulang dan kulit awak menggigil saja, kau angin" awak kata pada angin

Tak sedang bernafsu pula awak, untuk duduk diam bersama bulan sabit yang sejak malam kemarin menunggu awak untuk sekedar berdiskusi tentang malam bersama bintang.

"Lain kali saja lah bulan, awak sedang tak ingin banyak cakap kali ini" 

Kedua sejawat itu, bulan dan bintang pun pergi meninggalkan awak, sendirian. Awak anak melayu yang tak tahu budaya, yang tak dapat bicara logat ibu dan bapak, hanya dapat mendengarkan sembari melongo, seperti kerbau yang dicucuk hidung oleh si empunya nya.

Awak sedang tak senang
bayang-bayang masa lalu awak, mengenangkan kawan yang dulu masih ada, sekarang sudah tiada. Mengingatkan betapa berbedanya awak yang dulu dengan awak yang sekarang.

Awak mengguncang-guncang
anak melayu udik macam awak, terdampar di pulau seberang. Terperangah dengan gedung-gedung tinggi, bingung macam mana itu gedung bisa sampai setinggi itu. Terbengong-bengong awak dengan banyaknya mobil-mobil mahal mondar-mandir. Bingung, orang-orang dari dalam televisi kata, di negeri awak banyak orang miskin, ya macam awak ini lah. Tapi, melihat mobil-mobil itu, tak lama awak nampak rumah-rumah mewah itu, luar biasa. Negeri awak kaya, orang televisi bohongi orang desa macam awak.

Berhari-hari awak mengumpat-umpat televisi yang awak katakan
"kapitalis kau tipi, barang kotak macam kau ini, berani bohongi awak yang lebih besar, lebih tinggi dari pada kau" umpatku

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, teman awak tetap sama, angin, bulan dan bintang. Tapi awak sudah berubah, awak bukan lagi orang kampung suku melayu yang udik macam dulu. Awak sudah tau itu beda kornet dengan internet, awak juga tau kalau taksi dengan angkot itu tak sama, awak pun bukan lagi kutu buku yang tebal berkacamata, dengan celana macam pelawak jojon. Awak sudah berubah, tak lagi awak bercakap dengan sebutan "Awak". Sekarang zamannya "lo dan gue", begitu cakap teman-teman baru awak. 

Tak lagi awak menjadi udik seperti dulu, setidaknya begitu awak pikir beberapa bulan yang lalu.

sampai, teori sebentar-sebentar awak muncul kembali. Ceritanya awak mulai rindu dengan buku-buku, inilah teori sebentar-sebentar yang awal kali keluar ke permukaan. Awak terkena teori "sebentar-sebentar bosan", ya awak bosan dengan keluar masuk mall, cafe. Otak awak berasa kosong.

Ceritanya, awak bertanya pada angin dimana bisa awak dapat buku-buku untuk hilangkan dahaga otak awak, yang sudah hampir terkena dehidrasi ilmu pengetahuan.
Angin kata "dekat dengan tempat menuntut ilmu, bersebelahan dengan tempat mengisi perut, berhadapan dengan tempat teknologi dipamerkan, berselisih dengan tempat wanita suka habiskan waktunya"

Awak melangkah, mengikuti kemana petunjuk angin mengarah

awak berhenti
awak terdiam
awak serta merta kembali menjadi orang udik yang lebih udik daripada orang udik kebanyakan.

awak menghitung
"satu, dua, tiga,.........................., 10, 11" 
awak berjalan
awak bersyukur 
tetapi, kemudian awak kembali terdiam
".....12, 13" 

awak terkena teori sebentar-sebentar, sebentar-sebentar lega, sebentar kemudian awak kembali terbengong-bengong dibuatnya.

bayi, balita, anak-anak, remaja, orang dewasa, orang tua. Duduk, berjalan, berlari kesana dan kemari, 13 orang manusia dari segala generasi. Dengan mangkuk kecil yang biasa awak pakai untuk makan mie, mereka jalan ke sana kemari, meminta-minta.

sebentar kemudian, awak kembali teringat dengan televisi awak, yang awak umpat karena awak sangka berbohong. Televisi awak jujur, dia katakan negeri awak banyak orang miskin. Hari ini awak begitu banyak nampak orang miskin, tepat di depan mata awak.

