Pages

Thursday, May 21, 2009

Marah itu

Saya tidak suka marah, sangat tidak suka dengan yang namanya marah. Masya Allah ya Allah, akhirnya saya memahami mengapa ayah selalu berpesan “kalau nggak punya sim, jangan dulu bawa motor de” begitu pesan beliau pada saya, berkali-kali, setiap waktu.

Malam ini, pkl 21:51, jam malam asrama Annisa, beberapa menyebutnya wisma annisa, Pkl 21:30. Mendiamkan pada awalnya, karena saya pikir mereka-mereka yang berada di bawah sana yang berada di pendopo asrama, salah satunya merupakan penghuni annisa dan mengetahui aturan mainnya dalam artian pukul berapa harus pulang, keluar dari lingkungan asrama putri ini.

Nafas memburu, masih memburu, saya perlukan menelan segelas air putih agar tidak begitu terbawa emosi karena disalahinya peraturan ini. Beginilah kiranya, dengan emosi semua jalan putih tertutup kabut hitam, berawan. Saya membenci amarah, sangat tidak menyukai amarah, meskipun disampaikan selalu dengan nada rendah, tetapi tetap saja amarah itu tidak akan berubah wajah menjadi senyum sumringah.

Mereka-mereka masih berada di bawah, masih asyik dengan aktifitas organisasi yang mereka geluti. Segala kertas, printer beserta laptop dan alat-alat tulis masih bertebaran. Saya sudah mulai merasa tidak nyaman ketika mereka melanggar peraturan batas jam bertamu pada sore hari yaitu pkl 17:30 sore. Seluruh penghuni asrama annisa ini muslimah adanya, beragama islam di dalam KTPnya. Menetapkan pkl 17:30 sebagai batas waktu berkunjung pada sore hari, bukan tanpa alasan. Peraturan itu dibuat, waktu itu ditetapkan, karena seyogyanya, pada jam-jam itu manusia-manusia yang merasa muslim agamanya, sudah seharusnya meninggalkan urusan dunia dan menyegerakan berbenah untuk menghadap Tuhannya, Rabb yang sudah menciptakannya. Tetapi, mereka tetap saja, tidak juga mengerti, aktifitas itu tetap tidak terhenti.
Baiklah, saya anggap angin lalu, saya pikir hanya sore ini saja, dan tidak akan meluas kemana-mana dalam hal melanggar peraturannya.

Senja pun tenggelam, matahari sudah tak lagi nampak, yang ada hanya gelap dengan cahaya bintang yang bertaburan. Risih rasanya mendengar suara-suara sopran para pria yang berada di bawah sana, di pendopo asrama Annisa, tapi tak mengapa pikir saya saat itu. Saya pikir tepat pkl 21:30 nanti, mereka yang lelaki, sudah beranjak pergi dari asrama putri ini.

Jam dinding terus berdetak, sudah lewat pkl 21.30, lelaki-lelaki itu masih belum juga beranjak, entah mengapa rasa itu mulai meronta, hingga “de, siapa yang bertanggungjawab untuk kegiatan malam ini?”, tidak ada yang menyahut, kecuali saling pandang, kemudian saling tunjuk dalam kebingungan. Lalu, seorang anak asrama yang saya kenal sebagai penghuni lantai 3, satu gedung dengan saya melongokkan wajahnya, kemudian mengangguk ketika saya berkata “de, ini sudah malam. Jam malam di sinikan pkl 21.30” begitu ujar saya padanya, dia pun mengangguk dan saya anggap mengerti.

Saya tinggalkan dia dengan teman-teman putri dan putranya, saya pikir tidak lama lagi mereka yang lelaki, akan segera pergi dari asrama ini. Tetapi, suara-suara itu masih terdengar, tidak ada tanda-tanda anak-anak lelaki itu akan beranjak pergi. Entahlah, jilbab itu kembali saya kenakan, jaket itu saya ambil dari gantungan. Melangkah pergi, menuju kamar salah satu anak asrama yang satu lantai dengan saya, kemudian berkata “De minta minum”, “mbak, itu tu, sudah setengah sepuluh belum pulang juga, ikhwah itu kayaknya mbak” begitu kata si empunya kamar yang juga empunya minum yang saya minta.

