Loro -- Saya tidak tahu siapa namanya, sama seperti mbah mawar yang saya juga tidak tahu siapa namanya, maka kita sebut saja si mbah dengan nama mbah melati.
Postur tubuhnya tidak jauh berbeda dengan mbah mawar yang saya ceritakan sebelumnya. Mbah melati, bertubuh kecil, kulitnya sawo matang, dengan rambut selalu tersanggul rapi. Kemana-mana, si mbah selalu mengenakan kebaya, dengan kain jarik sebagai bawahannya, serta sendal sejuta ummat yang orang Indonesia sepakat menyebutnya dengan nama sendal jepit, ya sendal jepit menjadi pelengkap dalam perjalanan mbah melati setiap harinya.
Mbah melati berprofesi sebagai penjual jamu gendong, saya cukup mengenalnya meskipun tak pernah tahu siapa namanya. Perkenalan saya dengannya berawal dari perkenalan saya dengan anak gadisnya yang kalau tidak salah Sri namanya.
Mengenal mereka karena secara kebetulan hampir setiap hari saya menempuh perjalanan pergi pulang menuju kampus dengan berjalan kaki.
Sekitar pukul 07.00 pagi, si mbah sudah mengudara bersama putrinya menjajakan jamu gendong buatannya dan pulang sekitar pkl 09.00 pagi. Kemudian kembali beroperasi sekitar pkl 15.00 sore dan pulang sekitar pkl.17.30 sore.
Pernah suatu kali saya bertanya, ”mbak, kenapa nggak jualan di sekitar jalan kopi aja?” begitu tanya saya pada mbak sri, lalu ”daripada ribut mbak, mendingan kita jual di kampung baru aja” begitu jawabnya. ’Hmmh ternyata dalam dunia perdagangan jamu ada juga yang begituan’ begitu pikir saya kala itu.
Tidak tahu berapa umur si mbah tepatnya, tapi yang jelas ia tidak lagi muda. Raut-raut wajah renta sudah begitu nampak di wajahnya. Saya selalu berpapasan dengannya, kadang sesekali berjalan beriringan entah pergi menuju kampus, entah ketika pulang menuju asrama. ’Ah, si mbah sekarang sudah semakin tua, krim-krim anti tua, sudah pasti tidak akan bekerja bila digunakan di wajahnya’.
Merantau jauh sampai ke propinsi ini, hmmh tidak habis pikir. Si mbah meninggalkan beberapa anak yang lainnya dan juga suaminya. Si mbah berasal dari Karang Anyar Solo, suami dan beberapa orang anaknya tidak ia bawa ikut serta. Ketika saya bertanya mengapa, mbak sri katakan ”di Jawa cari kerja susah mbak” jawaban yang cukup mengejutkan, karena keadaan yang terjadi di sini justru sebaliknya.
Sudah hampir 4 tahun lamanya saya mengenal mereka, setiap kali bertemu, berpapasan di jalan. Si mbah tidak pernah lupa bertanya ”baru pulang mbak?” atau ”mau ke kampus ya mbak?” dengan senyum manis yang ia sunggingkan pada saya ’hmmm menyejukkan’ si mbah wanita jawa yang sesungguhnya di mata saya.
Kadang sesekali ketika melihat beliau dari kejauhan nampak kelelahan membawa jamu di dalam gendongan, saya mencoba tawarkan bantuan ”sini mbah, gantian saya yang bawa bakulnya”, si mbah menolak sembari tersenyum pada saya, katanya ”jangan mbak, berat lho nanti mbak malu”.
Padahal saya ingin merasakan bagaimana rasanya menggendong jamu di belakang, pasti menyenangkan atau mungkin pegalnya tidak alang kepalang. Dan akhirnya saya hanya bisa tersenyum atau tepatnya ’nyengir’ sembari mengeluarkan kata-kata andalan ”semangat mbah”, si mbah pun tertawa.....
Saya yakin, bakul jamu itu beratnya beberapa kilo agaknya. Beberapa botol besar berukuran 1,5 liter yang berisi penuh air jamu, selalu menghiasi bakulnya. Seringkali mengamati si mbah dari kejauhan, berjalan setengah membungkukkan badan, mengimbangi berat yang ia tumpukan di belakang.
Hmmh si mbah selalu saja tersenyum, tak pernah saya berjumpa dengannya dalam keadaan ia sedang melipat wajahnya, ia selalu tersenyum, entah ketika ia sedang berjalan sendirian, entah ketika ia sedang berkawan.
Si mbah jarang pulang, hanya setahun sekali. ”Ongkos mahal” begitu kata si mbah. Merantau jauh ke negeri orang demi apa yang namanya sebuah penghidupan, si mbah tinggalkan beberapa anaknya di seberang bersama suaminya, sedang ia berdua dengan putrinya mengadu nasib di rantau orang. Bagaimana rasanya jauh dari keluarga? Entahlah, saya tidak tahu, karena saya tidak pernah bertanya.
Si mbah sudah semakin tua, terhitung sejak pertama kali saya mengenalnya hingga kini, sudah 4 tahun lebih agaknya. Dan pastinya umur si mbah pun sudah bertambah 4 tahun juga, mungkin sudah memasuki 60-an, tapi si mbah tetap tegak berdiri menantang matahari pagi, memandang matahari senja dari kejauhan.
Hidup penuh dengan apa yang namanya perjuangan, ya si Mbah berjuang demi keluarganya. Sejatinya, ketika di beberapa tempat saya temui orang yang memanfaatkan kerentaannya untuk meminta-minta, si mbah masih tetap berdiri tegak, menengadahkan kepala, menebarkan senyumnya, mencari apa yang namanya penghidupan untuk keluarganya yang berada di seberang sana.
Yah beginilah hidup.