-Bagian pertama-
Beginilah kiranya hiruk pikuk kehidupan yang sebenarnya.
Penat, ya hati dan pikiran ini, hari ini penat sangat. Habis kena semprot oleh seorang dosen wanita yang tidak akan saya sebutkan namanya, wanita yang cerdas, mengagumkan di mata saya. Saya kategorikan dia cerdas dalam hal ilmu yang didalaminya, itu saja, tidak lebih, karena memang setiap kecerdasan memiliki parameter tersendiri bagi yang memahaminya.
Kamu bingung dengan apa yang saya tuliskan? Itu bagus, dan semakin banyak kamu membaca, saya harap semakin bingunglah kamu jadinya.
Pagi ini, di awali dengan senyum terindah yang saya berikan pada sang mentari pagi yang masih bersedia menyinari bumi yang semakin panas ini. Memenuhi permintaan Mbak Elia untuk menemaninya pergi mencari komponen elektronik untuk keperluan tugas akhirnya.
Agak malas pada awalnya, bukan saja karena harus menemani selepas ashar, tapi terlebih karena suasana hati sedang penat akibat semprotan hujan asam (berlebihan agaknya-hiperbolik-) dari seorang wanita paruh baya yang sudah ditetapkan sebagai salah satu dosen Fisika untuk beberapa tahun lamanya.
Akhirnya saya dan Mbak Elia berangkat juga, mencari apa yang memang harus dicari untuk keperluan Tugas Akhirnya.
Hari semakin sore, lalu lintas jalan raya semakin ramai saja jadinya. Sebagian orang ingin pulang untuk melepas lelah setelah bekerja seharian, ingin bertemu keluarga dengan segera nampaknya, agar dapat bercengkrama dan bercanda. Mungkin itu salah satu harapan yang mereka ingin dapatkan, selepas menjalankan rutinitas demi apa yang namanya penghidupan, yang kadang membuat lelah dan penat pikiran.
Agak sulit menemukan toko itu pada awalnya, sedikit tersembunyi dari toko-toko yang ada di sekitarnya.
Toko ini tidak begitu besar, tidak ada pelayan pria di dalamnya, semuanya wanita, tak terkecuali si empunya. Mbak elia mulai membuka catatan kecilnya, barang-barang yang ia butuhkan Alhamdulillah sudah ia tuliskan, sehingga tidak menyulitkan si pelayan untuk melayani pelanggannya.
Saya tidak bisa diam, bosan hanya memperhatikan si pelayan yang mondar-mandir mencari apa yang Mbak Elia cari. Akhirnya otak dan seluruh jajarannya, mengajak bibir dan lidah saya bekerja sama, hingga terlahirlah beberapa kalimat tanya ke dunia, yang saya tujukan pada pelayan yang melayani Mbak Elia.
Barang-barang sudah didapat, saya hanya menunggu sembari melayangkan pandangan kemana saja saya suka dan akhirnya sampailah mata ini pada seperangkat obeng hingga membuat saya berkata ”Mbak saya beli obeng itu”.
”Hmm, bau apa ini ya mbak? Seperti gak asing” begitu ucap saya sekenanya. Si pelayan berkata ”Sssttttt” begitu jawabnya, ”Oohhh saya tau mbak, ini bau dupa ya?” begitu jawab saya sembari berbisik. Saya terka begitu, karena kebetulan si empunya toko adalah orang keturunan.
Tapi, ternyata bau itu bukan bau dupa, melainkan bau menyan, begitu kata si pelayan. ’Gdubbrakkk ternyata si empunya, sedang melakukan ritual di dalam tokonya, pantas saja baunya sampai kemana-mana’. Zaman sudah modern, orang Eropa sudah sampai ke bulan, orang Indonesia masih berkutat dengan ’kemenyan’.
Selesai membayarkan apa yang dibeli, kami pun beranjak pergi ”Makasih ya mbak”.