-bagian keempat-
Dapat!!!, ”Lesehan Haji Salim” begitu kalau tidak salah tulisan yang tertera pada spanduk yang terpampang.
Selesai memesan makanan, kami pun duduk memanjangkan kaki, kelelahan.
Si mamang sibuk dengan pekerjaannya, ada dua orang mamang di lesehan ini. Yang seorang sibuk memotong-motong dan entah apa yang di potong, sedang seorang sibuk bekerja di depan gerobagnya, dan ini yang menarik saya untuk kembali bertanya.
Saya pun menghampiri si mamang yang usianya mungkin tidak jauh berbeda dengan saya. ”Mbak, ada pembunuhan berencana, pembunuhan masal” ya saya katakan itu karena ternyata si mamang sedang memukul kepala ikan lele kemudian membedah tubuhnya untuk dikeluarkan isinya. Si mamang hanya tertawa.
Lalu, saya mulai bertanya si mamang berasal dari mana, sudah berapa lama bekerja di ’Lesehan Haji Salim’ ini. Hmm ternyata si mamang sudah 2 tahun bekerja di lesehan ini, kakeknya berasal dari Jawa Tengah. Tapi si mamang, lahir dan besar di sini. Saya katakan padanya, bahwa dia berbeda dari orang Jawa kebanyakan, karena si mamang tidak berkulit hitam tidak juga sawo matang melainkan putih seperti orang keturunan, berarti si mamang keluar dari jalur kejawaan, si mamang pun tertawa.
Oh iya ada yang terlupa, setelah usut punya usut, ternyata Haji Salim itu adalah nama kakek dari si mamang ”Berarti, mamang ini generasi ketiga dong” begitu ujar saya padanya. Dan kembali, si mamang tertawa. Jadi, tertawa saja rupanya kerja si mamang.....
Pesanan selesai, adzan maghrib berkumandang, Alhamdulillah diberikan rezeki untuk berbuka di luaran.
Interupsi selesai, harus segera menunaikan sholat maghrib nampaknya.
Makan pun disegerakan namun tidak dalam ketergesaan, kami pun menyegerakan membayar apa yang kami makan. Sebelum pergi, Mbak Elia berkata ”De’ marahin abangnya, masak sudah jam segini belum sholat maghrib”, ”Iya mbak, ntar saya bilang sama mamangnya” begitu jawab saya.
Selesai membayar, saya pun menunaikan apa yang sudah kepala saya ini niatkan ”Mamang kok gak sholat, kan sudah maghrib?” begitu kata saya tiba-tiba.
Mamang tersenyum sembari memberi alasan ”Gak ada yang jaga mbak” begitu katanya, ’Ah alasan saja pikir saya kala itu, sebenarnya mereka berdua bisa saja sholat bergiliran’, tapi yah sudahlah. ”Makasih mang” kami pun beranjak pergi, lamat-lamat terdengar si mamang berkata ”Doain kita aja mbak”, hmm si mamang aneh, mana bisa doa dititip-titip.
Beginilah kehidupan, beginilah manusia, nampak lupa bahwa yang memberikan udara adalah Rabb nya. Sejatinya, mencari rezeki, mencari ilmu hanyalah sekedar interupsi.
Sholat tak kan makan waktu berjam-jam, dari 24 jam, Allah hanya mintakan kita tunaikan kewajiban. ’Hah kewajiban?!, Sholat bagi sebagian manusia merupakan kewajiban, bukan kebutuhan’. Menjadi sebuah rutinitas yang menurut sebagian orang menjemukan.
Beginilah kiranya manusia, manakala berada di tengah laut dalam keadaan susah, ia berkata, memohon, memuji Rabb nya, meminta diselamatkan nyawanya. Ketika Allah selamatkan ia, ia terlupa untuk berkata ”Alhamdulillah Allah selamatkan saya”, tak lain ia melenggangkan pinggulnya, melangkahkan kakinya, sembari tersenyum gembira, ’Hah, manusia itu menjadi lupa’.
Interupsi yang sebenarnya dari sebuah kehidupan.
Carilah rezeki sebanyak yang kamu mau, carilah ilmu setinggi yang kamu mampu, berjalanlah di muka bumi ke mana pun, di mana pun yang kamu suka, itulah interupsi yang sebenarnya, karena sejatinya bukanlah sholat yang menjadi interupsi dalam persidangan kehidupan ini melainkan sebaliknya.
-bersambung-