Pages

Sunday, July 27, 2008

The Old Man and The Umbrella

Part Four --- Saya katakan pada kakek tak jauh lagi ia akan sampai. Ia pun bertanya saya kuliah dimana, jurusan apa, dan semester berapa. Saya katakan saja, bahwa saya kuliah di UNILA, jurusan Fisika MIPA dan sedang berada di semester akhir alhamdulillah.

”MIPA memang susah” begitu si kakek berkata pada saya. Tapi, di dalam hati saya berkata pada diri ini, ”sama aja pak, tergantung manusianya”.

Tak lama, kami sampai di rumah haji imran dan dari si kakek saya baru tahu, kalau ternyata masjid yang ada di sebelah toko haji imran itu, pak haji sendiri yang dirikan. Luar biasa, semoga lapang ia di dalam sana............

Toko sedang tutup, saya tanyakan pada si kakek apa mau sholat terlebih dahulu atau tidak. Si kakek ternyata ingin bertemu terlebih dahulu dengan si empunya rumah, begitu ia berujar pada saya.

Awalnya saya ingin bergegas pergi. Pulang, mandi, lalu menunaikan sholat maghrib. Tapi ”pak, saya panggilkan dulu yang punya rumah”, ”ia nak, bapak nggak kuat suaranya” begitu kata kakek pada saya.

Saya pun mulai mengetuk pintu samping sembari mengucap ”assalammu’alaikum ibu”, sampai tiga kali berturut-turut. Hmmh etika bertamu, bila tiga kali tidak juga dijawab, maka lebih baik pergi. Saya pun bersegera pergi, pindah posisi, memutar, mecoba masuk dari toko yang berada tepat di sebelah rumah pak haji. Mungkin saja ada penjaga tokonya di sana. Dan ternyata, toko sudah ditutup, waktu sholat maghrib.

Bagaimana ini? Si kakek tidak mungkin saya tinggalkan sendirian. Waktu maghrib sudah hampir berlalu, ya Allah berdosakah saya, maafkan tidak langsung menjumpai Mu ketika adzan dikumandangkan di masjid-masjid itu.

Harapan terakhir, ”tunggu sebentar ya pak, tokonya tutup” begitu kata saya. ”iya nak, bapak duduk di sini”, kira-kira begitu katanya, saya pun menuju pintu samping yang lainnnya, pintu gerbang garasinya.

Awalnya saya sudah mencoba melalui pintu depan, agak ragu untuk menginjakkan kaki, lebih tepatnya alas kaki yang kotor ke atas lantai keramik yang licin. Nampak setiap hari tak pernah luput dari sentuhan kain lap, tapi saya terlalu malas untuk melepas sepatu.

Hasilnya, saya injak saja lantai keramik itu, ’biarkan kalian menjerit, wahai keramik. Salahmu, mengapa kamu mau dipasang di bawah, diinjak-injak’.

Menekan bel berkali-kali, tidak ada reaksi. Tidak berbunyi, dan ’arrgghh’ ternyata bel itu mati alias tidak berfungsi. Saya pun menuju pintu garasi, mengintip ’oh, ada orang di dalam’. Pantas suara saya tidak terdengar, ternyata mereka ada di belakang.

Saya mulai mengetuk pintu gerbang, berkali-kali sembari berkata ”assalammu’alaikum, permisi ibu”. Tidak ada reaksi, si ibu terus bercakap-cakap. Jarak saya dengannya kira-kira 5 meter ke depan. Saat itu, saya pikir si ibu sedang meminta pembantunya membukakan pintu gerbang. Masih menunggu dan ternyata itu gerbang belum juga dibukakan.

Saya pun memberanikan diri mengetuk gerbang lebih keras lagi. Si ibu mendengar, ia menghampiri lalu ”maaf, nggak krungu”. ’oh, si ibu orang jawa’ saya jadi teringat dengan komunitas jawa di fisika ’ha..ha..ha jowo kabeh’ woopss.

”ada tamu ibu, kakek-kakek, katanya teman bapak waktu jadi dosen di IAIN” begitu ujar saya padanya dari balik pintu gerbang.

Si ibu, meminta anaknya membuka pintu samping. Saya pun bergegas menghampiri si kakek, ia sudah mulai gelisah. Pintu pun dibuka, seorang lelaki sekitar 25-30 tahun, ya saya taksir sekitaran itu umurnya. Ia tergesa-gesa nampaknya, saya pun mulai menjelaskan duduk persoalannya.


--to be continued--