Semua terasa semakin kabur, awak tak dapat lagi mengingat untuk apa awak berada di jalan ini. Awak pun sudah lupa dengan siapa diri awak, awak pun sudah tak ingat lagi tentang apa yang harus awak ingat. 

Samar-samar awak mendengar

"besok, sodara saya mau dateng dari kampung. Mau ikut ngemis -ceunah-, dari pada di kampung gak ada kerjaan.........." begitu cakap salah seorang pengemis kepada pengemis lainnya, kawan sebayanya, rekannya, relasi mengemisnya.

"brukkk.........." awak jatuh

Pikiran awak melayang bersama kesadaran awak, awak tinggalkan sebentar alam sadar, awak pergi bersama angin petang, membumbung tinggi menghadiri undangan bulan sabit dan bintang. Undangan menonton televisi bersama, sembari minum kopi di atas awan. 

judulnya "orang udik dan sangkaannya tentang negerinya"

Samar awak membuka mata, terkekeh-kekeh ketiga kawan awak. Angin, bulan dan bintang, mereka menonton film orang udik dan sangkaannya. Dan sebentar kemudian, awak kembali tak sadarkan diri, awak memilih tak sadarkan diri. Mengetahui pemeran utama di dalam film orang udik itu, adalah awak sendiri.

"hahahahahaha" tawa ketiga kawan awak, angin, bulan dan bintang, terdengar nyaring, kemudian hilang. 

Awak memilih tak sadarkan diri sampai film "orang udik dan sangkaannya tentang negerinya" itu selesai diputarkan.

Sunday, November 6, 2011

Idul adha, dimanche 3 novembre 2011

pantas atau tidak, hari yang cerah. Sungguh hari yang indah, yang luar biasa, diwarnai dengan cerita yang luar biasa pula.

dimanche 3 novembre atau minggu di 3 november 2011.

Idul adha, untuk kedua kalinya merayakan idul adha di negeri orang, yang sebenarnya cuma berjarak beberapa ribu kilometer saja dari rumah tinggal kedua orang tua saya. Atau 12 jam bila ditempuh dengan jalur darat, dan kurang lebih 1 jam via udara.

Sholat ied, saya tidak tahu menahu kalau sholat ied di sini, taman sari, plesiran, bandung. Dimulai pkl 6.30 pagi dan tidak tahu juga kalau ternyata, tempat sholat pun bisa berbeda antara sholat ied fitri dengan ied adha setiap tahunnya. Jadi, dengan mukena putih pemberian ibu angkat dari almarhum Dyan Isworo, yang tidak lagi putih, karena terkena luntur selendang merahku, sebagai akibat dari kecerobohanku.

Berjalan tergesa-gesa bersama ibu kost, nenek lebih tepatnya. Menghindari jalan yang tergenang, becek, berwarna kecokelatan. Melalui gang-gang sempit antara bangun satu dengan bangunan yang lainnya. Dan sampailah di tempat sholat ied berjamaah.

Sendal tabur di sana dan di sini, berserakan di samping dan di belakang masjid. Pikir saya saat itu "ini masjid?" yang benar saja, tidak lebih besar dari rumah ibu kost, nenek lebih tepatnya. Terdiri dari dua lantai, lantai bawah diisi oleh jemaah lelaki dan lantai atas diisi jemaah wanita. Bersempal-sempalan, berjejal, kalau dihitung, masjid itu mungkin hanya menampung sekitar 50 sampai 70 orang, atau bahkan kurang.

