Pages

Saturday, July 5, 2008

Djawanisasi lewat batik


-Bagian ketiga-

Selama memutari pasar sembari menunggu waktu maghrib menjelang, pandangan mata ini melayang kemana saja ia suka, mengamati dan memperhatikan. Batik, ya hampir saya temukan corak batik disemua toko yang menjajakan pakaian.

Batik merupakan kain khas dari daerah Jawa. Siapa mula yang menemukannya? Saya belum tahu karena memang belum lah sempat untuk mencari tahu, tapi suatu waktu akan saya cari siapa yang pertama kali mempopulerkan kain itu.

Batik alih fungsi, ’oh sungguh kreatif anak negeri ini’ begitu kata hati. Apa iya hati dapat berkata-kata? Ah tidak usah dipikirkan, tidak penting agaknya.

Terlintas di kepala, ’djawanisasi’ masal. Ya beberapa waktu yang lalu seorang teman saya yang bersekolah di sebuah Institut ternama berkata ”Saya mau mempopulerkan batik di kampus saya mbak”, saya tertawa ketika mendengarnya pada awalnya. Dan ketika saya menjumpainya beberapa waktu kemudian setelah perjumpaan pertama, dia berkata ”Di kampus sekarang banyak mbak yang ikutan pakai batik” dia berkata sembari tersenyum pada saya.

Hmm, tidak dinyana, beberapa bulan kemudian, kain batik sudah berada di mana-mana, menjadi salah satu trend anak muda, khususnya kaum wanita, dan bila mengingat apa yang teman saya katakan beberapa bulan yang lalu, saya berkata ”Tidak hanya institutnya yang berhasil di-’djawanisasi’, tapi nampaknya lambat laun Nusantara ini mengalami apa yang namanya ’djawanisasi’ melalui kain bercorak indah yang berasal dari Jawa, ’kain batik’.

Seperti latah saja, hal yang saya amati adalah ketika seorang wanita kedapatan mengenakan pakaian yang menyenangkan bila dipandang mata, maka wanita-wanita yang lain, berbondong-bondong membeli kemudian mengenakannya. Ya seperti batik ini.

Hari semakin senja, para pedagang sudah mulai mengemasi barang-barangnya, mobil-mobil pedagang sudah mulai melenggang, meninggalkan areal parkir pusat perbelanjaan. Beginilah kehidupan, saya hanya memperhatikan sembari berkacak pinggang, teringat akan perkataan mbak Elia ”De’ zaman sudah merdeka, jangan bertolak pinggang”, begitu ia katakan pada saya.

”Susah juga jadi pedagang ya, pagi-pagi ngeluarin barang-barang, sorenya dimasukin lagi. Apa gak bosen ya?” begitu ujar Mbak Elia pada saya tiba-tiba, ’Yah namanya juga mencari makan’ begitu kata hati saya, dan kembali ’seperti apa kiranya hati yang berkata-kata?’ Entahlah.

Kami pun meneruskan perjalanan, mencari tempat makan. Kembali berputar-putar, mencari tempat makan lesehan.

--to be continued--