Pages

Sunday, July 6, 2008

Mandi Hujan

Catatan ini kembali dituliskan untuk sekedar menyegarkan ingatan akan beberapa waktu yang lalu.

24 Agustus 2007, hari ini hujan rintik-rintik, titik-titik hujan membasahi bumi lampung tercinta ini, tapi tidak juga sebenarnya. Seperti biasa, menghadapinya saya tidak bisa berbuat apa-apa dan seperti biasa pula, melihatnya saya tetap tidak bisa melakukan apa-apa.

Udara hari ini begitu sejuk, hari ini tidak panas, langit tidak pula gelap. Hujan deras tidak menutupi langit dengan awan hitam yang kelam. ’Ah sayang, aku tak dapat bergabung dengan kalian’ begitu kira-kira kata hati pada saat itu manakala melihat burung layang-layang yang terbang di bawah derasnya air hujan.

Hujan ini membawa saya ke masa-masa itu, masa dimana ayah dan ibu masih menganggap saya gadis kecil mereka yang lucu.

Dahulu, kedua orang tua saya tidak pernah sekali pun mengizinkan saya bermain-main dengan air hujan ”nanti sakit” begitu kata ibu atau suatu ketika ibu saya berkata ”nanti bajunya kotor”, ya karena dulu saya masih terlalu kecil, jadi mencuci baju sendiri saja saya tidak begitu mengerti.

Tapi dasarnya memang saya bandel, suatu kali, ketika saya pulang sekolah, kalau tidak salah saat itu saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Hujan turun begitu derasnya, mau pulang tapi takut basah karena hujan. Saya iri melihat kawan-kawan yang berlarian bermandikan air yang langsung berasal dari alam.

Sembari melihat mereka yang sudah kebasahan, saya tetap saja kukuh berteduh sembari membayangkan apa yang akan terjadi pada saya bila saja ibu tahu saya ikut-ikutan mandi hujan seperti teman-teman.

Tapi, bukan sefta namanya bila saya menurut. Alhasil saya pun ikut-ikutan berlarian dengan teman-teman menikmati dinginnya air hujan. Tak saya hiraukan pikiran yang terus menerus melayang-layang di kepala, tak saya hiraukan bisikan-bisikan yang terngiang-ngiang di telinga yang mengatakan ’kamu pasti kena marah sama ibu’. Saya berkelit dengan pikiran saya sendiri ’ah itu hanya masalah bagaimana saya mencari alasan pada saat saya tiba di rumah nantinya’

Saya pulang dalam keadaan basah kuyup karena sampai di rumah hujan masih saja turun dengan derasnya, bagaimana dengan ibu? Oh sudah jelas, beliau marah besar, saya lupa entah saya dipukul atau hanya dijewer saja, tapi itulah kali pertama saya merasakan betapa menyenangkannya mandi di bawah guyuran air hujan.

Kesenangan itu terhenti begitu saja manakala saya menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama, tidaklah mungkin saya pulang dalam keadaan basah kuyup karena saya harus naik angkutan umum untuk sampai ke rumah. Tapi, hobi saya itu saya lanjutkan kembali ketika saya menginjak bangku SMA. Selalu ada saja alasan yang saya kemukakan pada ibu, agar bisa lulus untuk diizinkan bermain-main dengan air hujan.

Rumah saya tidak begitu besar, hanya gubug sederhana dengan pekarangan seadanya, tempat ibu menggeluti hobi tanam-menanamnya, dilengkapi dengan sebuah kolam ikan dan tak lupa air mancurnya yang kini sudah tidak mancur lagi agaknya, tidak seperti ketika itu air mancur diresmikan pertama kali, tentunya ayah saya sendiri yang meresmikannya.

Tepat di depan rumah saya, ada sebuah selokan yang panjangnya kira-kira 10 sampai 15 meter. Kasihan ibu, kadang beliau terlihat begitu kerepotan membersihkan selokan yang kotor, berlumut dan hijau, meskipun tak tebal.

Suatu kali, saya katakan pada ibu bahwa saya bersedia menggantikannya membersihkan selokan yang kotor itu dengan sukarela tanpa ada paksaan dari pihak mana pun juga, dan bisa diterka bahwa ibu saya begitu senang mendengarnya kala itu.

Apa saya anak yang rajin? Ah jangan salah kaprah, saya justru anak ibu yang paling bandel dan paling malas serta paling pandai berkilah. Tidak akan ada asap kalau tidak ada api, ya saya memiliki maksud dan tujuan tertentu dengan kerajianan saya yang anomali dan tidak biasanya itu.

Kerajinan saya akan timbul, bila yang nampak hujan itu begitu deras dan terlihat bahwa itu hujan akan turun dengan durasi lebih dari satu jam, maka dengan suka rela, akan saya bersihkan itu selokan yang penuh dengan lumpur dan kotoran meskipun kadang petir bersahut-sahutan dan akhir ibu saya berkata ”pantesan saja ade mau bersihin siring” begitu kata ibu saya akhirnya dan saya hanya bisa nyengir saja memperlihatkan barisan-barisan gigi saya yang sudah hilang gingsulnya.

Pada dasarnya saya ini pemalas, maka bila musim kemarau tiba, saya pun begitu enggan untuk membersihkan selokan meskipun lumut-lumut itu sudah mulai bertebaran, kecuali bila ibu meminta dan itu pun sembari berkata ”kamu ini malas amat de” begitu katanya.

Sebenarnya bukan tanpa alasan saya tidak mau membersihkan selokan pada saat hujan tak datang, tapi tak lain tak bukan karena saya tidak tahan berpanas-panasan, tidak tahan berkeringat, itulah mengapa saya baru tertarik bercanda dengan selokan beserta lumut-lumut hijau tua bila musim hujan sudah tiba.

Begitu menyenangkan, saya begitu menikmatinya. Seorang teman saya yang memiliki hobi yang sama dengan saya adalah adik lelaki saya tercinta, kalau kedua saudara perempuan saya hanya senang menonton saja.

Mandi hujan, terakhir kali saya lakukan pada tahun 2008 selepas idul adha, ya seperti biasa, teman saya mandi hujan tetap adik lelaki saya dan saat itu saya sudah menginjak semester 7, kadang ibu saya bilang ”sudah tua masih juga mandi hujan” dan kembali saya hanya tersenyum saja.

Hmmmh, setiap kita memiliki kenangan akan masa kecil, masa lalu, entah itu menyenangkan entah pula menyedihkan. Lambat laun, kisah-kisah itu menjadi kenangan yang lucu meskipun ada sebagian diantara kisah-kisah yang ada, dahulunya begitu menguras air mata karena kita menganggap kisah-kisah itu sebagai derita pada masa itu.