Pages

Friday, July 25, 2008

The Old Man and The Umbrella

Part Two ---Melanjutkan kembali kisah yang saya alami pada sore hari, tanggal 17 di bulan juni di tahun 2008.

Kakek tua itu terus berjalan. Langkahnya pasti, tetapi saya masihkan sangsi. Dalam pikiran saya, ia sedang mencari alamat nampaknya dan ia tersasar.

Hari semakin gelap, matahari benar-benar tidak lagi terlihat. Bulan purnama yang sedari tadi mengikuti, kini entah kemana, pergi, nampaknya ia tertutup awan kelabu yang menggantung di langit yang biru.

Saat itu menunjukkan pukul berapa, saya tidak tahu atau lebih tepatnya lupa. Kakek terus saja berjalan, postur tubuhnya tidak begitu besar ’hmm mengapa menjadi begitu sulit mendeskripsikan seperti apa dia’..

Yang saya ingat, dia mengenakan songkok di kepalanya, kalau kita lebih familiar menyebutnya dengan istilah ’kopiah’. Ia sudah tua, ya tentu saja karena sedari awal saya sebut dia dengan kakek bukan? Bungkuk karena ketuaannya, seperti firman Allah yang mengatakan bahwa ada sebagian manusia yang dipanjangkan usia, tetapi satu persatu Ia kurangi nikmat yang ada pada si manusia. Ya seperti itulah kiranya.

Ia memakai kaus biru berkerah, nampak basah, saya pikir itu karena keringat hasil kelelahan dan saya semakin yakin ia tersasar.

Kulitnya putih, awalnya saya pikir dia orang keturunan. Celana panjang berwarna abu-abunya sudah lusuh dan saya semakin kurang ajar dengan berpikir bahwa dia tidak lain hanya gelandangan saja agaknya, tapi pikiran ini melayang manakala mata yang Allah anugerahkan ini, sampai pada alas kaki yang kakek gunakan.

Kakek bersepatu, pantofel pula, dia berpayung, dia berpantofel.

Siapa kakek ini sebenarnya? Saya khawatir padanya, ingin bertanya ’arrgghhh’ tidak punya nyali saya. Tak lama lagi, saya akan tiba di asrama, tepatnya ketika saya hampir mengambil arah kanan, saya berhenti sejenak, menunggu sambil mengamati si kakek, barangkali ia akan butuh bantuan. Dan benar saja, kakek memanggil saya.

Saat itu, kami tepat berada di depan warung mbak ida, ibu penjaga asrama saya yang dulu.

’nak... nak.... bapak mau tanya” begitu katanya pada saya, pikiran saya berkata ’ah akhirnya si kakek menyerah juga’. Saya bisa melihat wajahnya dengan jelas, ia benar-benar sudah tua, sekitar 70 – 80 tahun agaknya. Nafasnya terputus-putus, memburu, ia benar-benar sedang kelelahan.

’iya, ada apa pak?’ begitu tanya saya padanya. ’anak tau rumah haji Imran?” hmm haji imran, seperti pernah mendengar namanya. Agak ragu, sampai akhirnya saya memutuskan untuk mampir ke warung nasi mbak ida dan bertanya, sekedar ingin memastikan apakah haji imran yang dimaksud sama seperti apa yang saya pikirkan.

”tunggu sebentar ya pak, saya tanya dulu” saya tinggalkan sebentar si kakek di luar. Mbak ida sedang mandi, jadilah saya bertanya dari luar kamar mandinya, dan ternyata benar, haji imran itu seperti apa yang saya pikirkan.

Satu-satunya haji yang bernama imran. Beliau memiliki sebuah toko kelontong atau semi mini market, karena sistem dan tata letak yang ada di tokonya, seperti mini market pada umumnya.

Saya pun bergegas pergi, lalu ”makasih ya mbak id” begitu ucap saya pada mbak ida yang masih asyik dengan ritual mandinya. Sayup-sayup terdengar mbak ida berkata dari balik pintu kamar mandinya ”tapi sudah meninggal Yu’ Ngah, sudah lama”, ”ya mbak id” ujar saya dari kejauhan pula.

Saya hampiri si kakek, kemudian berkata ”saya tau alamatnya kek, mari saya antar”, dia ucapkan terima kasih pada saya, lalu ”anak tinggalnya dimana?” dia bertanya. ”itu asrama saya pak” saya menunjukkan padanya asrama saya yang tepat berada di sebelah warung nasi mbak ida.

-to be continued--