Pages

Friday, July 25, 2008

The Old Man and The Umbrella

Part One--- Saya adalah seorang gadis kecil meskipun pada kenyataannya orang-orang akan berkata ”kamu sudah dewasa”.

Menulis dengan tinta hitam sama saja dengan bunuh diri namanya, merusak mata. Menulis dengan tinta warna, tak punya uang, mahasiswi kere saya ini nyatanya. Menulis dalam gelap, remang cahaya rembulan yang berpendar, masuk melalui kaca-kaca jendela asrama.

Kembali berkisah di atas peraduan tak beralas, ditemani serenity, suara harmoni klasik dari jangkrik-jangkrik malam yang exclusive, mereka bernyanyi riang membentuk baris-baris irama penuh makna. Sesekali terdengar suara burung-burung yang terbang di angkasa, suara anjing-anjing yang melolong pertanda bahwa hari sudah larut nampaknya.

Saya orang, oh bukan. Saya adalah manusia tidak terstruktur karena memang saya menolak untuk terstruktur dan teratur. Sudah terlalu jenuh untuk diatur agar teratur, ah sudahlah berhenti bercerita tentang saya.

Mari kita bicara tentang seorang pria tua, ”The Old Man and The Umbrella”. ‘halah’ bahasa Indonesia ternyata masih lah lebih indah di dengar dan di pandang mata.

Hari ini saya pulang terlampau senja, matahari sudah tenggelam kembali ke peraduan, menyisakan warna-warna merah keemasan. Bulan purnama menggantikan Sang matahari yang kelelahan, setelah seharian menyinari bumi agar manusia dapat menorehkan prestasi kembali hari ini.

Balada persahabatan antara dua orang lelaki tua.

Sore ini, selepas membeli nasi bungkus bakal makan malam, saya putuskan untuk terus berjalan di bawah guyuran air hujan, gerimis, di bawah mendungnya langit. ’ah saya mengantuk’........

Tak begitu jauh jarak saya dan kakek tua. Ia masihlah kuat berjalan, langkah-langkahnya cepat dan panjang, ia membawa payung di tangan kanannya, nampak ia sudah menerka bahwa hari ini akan turun hujan agaknya.

’pagi, adzan shubuh berkumandang, bersahut-sahutan. Dari ujung timur hingga ujung barat, dari ujung utara hingga ujung selatan (saya berlebihan agaknya), hmmh tentunya itu berdasarkan perspektif saya. Agak sedikit enggan untuk beranjak, karena perjumpaan yang terlewat, ah sudah mari lanjutkan bercerita tentang kakek tua dan umbrella-nya’.

Binatang-binatang malam meramaikan rawa yang berada tepat di belakang asrama. Cahaya bulan kemerahan masuk menelusup ’ah apa itu menelusup? Saya tidak tahu’. Beginilah desa, ya saya katakan desa karena memang Lampung tidak seperti jakarta atau kota-kota besar lainnya.

Suara binatang-binatang malam dengan adzan yang bersahut-sahutan, lambat laun semakin menghilang. Inilah keindahan, suasana romantis yang Allah ciptakan bagi manusia-manusia melankolis seperti saya halnya.---

--to be continued--