Pages

Saturday, July 26, 2008

The Old Man and The Umbrella

Part Three --- Kami pun berjalan beriringan, kakek mulai bercerita, berkata-kata, dan seperti biasa, telinga yang Allah ciptaan dua buah ini, harus dan wajib menjadi pendengar setia. ”terima kasih ya nak, bapak lupa-lupa ingat jalannya, tadi bapak sudah dari jalan lada, jalan cengkeh. Katanya di jalan kopi ujung, ujungnya dimana ya nak?” begitu kata si kakek.

”iya pak, sama-sama. Saya sudah liat bapak dari tadi, seperti cari-cari alamat. Mau saya tanya, tapi nggak enak pak” begitu jawab saya.

”bapak dari mana?” tanya saya, ”bapak dari teluk nak” jawabnya. ”jauh pak, Kenapa sendirian?” saya kembali bertanya dan ia berkata ”lagi mau jalan sendiri”. ’whuaahhh kalau hilang, tersasar di jalan bagaimana nasib ini bapak’.

Saya teringat pada ayah, sedari saya mengamati si kakek, pikiran saya berkata-kata. Kembali, saya tetap tidak tahu seperti apa itu rupa pikiran yang berkata-kata ’arrgghh’ jangan pikirkan seperti apa.

Saat itu, saya katakan di dalam hati yang tersinergi dengan otak ini. ’takkan saya biarkan ayah saya pergi sendiri bila sudah tua nanti, tak kan saya biarkan ayah berpakaian lusuh lalu melenggang pergi. Tapi, bagaimana bila ayah merasa nyaman dengan pakaian lusuhnya?

Kalau saya membuang semua pakaiannya yang sudah nampak lusuh, bagaimana bila ayah nanti bernasib sama seperti seorang lelaki yang sepatu bututnya dibuang oleh istrinya. Lelaki itu menjadi gila karenanya, setiap hari mencari sepatu butut yang menurutnya sudah begitu berjasa dalam hidupnya.

Ah tidak boleh, tidak boleh begitu. Kalau baju ayah lusuh nanti, tak akan saya buang. Tapi, akan saya bersihkan, saya rawat, saya rapikan agar ayah tak nampak lusuh, meskipun ia mengenakan baju-bajunya yang sudah tua dimakan usia seperti halnya ia.

Tiba-tiba, ’ah bodoh’ pikiran macam apa ini? Ayah belum lagi tua, pakaian-pakaiannya belum lah lusuh, lalu mengapa berpikiran terlalu jauh?.

Saya dan kakek terus berjalan, saya kembali bertanya apakah orang rumah tahu kalau si kakek pergi meninggalkan rumahnya seorang diri. Dan luar biasa, si kakek berkata ”bapak sudah bilang kok, kalau bapak mau keluar.

Fyuhhh, nampaknya anak-anaknya tidak peduli. Atau si kakek memang tipikal orang yang keras kepala agaknya. Lalu ia kembali berkata ”enggak apa-apa nak, bapak memang lagi mau keluar sendiri. Mau ketemu teman lama, haji imran itu teman bapak mengajar di IAIN sini” begitu kata beliau dan seperti biasa ”oooo” begitu kata saya membulat.

Lalu ”dia sudah meninggal kan?” begitu kata si kakek, ”iya pak” jawab saya, ”bapak baru tau, waktu itu bapak masih di palembang......” kakek menambahkan. Entah mengapa, ingin menangis saya mendengarnya bercerita. ”bapak dulu pernah ke sini nak, terus ke kanan”, ”oohh, itu kalau dari jalan lada pak. Kalau dari jalan kopi, lurus terus ke kiri” jelas saya.

”masih jauh ya nak?” kakek bertanya, sudah kelelahan nampaknya dan adzan maghrib pun berkumandang. Saya masih di jalan, belum mandi, masih membawa nasih bungkus untuk makan malam dan masih terus berjalan menemani si kakek agar sampai tujuan.

--to be continued--