Apa korelasi antara PIMNAS XXI dengan kelas kambing ???
Ada, ya ada korelasinya dan sialnya, hampir membuat panas hati dan kepala ini.
singkat kata, saya dan tim berhasil lolos ke PIMNAS XXI di semarang dan pulang dengan tidak membawa tropi kemenangan. Biasa saja bagi saya, toh siapa pun yang menang tidak jadi soal, demi kemajuan Indonesia juga pada akhirnya.
Kembali, menekuni aktivitas sehari-hari. Mengunjungi Lab Fisika Dasar, karena sudah lama tidak menengok, melihat sejauh mana perkembangan yang ada.
Siang itu, saya sedang bercakap-cakap dengan Ka Lab dan beberapa orang teman saya, hingga beberapa menit kemudian datanglah seorang dosen saya, dosen baru, berasal dari sebuah institut teknologi ternama yang ada di Indonesia.
Dia bertanya, "bagaimana PIMNAS nya?" saya katakan biasa-biasa saja. Ya, seingat saya, begitu saya menjawab pertanyaannya. Lalu "menang gak?" dengan datar saya menjawab "Alhamdulillah ndak pak", dia tersenyum nampaknya. "Siapa saja yang menang?" begitu lanjutnya, "juara umum sepertinya dipegang oleh UNIBRAW pak. Oh iya pak, Institut tempat bapak juga menang, tapi kalau ndak salah cuma satu" begitu jawab saya.
Lalu "itu mah kelas kambing" jawabnya datar dan sekenanya. Dia pun menambahkan celotehnya dengan berkata bahwa institutnya tidak bermain di level nasional, tapi di level internasional dan sudah menyabet beberapa gelar.
Apa saya terpana dengan ceritanya? oh sayangnya tidak.
Apa saya merasa iri? Masya Allah, buat apa saya iri.
Apa saya merasa sakit hati karena nyatanya Univ dan institut lain yang mengikuti ajang PIMNAS XXI ia kategorikan ke dalam kelas kambing? Tidak juga, biasa saja.
Sudah terbiasa telinga ini mendengar, sudah terbiasa telinga ini berinteraksi dengan manusia-manusia macam dosen saya ini yang konon katanya berkuliah di institut teknologi ternama yang konon katanya pula institut tertua di Indonesia.
Merasa minder? ah tak perlu itu, toh saya dan mereka sama.
Salut? Oh..oh..oh tidak, mengapa harus salut dengan mereka yang tidak berisi tapi menegakkan kepala dengan gagahnya.
Ada, ya ada korelasinya dan sialnya, hampir membuat panas hati dan kepala ini.
singkat kata, saya dan tim berhasil lolos ke PIMNAS XXI di semarang dan pulang dengan tidak membawa tropi kemenangan. Biasa saja bagi saya, toh siapa pun yang menang tidak jadi soal, demi kemajuan Indonesia juga pada akhirnya.
Kembali, menekuni aktivitas sehari-hari. Mengunjungi Lab Fisika Dasar, karena sudah lama tidak menengok, melihat sejauh mana perkembangan yang ada.
Siang itu, saya sedang bercakap-cakap dengan Ka Lab dan beberapa orang teman saya, hingga beberapa menit kemudian datanglah seorang dosen saya, dosen baru, berasal dari sebuah institut teknologi ternama yang ada di Indonesia.
Dia bertanya, "bagaimana PIMNAS nya?" saya katakan biasa-biasa saja. Ya, seingat saya, begitu saya menjawab pertanyaannya. Lalu "menang gak?" dengan datar saya menjawab "Alhamdulillah ndak pak", dia tersenyum nampaknya. "Siapa saja yang menang?" begitu lanjutnya, "juara umum sepertinya dipegang oleh UNIBRAW pak. Oh iya pak, Institut tempat bapak juga menang, tapi kalau ndak salah cuma satu" begitu jawab saya.
Lalu "itu mah kelas kambing" jawabnya datar dan sekenanya. Dia pun menambahkan celotehnya dengan berkata bahwa institutnya tidak bermain di level nasional, tapi di level internasional dan sudah menyabet beberapa gelar.
Apa saya terpana dengan ceritanya? oh sayangnya tidak.
Apa saya merasa iri? Masya Allah, buat apa saya iri.
Apa saya merasa sakit hati karena nyatanya Univ dan institut lain yang mengikuti ajang PIMNAS XXI ia kategorikan ke dalam kelas kambing? Tidak juga, biasa saja.
Sudah terbiasa telinga ini mendengar, sudah terbiasa telinga ini berinteraksi dengan manusia-manusia macam dosen saya ini yang konon katanya berkuliah di institut teknologi ternama yang konon katanya pula institut tertua di Indonesia.