Tanpa ba bi bu, tanpa menanggapi perkataannya, saya pun berjalan menuruni anak tangga menuju lantai satu, lalu “maaf sebelumnya ya de, jam malam di sini pkl 21.30, sekarang sudah hampir pkl 22.00. Berdakwah di sini susah de, dulu di sini jam malamnya 23.00 sekarang sudah hampir pkl 22.00, harusnya kalian yang lelaki tau kalau ini asrama perempuan. Yang perempuannya juga harusnya tau kalau ini sudah malam. Menegakkan peraturan di sini susah de, harusnya kalian bisa lebih mengerti. Dari sore tadi saya perhatikan, batas bertamu sore hari pkl 17.30, sudah kalian langgar, sekarang sudah hampir pkl 22.00, kalian belum juga pulang” begitu ujar saya “bukan kalian yang akan dikomplain, tapi kami yang bikin peraturan” begitu tambah saya.

Lalu “maaf sebelumnya de, silahkan saja kalau besok mau dilanjutkan, tidak jadi masalah, hanya saja ini sudah malam” begitu kurang lebihnya apa yang saya sampaikan.
Nampak lelaki-lelaki itu mulai membenahi apa yang bisa mereka benahi, anak-anak putri hanya berbicara dengan mata tertuju ke bawah, menunduk, mereka saling bergumam. Saya kesal, tidak ingin gunakan istilah ikhwan dan akhwat, karena ujung-ujungnya akan dikatakan bahwa saya menyudutkan, tetapi ini bukan soal geometri yang membahas tentang sudut atau diagonal. Ini tentang anak-anak manusia yang seharusnya lebih bisa mengerti dari pada mereka-mereka yang lain, yang berada di asrama ini.

Acara pun usai, anak-anak putra mulai membenahi barang-barangnya, ada yang langsung pergi angkat kaki menyalakan mesin motornya, menunggu di luar gerbang mungkin dirasa lebih bijak baginya, tapi tidak bagi saya, karena dia meninggalkan rekan-rekannya membenahi apa-apa yang mereka kerjakan tadi, tidak bertanggung jawab, langsung saja saya katakan begitu di dalam hati.

Beberapa anak putri membersihkan kertas-kertas yang berserakan, hingga akhirnya semua lelaki-lelaki itu pergi meninggalkan asrama putri annisa ini.
Selesai, menaiki anak tangga, untuk kemudian membuka pintu kamar setelah sebelumnya berperang antara diri yang satu dengan diri yang lainnya, lalu “bodoh cep, ngapain harus marah”, nafas memburu, hingga beralih lega ketika menceritakannya kembali untuk kemudian dibaca oleh diri sendiri, pribadi.

Memang tidak bijak berharap orang lain bisa memahami apa yang kita pahami. Hanya saja harusnya mereka lebih mengerti bila dilihat dari atribut yang dipakai. Tapi, kembali, jangan pernah menilai seseorang dari apa-apa yang ia kenakan. Dan karena itu, rasa lapar mulai mengganggu, Alhamdulillahnya, makanan pemberian seorang teman, masih tersisa beberapa buah di dapur belakang.

Selintas teringat bahwa ayah benar, ia melarang saya melanggar peraturan karena beliau yang menjadi salah satu penegaknya, begini kiranya rasanya, ketika orang-orang seperti saya dan beberapa yang serupa berusaha menegakkan peraturan, tetapi di lain sisi, orang-orang seperti saya pula yang melanggar. Tidak masalah ketika yang ditunjuk adalah wajah, tetapi menjadi masalah ketika yang ditunjuk adalah muslimah, arrggghhh mengeneralisasi bahwa muslimah itu seperti itu, dan semoga saja tidak terlontar “dia aja begitu, padahalkan jilbabnya bla…3x, padahalkan anak-anak bla...3x”, Arrrrggghhhh, gak penting.