Saya terlambat dan saya belum pernah terlambat sholat ied. Maka, dalam rasa tawakal saya serahkan pada Allah apakah ied saya yang di-masbuk diterima oleh Nya atau tidak.

Ied selesai, tak sempat mendengarkan khotbah sampai selesai, pikir lebih baik saya dengarkan dari kamar kostan saya saja. Terus terang, saya segera beranjak pergi karena tidak merasa nyaman dengan masjid yang saya jadikan tempat sholat itu. Sajadahnya kaku, mengeras karena debu yang melekat, dan entah kapan terakhir kali pengurus masjid mencuci sajadah yang ada di masjid itu. 

Tempat yang sempit, bahkan ketika saya sholat pun, terpaksa memiringkan tubuh saya ketika harus ruku', "Oh Tuhan, benar-benar"

saya segera pulang, sembari mengingat-ingat dari arah mana saya datang. Karena banyak sekali gang-gang kecil yang belum pernah saya lalui dan baru kali ini saya temui. Bertanya ke sana dan ke mari, saya pun berhasil keluar dari jalan tikus yang sempat membuat saya bingung untuk beberapa saat.

"Nenek gak sholat" begitu todong saya
"Habis, nenek cuma bawa bagian bawah mukena, yang atasnya enggak"
sembari menunjukkan dua buah bawahan mukena yang terselip di dalam sajadah miliknya.

saya pun  tertawa

Pelajaran hari ini

  1. dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Artinya, gak lantas karena sholat ied di daerah asal kamu mulai pukul 7 lantas menyamaratakan dengan daerah tempat kamu merantau, itu salah besar.
  2. kalau gak tau, ya tanya, supaya gak telat seperti saya sholat ied nya
  3. pastikan di dalam gulungan sajadah mu itu "mukena lengkap bagian yang atas dan bawahnya" supaya gak seperti nenek hahahha. Kasihan nenek, sudah jauh-jauh datang, mukenanya salah pula.
  4. Bangun pagi, langsung mandi. Jangan seperti saya, sudah tau mau sholat ied, pakai acara "menggeliat ke sana ke mari seperti kucing. Padahal gak tau, tempat sholatnya dimana.

Tadinya, saya begitu percaya diri bahwa sholat ied dilaksanakan di masjid dekat saya tinggal, hanya beberapa meter dari rumah nenek. Tapi ternyata, ya seperti yang saya ceritakan di atas, saya salah.

Anyway ini idul adha, semoga Allah menerima ibadah kita semua


Monday, October 10, 2011

cerita tentang manusia, cerita yang tua

Lihat bagaimana rasa kenyang bisa mematikan hati, akal dan pikiran.
Saya terjebak dengan bertumpuk-tumpuk makanan siap makan. Dengan beberapa bungkus makanan yang tidak lagi bisa dimakan untuk beberapa hari ke depan. Lihat, lihat lah bagaimana rasa kenyang itu bisa membuat manusia seperti aku, terjebak dalam rasa malas yang terkadang membebaniku dengan bujuk rayunya, dengan tarian-tarian erotisnya yang mengingatkan aku tentang betapa "nikmatnya bergulat dengan kasur empuk itu"

Sial, kenapa harus pula keluar kata "sial" itu, ah anggap saja sebagai bentuk aktualisasi diri. Sebagai ujud dari keinginan untuk dianggap -wah-, meskipun tidak jelas dengan benar, -wah- dari segi apa. Mungkin saja sisi kegelapan yang sedang ingin muncul, yang kemudian diwakilkan dengan kata -sial-.
Baiklah para pembaca dunia maya sekalian, mari hentikan omong kosong tentang aku, yang merupakan manusia sebagian, manusia yang belum juga lengkap otaknya secara implisit. 
Ingin sedikit bercerita tentang profesi memalukan yang semakin lama semakin marak di Indonesia. Profesi ini menjadi sebuah keniscayaan, lahir dari apa yang kita sebut dengan -KEMALASAN-. Muncul ke permukaan sebagai akibat dari hilangnya rasa malu, putusnya urat syaraf malu dari manusia-manusia yang katanya -penghuni- asli bumi ini, penguasa dunia, yah setidaknya begitulah asumsi saya saat ini. 