Merasa minder? ah tak perlu itu, toh saya dan mereka sama.
Salut? Oh..oh..oh tidak, mengapa harus salut dengan mereka yang tidak berisi tapi menegakkan kepala dengan gagahnya.
"Padi semakin berisi, semakin merunduklah ia"
Tapi sayang, jarang saya jumpai falsafah itu dalam diri mereka. Lelah ya lelah, si dosen yang berasal dari Lab Fisika Bumi Institut teknologi yang ternama itu, terus saja bercerita tentang Institutnya, gajinya, materinya, dan bla..bla..bla..
Hmm, lama saya tarik kesimpulan. Materi menjadi tujuan utama dari pria yang umurnya hampir mendekati paruh baya ini, yang konon katanya S1 dan S2 dia habiskan di Institut teknologi ternama itu.
Sayangnya, si bapak tidak sholat, ia dengan terang benderang, berdiri berkacak pinggang di atas sebuah terumbu karang, di bawah sinar rembulan dan derasnya deburan ombak kala laut sedang pasang (khayalan tingkat tinggi), mengatakan dirinya dengan gagah perkasa bahwa ia seorang SEKULER adanya.
Si Bapak dengan bangga bercerita bahwa ia pernah memakan daging yang merupakan penghasil cacing pita dan untuk itu orang indonesia sepakat menamai hewan ini dengan nama "babi" (maaf).
Katanya manusia butuh proses. Sial, kata-kata itu menjadi tameng bagi mereka untuk berbuat sesukanya, berkunjung ke rumah pelacuran "ah itu biasa", ia pun bercerita kiranya seorang temannya yang dahulunya seorang yang sekali membaca bisa berjuz-juz katanya. Tapi sekarang, itu bisa diinjaknya, sial, ia tertawa ketika bercerita.
Bangga ia katakan bahwa mahasiswa-mahasiswa di institut ternama belajar filsafat, berpikir tentang humaniora, dialektika, logika, membaca buku-buku tetang ke -Tuhan-an itu seperti apa.
Panas, saya memprotesnya........
Tidak hanya manusia yang bersekolah di sana saja yang berpikir, manusia dimana pun ia pastilah menggunakan isi kepalanya untuk berpikir.
Bebas berpikir, tapi tidak bablas. Dan mahasiswa yang konon katanya pintar-pintar itu yang bersekolah di Institut Teknologi itu, bablas dalam berpikir bebas, berani berfilsafat tanpa didasari pondai yang jelas, sembarangan melayangkan pikiran.
Fenomena, bangga menjadi pemikir yang terasing dari teman-teman yang menganut hedonisme (jenis makanan apa pula ini??), yang berlaku apatis dan skeptis. Bangga menjadi aneh dengan pikiran-pikiran yang nyeleneh, hingga mengorbankan keimanannya dengan cukup berkata "saya ingin..... arrggh atau yang penting saya jadi orang baik saja"........
Oh...oh...oh..., baik menurut siapa? atas parameter apa?
Dosen saya itu, dosen baru yang berasal dari konon katanya institut teknologi ternama, berkata bahwa ia tidak mau mencampuri urusan teman-temannya yang memilih untuk menjadi sekuler, memilih untuk menjadi liberal, intinya "itu ranah pribadi teman-temannya".
'Aaarrggghh gila', ada kewajiban sesama muslim untuk mengingatkan saudara sesama muslim lainnya. Ia juga katakan, bahwasannya ia tidak mau katakan temannya bebas yang kebablasan, karena tidak ada dasarnya.
Ohhhh, luar biasa. Lalu saya katakan padanya "Pak, memang tidak ada parameter yang saklek untuk itu semua. Tapi, kita hidup bermasyarakat dan masyarakat itu sendiri yang menentukan parameter, apakah suatu kebebasan itu merupakan bebas yang bablas atau tidak"........ ia tidak menjawab.
Masya Allah, agama dijadikan mainan.
Jangan berpikir kalau nggak kuat mikir.
Jangan jadi kritis kalau ujung-ujungnya itu iman kamu bakal terkikis.
Memang, menurut dosen saya itu, teman-temannya sedang dalam proses mencari, lalu mau berapa lama, sedang umur sudah hampir kepala empat, dosa semakin merajalela, dan pintu neraka semakin terbuka, sedang diri masih saja melenakan dengan apa yang namanya mencari. Sia-sia saja bila tidak mau membmuka mata hati, akal dan pikiran ini......
Inilah yang saya kategorikan ke dalam istilah "pinter-pinter keblinger".
