Pages

Saturday, July 5, 2008

Salah satu wanita perkasa itu adalah nenek saya.

Kenapa dia termasuk ke dalam kategori wanita perkasa? entahlah tapi seharusnya tidak terlontarkan kata-kata entahlah.

Beberapa minggu yang lalu, saya lupa tepatnya tanggal berapa. Nenek datang dari kampung, bersama bibi saya. Tidak begitu dekat dengan nenek, karena memang jarang berjumpa, bukan pula karena tak ingin, tapi lebih kepada jarak yang memisahkan antara tempat saya tinggal dan tempat nenek berada begitu jauhnya.

Nenek tidak jauh berbeda dengan nenek-nenek yang lainnya. Yah namanya juga nenek-nenek, pastinya keriput dan sudah tua, yah kira-kira begitulah nenek saya. Oh ya, saya belum katakan bahwa nenek saya ini adalah ibu dari ibu saya.

saya tergolong jarang berkomunikasi dengan nenek, tapi sekali waktu, ketika beliau berada di rumah, saya bertanya berapa umurnya, dan nenek lupa saya tanyakan dia lahir tahun berapa, dia pun tidak mengingatnya. Pertanyaan tak berhenti sampai di situ, saya pun bertanya nenek dulu sekolah atau tidak, nenek ternyata bersekolah tapi tak sampai selesai, malas katanya, jadi orang tua nenek memutuskan nenek harus belajar menjahit. Ya keterampilan pada masa-masa itu benar-benar diperhitungkan.

Saya sudah katakan di awal, bahwasannya nenek tidak jauh berbeda dengan nenek-nenek yang lainnya bukan? ternyata tidak, nenek saya berbeda, beliau wanita dengan sepuluh anak yang sudah dilahirkannya, bila ditambahkan satu lagi saja, niscaya kakek bisa membuat satu tim kesebelasan sepak bola, dengan kakek sebagai manajernya.

Ya anak nenek berjumlah sepuluh orang, dengan ibu saya sebagai anak pertama, ramai sekali bukan. Sampai di sini, kisah ini mungkin masih membuat kita beranggapan 'nenek tidak jauh berbeda dengan nenek-nenek yang lainnya', tapi tunggu dulu, belum lagi selesai saya bercerita. Saya tidak tahu nenek ada berapa bersaudara, tapi menurut ibu, nenek adalah anak bungsu dari sekian bersaudara, nenek mempunyai dua ibu, ya karena ayah nenek memutuskan untuk berpoligami, bagaimana perasaan nenek saat itu? saya tidak tahu..........

Nenek pun akhirnya menikah dengan kakek, kakek saya seorang mantri kesehatan dan saya tidak atau mungkin belum akan ceritakan soal kakek saya. Berasal dari keluarga yang dipoligami dan ketika nenek menikah dengan kakek, tak berapa lama nenek pun dipoligami, nenek jadi isti kedua dari ketiga istri kakek yang lainnya.

Hmmm, apa nenek sedih? saya tidak tahu. Lalu dimana letak perkasanya nenek saya ini? Hmm, menurut ibu, semenjak kakek memutuskan untuk berpoligami, kakek sangat jarang sekali berada di rumah, lebih sering berada di rumah istri ketiganya karena istri pertama sudah ia ceraikan, begitu cerita ibu pada saya.....

Kakek menikah tanpa persetujuan nenek, tapi nenek diam saja, tidak marah tidak juga berteriak, tidak juga memaki pada kakek. Lambat laun, nenek mulai menafkahi ke sepuluh anaknya dengan usahanya sendiri, nenek berladang dengan ladang yang orang tuanya tinggalkan, lalu berjualan sayuran di pasar, dan itu sendirian. Kakek kemana? kakek masih ada, tapi di rumah istri ketiganya, bahkan hingga hari raya tiba, hingga saya menginjak umur 22 tahun, kakek masih seperti itu saja rutinitasnya.......

Mana yang hebat dari nenek saya? Banyak, ada banyak. Tak pernah saya lihat nenek mengeluh dengan kakek yang hanya berada di rumah bila sakit karena ketuaannya melanda. Tak pernah saya lihat nenek menangis, ketika mengetahui tabungannya diambil kakek dan dipindah rekeningkan ke alamat istri ketiga kakek yang berada jauh di sana. Pendek kata saya tidak pernah melihat nenek menangis, mengeluh di depan anak-anaknya, sama sekali tidak pernah.

hmmmh, nenek mengusahakan kehidupan kesepuluh anaknya sendirian, dengan berladang, naik turun bukit, melalui sungai, membabat hutan, menyiangi bibit-bibit padi yang akan ditanam, mengawasi kebun-kebun bakal penghidupan dia dan kesepuluh anaknya dan itu ia lakukan sendirian, hingga ketika ibu saya sudah sedikit beranjak dewasa dan mulai bisa diandalkan, nenek sedikit terbantu dalam menjalani pekerjaannya.

Pernah sekali waktu bertanya, oh ya, saya lupa nenek sudah mulai berkurang pendengarannya, hingga harus bersuara agak sedikit keras bila ingin bercakap-cakap dengannya. Saya bertanya 'apa nenek nggak sedih, waktu kakek menikah lagi', dan hmmm nenek hanya tersenyum, saya tidak tahu apa makna tersembunyi dari senyumannya, lalu 'ya gitu aja' begitu kata nenek pada saya.

Hmmm, semakin lama nenek dan kakek semakin nampak kerentaaannya. Nenek masihlah merupakan wanita perkasa di mata saya, tidak ada pula saya ingin menyalahkan kakek, karena rupanya, kakek pernah hampir hilang nyawanya, dirampok orang di tengah-tenagah perjalannya sepulang ia dari bertugas mengkhitan bocah dari dusun tetangga sebelah........


Ada yang salah, tidak ada yang salah