Profesi ini menjadi bisnis, bisnis yang menguntungkan. Semakin marak karena tingkat pertumbuhan ekonomi yang kian menjanjikan. Bisnis dan profesi ini memiliki target dan segmen pasar tersendiri. Dengan menyerang rasa iba manusia, dengan mengandalkan rasa belas kasih yang tertanam sejak lahir pada setiap diri anak adam dan hawa. Dengan memposisikan diri seolah-olah sebagai manusia paling menderita dari pada pelanggannya, maka bisnis ini semakin berkembang pesat saja di bumi Indonesia.

This boy, hiding his cellphone from me using his right hand. He is a beggar
MENGEMIS - PENGEMIS - beggar

Dengan omset luar biasa, mari kita asumsikan si -acep- beroperasi dari pkl 7 pagi sampai pkl 9 malam. Di wilayah padat merayap dengan tingkat populasi pejalan kaki, pengendara kendaraan roda dua dan empat yang apabila dikalkulasikan bisa mencapai 1 juta orang setiap harinya. Berasumsi lagi yang beriba memberikan dia uang sekitar 300 - 500 orang setiap harinya. Dengan kisaran -receh- yang didapatkan Rp 300 - Rp 1000 / harinya. Silahkan menghitung berapa omset yang -acep- dapatkan setiap harinya, minimal acep bisa mendapatkan Rp 90.000/hari dan maksimal Rp. 500.000/ hari. Lalu asumsikan dia beroperasi setiap hari selama 1 bulan, jadi jumlah penghasilan si acep, maksimal adalah Rp @#$%^&&& (silahkan hitung sendiri).

Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Bayangkan atau tak perlu bayangkan, karena bahkan pengemis pun memiliki ponsel genggam di tangannya. Bahkan pengemis pun memiliki strategi di dalam usahanya. Bahka secara tidak sadar, mengaplikasikan operasi managemen di dalam waktu efektif kerjanya. 

Ada banyak kisah yang menginspirasi mata, akal, pikiran dan hati saya. Merangsang setiap titik-titik syaraf  untuk berpikir tentang apa, mengapa, kenapa. Beberapa kisah, sungguh membuat geli hati karenanya, beberapa meninggalkan luka pedih karenanya. 

Kisah seorang bapak berambut -gondrong-, dia duduk di sudut sebuah pertokoan. Dengan pakaian lusuhnya, menghadapi dinginnya cuaca bumi parahiyangan di malam hari. Tak ada aktifitas bermakna yang dia kerjakan, selain hanya sesekali melihat kantung plastik bawaannya. Sekilas saya pikir dia -pengemis-, tidak jauh berbeda seperti yang lainnya. Tetapi, lelaki paruh baya yang satu ini berbeda, dia bukan pengemis sepertinya. Lebih tepatnya dia manusia yang mengais rezeki dari tempat-tempat pembuangan sisa makanan -tempat sampah-. Mengambil gelas dan botol plastik bekas, sepertinya akan dijual.

Malam yang dingin, rasa sedih, rasa kesal akibat sopir angkutan umum jurusan kalapa-ledeng yang asal. Rasa marah akibat tersasar hingga harus berjalan lumayan jauh, membuat aku kembali menjadi manusia yang lebih banyak pikir -tentang hal tak berguna-, dari pada mengimplementasikannya.

Saat itu, ada rasa ingin menghampiri lelaki paruh baya, sekedar bercakap-cakap sekenanya. Atau mungkin membelikannya sesuatu untuk ia kunyah, telan, kemudian disalurkan menuju sistem pencernaan. Tetapi, yang ada aku hanya diam, berlalu pergi, meninggalkan lelaki paruh baya dengan tumpukan sampah plastiknya. 