"Rabbana La tuzighkulubana ba'da idzhadaitana wa hablana millandunkarahmah innaka antalwahhab"
---- In The Name Of Allah Who Created ----
Tapi sayang, jarang saya jumpai falsafah itu dalam diri mereka. Lelah ya lelah, si dosen yang berasal dari Lab Fisika Bumi Institut teknologi yang ternama itu, terus saja bercerita tentang Institutnya, gajinya, materinya, dan bla..bla..bla..
Hmm, lama saya tarik kesimpulan. Materi menjadi tujuan utama dari pria yang umurnya hampir mendekati paruh baya ini, yang konon katanya S1 dan S2 dia habiskan di Institut teknologi ternama itu.
Sayangnya, si bapak tidak sholat, ia dengan terang benderang, berdiri berkacak pinggang di atas sebuah terumbu karang, di bawah sinar rembulan dan derasnya deburan ombak kala laut sedang pasang (khayalan tingkat tinggi), mengatakan dirinya dengan gagah perkasa bahwa ia seorang SEKULER adanya.
Si Bapak dengan bangga bercerita bahwa ia pernah memakan daging yang merupakan penghasil cacing pita dan untuk itu orang indonesia sepakat menamai hewan ini dengan nama "babi" (maaf).
Katanya manusia butuh proses. Sial, kata-kata itu menjadi tameng bagi mereka untuk berbuat sesukanya, berkunjung ke rumah pelacuran "ah itu biasa", ia pun bercerita kiranya seorang temannya yang dahulunya seorang yang sekali membaca bisa berjuz-juz katanya. Tapi sekarang, itu bisa diinjaknya, sial, ia tertawa ketika bercerita.
Bangga ia katakan bahwa mahasiswa-mahasiswa di institut ternama belajar filsafat, berpikir tentang humaniora, dialektika, logika, membaca buku-buku tetang ke -Tuhan-an itu seperti apa.
Panas, saya memprotesnya........
Tidak hanya manusia yang bersekolah di sana saja yang berpikir, manusia dimana pun ia pastilah menggunakan isi kepalanya untuk berpikir.
Bebas berpikir, tapi tidak bablas. Dan mahasiswa yang konon katanya pintar-pintar itu yang bersekolah di Institut Teknologi itu, bablas dalam berpikir bebas, berani berfilsafat tanpa didasari pondai yang jelas, sembarangan melayangkan pikiran.
Fenomena, bangga menjadi pemikir yang terasing dari teman-teman yang menganut hedonisme (jenis makanan apa pula ini??), yang berlaku apatis dan skeptis. Bangga menjadi aneh dengan pikiran-pikiran yang nyeleneh, hingga mengorbankan keimanannya dengan cukup berkata "saya ingin..... arrggh atau yang penting saya jadi orang baik saja"........
Oh...oh...oh..., baik menurut siapa? atas parameter apa?
Dosen saya itu, dosen baru yang berasal dari konon katanya institut teknologi ternama, berkata bahwa ia tidak mau mencampuri urusan teman-temannya yang memilih untuk menjadi sekuler, memilih untuk menjadi liberal, intinya "itu ranah pribadi teman-temannya".
'Aaarrggghh gila', ada kewajiban sesama muslim untuk mengingatkan saudara sesama muslim lainnya. Ia juga katakan, bahwasannya ia tidak mau katakan temannya bebas yang kebablasan, karena tidak ada dasarnya.
Ohhhh, luar biasa. Lalu saya katakan padanya "Pak, memang tidak ada parameter yang saklek untuk itu semua. Tapi, kita hidup bermasyarakat dan masyarakat itu sendiri yang menentukan parameter, apakah suatu kebebasan itu merupakan bebas yang bablas atau tidak"........ ia tidak menjawab.
Masya Allah, agama dijadikan mainan.
Jangan berpikir kalau nggak kuat mikir.
Jangan jadi kritis kalau ujung-ujungnya itu iman kamu bakal terkikis.
Memang, menurut dosen saya itu, teman-temannya sedang dalam proses mencari, lalu mau berapa lama, sedang umur sudah hampir kepala empat, dosa semakin merajalela, dan pintu neraka semakin terbuka, sedang diri masih saja melenakan dengan apa yang namanya mencari. Sia-sia saja bila tidak mau membmuka mata hati, akal dan pikiran ini......
Inilah yang saya kategorikan ke dalam istilah "pinter-pinter keblinger".
"Rabbana La tuzighkulubana ba'da idzhadaitana wa hablana millandunkarahmah innaka antalwahhab"
---- In The Name Of Allah Who Created ----