Pages

Saturday, July 5, 2008

Mushola nyempil, se-iprit

-bagian kelima-

Menyebrangi jalan raya dengan saya sebagai tameng yang menghadang kendaraan yang lalu-lalang, ya mbak Elia tidak berani menyebrangi jalan raya yang besar lagi ramai. Kami memutuskan untuk menyegerakan menunaikan sholat maghrib agar tidak terlewatkan. Tadinya, Mbak Elia berkata ”De kenapa ndak di rumah saja sholatnya?”, ”Nggak ah mbak, kalau saya keburu mati sebelum sholat maghrib gimana?” begitu jawab saya padanya.

Akhirnya, sampailah kami di salah satu pusat perbelanjaan yang ada, masih ramai dengan muda-mudi, remaja putra, remaja putri, ibu-ibu dan anak-anak balitanya. Nampak si ibu sibuk sendiri, ingin membelikan anaknya atau sebenarnya si ibu malah mencari pernak-pernik untuk mempercantik dirinya?! Entahlah dan apakah muda-mudi itu sudah menunaikan kewajibannya pada Sang Maha ?! Entahlah, entahlah dan entahlah (halah, entahlah-entahlah melulu).

Berputar-putar mencari dimana musholla diletakkan pada awal bangunan ini didirikan. Saya agak sedikit lupa, tapi Mbak Elia ternyata lebih mengenal tempat ini dibandingkan saya. Tidak begitu melelahkan, karena di tempat ini tidak ada tangga, hanya saja jalan-jalan yang menghubungkan antara lantai yang satu dengan yang lainnya dibuat agak sedikit menanjak, kira-kira 30o derajat sudut kemiringannya.

Akhirnya sampai juga di musholla, saya tidak tahu musholla ini diletakkan di lantai berapa. Ya karena saya memang tidak menghitung berapa jumlah lantainya. Musholla yang tidak begitu besar, pada shaf lelaki hanya bisa mencapai 3 shaf saja, sedangkan pada shaf wanita, hanya bisa mencapai 2 shaf dan itu pun bisa buat ini kepala bertemu dengan kaki jamaah yang berada di depan saya.

Heran, ya saya heran, hampir di setiap tempat umum yang saya temui, musholla-musholla yang disediakan, begitu kecil, ’nyempil, se-iprit, pelit’, kadang tempat untuk mengambil wudhunya pun tidak dipisahkan, tapi tidak di tempat ini. Ada lagi, ini ketiga kalinya saya sholat di pusat perbelanjaan yang mushollanya dekat dengan tempat parkir kendaraan.

Kadang, sholat menjadi tidak nyaman, seperti ketika saya berada di Landmark Braga. Tempat sholat di mana orang bebas berlalu lalang sesukanya, tidak khusyuk jadinya.

Padahal di Indonesia, ummat muslim merupakan mayoritas alias dengan jumlah terbesar di negara yang berpenduduk sudah lebih dari 200.000.000. Tapi, mau sholat saja fasilitas terkesan seadanya ’dari pada nggak ada’.

Berwudhu sedikit terasa nyaman, musholla ini berada di lantai teratas bersebelahan dengan tempat parkir, hanya dipisahkan oleh kaca yang transparan. Hmmmh, agak was-was karena tempat wudhu tidak terlindungi alias tidak dipasangi pintu, bersyukur hari sudah gelap, jadi dari luar insya Allah tidak begitu jelas melihat ke dalam.

Sholat pun ditunaikan, masbuk Alhamdulillah masih terkejar dan selesai. Kami pun memutuskan untuk pulang, selesai sudah pelajaran dari MK kehidupan kali ini, dengan 4 SKS yang dipadatkan menjadi satu hari. Kalau sekiranya mengamati dan mau mempelajari hingga memahami, maka beruntung lah diri, tidak sia-sia hari ini. Tapi, bila semua yang terjadi hanya berlalu seperti angin lalu, maka ’sungguh betapa merugi diri ini’.

Pasti kamu bingung, yah Alhamdulillah kalau kamu bingung. Setidaknya, kepala mu masih mau berpikir.

Kalau sekiranya kamu mengerti dengan apa yang saya tuliskan ini, ’bravo’ akhirnya ada juga yang mampu membaca tulisan yang kadang terkesan acak-acakan dan asal comot sana, comot sini untuk urusan kata-kata.

---end---