Malam semakin larut, dingin semakin menusuk, bersyukur tubuh ku yang kurus dan terlihat ringkih ini terlindungi oleh tebalnya jaket kumal berwarna merah menyala, yang terkadang membuat lelaki itu -tersulut rasa kelelakiannya-. 

Menyusuri jalan raya, dengan kaki yang sudah mulai memberontak, ia melaporkan perbuatanku kepada otak yang berada di dalam kepalaku "hentikan, aku sudah cukup lelah wahai manusia serakah". Aku abaikan pemberontakan kecil itu, sebagai ujud otorisasi kediktatoranku atas tubuh kurusku. "Tap, tap, tap" begitu derap langkah kaki ku, dan sejenak terhenti bersamaan dengan tertegunnya kedua buah bola mataku. Tertumpu pada seorang wanita, seorang ibu dengan seorang bayi berusia beberapa bulan di pangkuannya.

Kisah tentang seorang ibu, apakah mungkin dia ibunya? atau hanya sekedar ibu sementara saja? entahlah. Tapi, benarkah begitu tega seorang ibu membaringkan bayinya dipinggil jalan, di atas trotoar, tepat bersandar pada tiang lampu merah. Drama semakin memilukan ketika plot kejadian diletakkan pada suasana malam hari yang dingin, dengan tiupan angin yang menusuk. Aku terus memaksakan kaki ku untuk berjalan, sembari isi kepala ku mengisyaratkan jari-jemari untuk segera mengambil Hp blackberry dengan sinyal edge itu. 

Ingin meng-capture apa yang dilihat oleh mata, membawanya ke dunia maya, mencoba membuka mata manusia yang lainnya, bahwa inilah wajah indonesia, wajah kota bandung, wajah bumi parahiyangan, dibalik sisi glamor dan borjuisnya. 

Hampir saja saya mengambil gambar anak beranak itu, kalau bukan karena si ibu melihat saya sejenak, kemudian memalingkan wajahnya. Dia duduk bersandar sembari bersenandung untuk bayi kecil yang berada tepat di sampingnya. "yah, mungkin itu anaknya" saya kembali berjalan, sembari berpikir si ibu begitu bertolak belakang dengan lelaki paruh baya yang aku lalui beberapa menit yang lalu. "tapi tunggu" atau mungkin mereka suami istri? siapa yang tahu. Tapi, seperti inilah kehidupan, rasa malas, kebutuhan perut akan makan, menjadi sebuah keniscayaan.

Entahlah, aku sempat terdiam, termangu sesaat, tergugu, hanya tenggelam dalam pikiran, untuk kemudian melangkah pergi, setengah berlari, bersembunyi dari pahitnya sisi muram dari kehidupan. 

Malam yang kelam, rembulan menutup kedua matanya, menangis ia, melihat banyak anak manusia seperti si ibu beserta anaknya. Mencari serpihan-serpihan 'rupiah' di tengah-tengah keramaian hilir mudik kendaraan. Mengabaikan serangan timbal asap kendaraan, demi apa yang kita sebut dengan 'uang'. 

Derap langkah kaki semakin jauh, meninggalkan pemandangan pahit seorang ibu dengan anak bayinya yang berada di tepi jalan. Meninggalkan lelaki paruh baya dengan tumpukan gelas-gelas plastiknya. Rasa lapar yang mulai perlahan menyerang sisi sensitif dari syaraf yang berada di kepala. "Aku sakit" begitu ujar kepala kepada kumpulan syaraf yang berada di sana, "ya kita sakit" begitu sahut yang lainnya. Derap langkah kemudian terhenti, di sebuah warung tenda di pinggir jalan, mencari kenikmatan sesaat bagi lidah, mencoba memenuhi hasrat, mengobat rasa sakit di dalam kepala akibat rasa lapar yang mendera.

Tentang dua orang waria yang pria
"Krincing, krincing" dua orang manusia bernyanyi dengan suara seadanya. Dengan tampilan khas wanita, wanita jalanan yang beroperasi dengan alat musik seadanya. Melahirkan gelak tawa dari aku dan beberapa pengunjung warung yang lainnya. Sedang si penjual martabak asyik masyuk dengan alat penggorengannya, aku beserta jiwa dan ragaku berjibaku mengamati tingkah laku kedua anak manusia yang bernyanyi dengan suara pas-pasan itu.
He is a man, but to earn money he dressed like a girl, he talk like a girl and his act like a girl
"Permisi teh" begitu ujarnya, "walau malam gelap, tiada berbintang. Asalkan lagu ku ....." yah sepenggal lirik yang masih benar, kemudian secara serampangan, silang lintang, jumpalitan. Kacau tidak keruan, tidak beraturan, hingga aku sampai pada kesimpulan, anak manusia berdua ini tidak hapal dengan lirik lagu yang mereka nanyikan.

"Waria", mereka bukanlah wanita, melainkan pria yang berpakaian wanita. Seorang dipanggil dengan sebutan "saya ule' teh, tinggal di kopo, caringin", oh ya, saya tahu caringin, tapi tidak dengan kopo. Interview, sombongnya saya seperti seorang pimpinan perusahaan yang sedang menginterview calon karyawan. Bertanya tentang berapa usia, hingga tentang apakah mereka wanita atau pria sejati mulai dari fisik dan mentalnya. Lalu bertanya tentang sebab dan musabab mengapa meraka bisa menjadi seperti itu rupanya.

his name ule'
"Uang" semua karena uang pada akhirnya, dengan alasan tidak ingin meminta uang dari orang tua, mereka bekerja sekenanya. Pekerjaan yang ringan, hanya 'cring cring' dapat uang. Tidak perlu tenaga, hanya cukup membuang rasa malu jauh-jauh ke tempat yang paling jauh. Seorang berusia 26 tahun, lahir pada tahun 1985, dan kalau tidak salah dengan sekolah menengah pertama pun tidak selesai. Sedang yang seorang yang pemalu berusia 19 tahun. Dengan berkata "main ke tempat teman" seperti itulah cara mereka mengelabuhi kedua orang tuanya. "Tapi, kita gak jual diri teh" begitu selanya, "kalau pagi kita norma" begitu tambahnya, demi membuktikan kesejatian dari gelar lelakinya.

Mengapa dengan wanita, mengapa berdandan sepreti wanita? beberapa survey mengatakan pria percaya bahwa lebih mudah mendapatkan uang bila manusia tersebut adalah wanita. Benar begitu? belum tentu, karena pada kenyataannya ke-perempuan-an ku merasa tersulut api, ketika beberapa profesi meletakkan pria sebagai kriteria utamanya.

Apapun itu, banyak kisah, banyak cerita, cerita tentang anak manusia. Aku pun seorang anak manusia, meng-capture potret-potret kehidupan, pagi, siang, sore dan malam. Mengeksploitasi dari sisi lain kehidupan, aku terjebak dalam alam pikiran tanpa pernah bisa melakukan sesuatu atas potret yang aku ambil dengan kedua indera penglihatanku.

Pun terjebak pada rasa inginku, pada rasa laparku, hingga membuat aku membuang apa yang sebenarnya lebih berguna bila orang lain yang memanfaatkannya.
Rembulan, berpikir apakah dia melihat bulan yang sama dengan yang aku lihat setiap harinya? Apakah begitu wahai rembulan?. Pastinya begitu, mungkin begitu, dan rembulan pun tersenyum dalam diam sembari menatap lekat wajahku.
"Begitu nampak jelas kah wajah kusut ku di hadapanmu, sahabat karib ku" begitu aku bertanya pada rembulan di separuh malam yang kelam. "ya, setidaknya begitu lah yang nampak oleh ku" begitu jawabnya. "Lama rasanya engkau tidak menyapaku, anak manusia yang lupa"

"Ya, aku terlalu sibuk dengan ke-aku-an ku. Terlalu diperbudak oleh mimpi dan angan-anganku tentang dunia yang semua" tak berani aku menengadahkan wajah, menatap wajahnya yang nampak indah dari kejauhan, namun kelam, dingin, pekat bila aku menatapnya dalam dan lekat.

"Nampak semakin rapuh dan angkuh, itulah kamu yang sekarang ini. Senang itu membuat mu lupa akan aku yang dahulu sejatinya menemani malam-malam sendu mu itu" begitu ujar rembulan padaku.


"Entah lah, tapi aku tahu itu, aku tahu. Senang dan sedih, rasa bersalah dan lepas, antara jatuhnya air mata dan bahagia, mereka berlari-lari di dalam hatiku. Di dalam akal dan pikiranku, membuat aku bingung untuk memetakan perasaanku".

Malam semakin larut, bintang-bintang tak nampak dalam jarak beberapa juta kilometer dari rembulan berada. Aku terjebak dengan alam pikiran ku, setidaknya semakin hari aku semakin menyadari itu. Semakin aku pikirkan, semakin aku tidak tahu tentang untuk apa aku berpikir tentang banyak sesuatu itu.

"Manusia, kalian memang selalu begitu. Tidak kah kamu tahu, aku melihat setiap gerak-gerikmu. Aku tatap lekat, aku mengingat setiap tingkah laku dan polahmu. Dan aku malu, aku menangis akan hal itu" ia tutupkan wajahnya, bersembunyi sejenak di balik awan kelabu yang bertebaran di luasnya malam yang gelap gulita. Sedu sedannya sesekali terdengar, terasa menusuk hati, menghujam seluruh tubuh ini. Dan rembulan pun terluka, dan rembulan pun menangis, di tengah malam yang gelap, yang gulita.

"Aku pergi" begitu ujarnya, "Pikirkan tentang apa dan seperti apa kini, kamu wahai anak manusia. Pikirkan dalam dan lekat, kenyataan bahwa saat ini kamu benar-benar terjebak, terjerembab, jatuh ke dalam palung kehidupan yang gelap, kelam, dingin dan lembab. Tak ada sesuatu yang dapat membawa mu kembali ke permukaan, kecuali rasa inginmu untuk itu, kecual rasa belas kasih Nya padamu" begitu rembulan berkata. "Setiap bait kata yang aku sampaikan padamu, bukan sekedar untaian-untaian bait yang tidak bermakna. Dan pikirkan bahwa hidup kalian, manusia tidak akan lama, tak pernah lama kecuali hanya 1 hari saja" 

Dia pergi, menghilang di gelapnya malam. Meninggalkan aku berjalan sendirian, menapaki jalan setapak, berusaha mengingat-ingat setiap kejadian. Serpihan-serpihan memori yang tersimpan hampir usang, dan menjadi sebuah pengingat yang lembut namun menyakitkan.

Helaan nafas itu aku hembuskan, rasa sakit mulai aku rasakan. Tumor ini seperti mulai menunjukkan ke-aku-an nya atas aku yang menjadi inang baginya. "Apa yang harus aku lakukan, tak pernah aku sebuntu ini", begitu kemudian aku berbicara pada layar putih yang berada di hadapanku kini. Namun ia hanya terdiam, tanpa ada sepatah dua patah kata keluar dari dirinya.

Sore semakin menjelang, begitu padat cerita tentang kehidupan. Kembali menelaah dari 1 hari 1 malam yang sekejap, namun meninggalkan bekas, meninggalkan ribuan bahkan jutaan kata yang tak mampu aku sampaikan. Setiap kata, setiap bait, setiap kalimat yang ada, sebagai pengingat untuk ku beberapa hari, minggu, bulan, tahun berikutnya. Dan rembulan tetap tak bergeming, diam, belum ingin, atau memang ia sedang tak berkenan untuk berbicara padaku, sahabat lamanya