Pages

Saturday, May 2, 2009

Induk Semang kembali ke sarang

Chapter 4

Sudah 2 hari berlalu sejak malam keakraban itu. Mas endi yang tadinya ingin ikut berbicara, tapi tidak jadi

“mbak sekar saja yang ngomong” begitu katanya.

Tidak ingin begitu memberatkan mas endi untuk urusan asrama sekarwangi ini, meskipun sejatinya, ini memang merupakan tugas mas endi dan istrinya. Tetapi tidak tega rasanya, pikirku, beliau sudah cukup disibukkan dengan memikirkan kemana dan dimana istrinya kini. Mungkin ada rasa malu, tapi tak nampak mas endi tunjukkan itu. Dan bagi veni, putri mas endi, apa dia tahu kenapa ibunya pergi? Apa dia mengerti mengapa ibunya bisa pergi? Kadang orang dewasa, bisa lebih kekanak-kanakan daripada anak-anak yang sesungguhnya.

Kasihan sebenarnya, rasa ibaku bukan pada mas endi, tetapi pada veni. Setiap harinya, mencuci pakaian milik dia dan bapaknya seorang diri, kadang menemukan dia sedang menonton televisi sembari menyantap mie.

Hampir dua bulan sudah berlalu, tidak ada yang tahu dimana mbak eni berada kini, tidak pula terdengar kabar dari keluarganya yang berada di kampung sana, aku lupa dimana kampung mbak eni berada. Entah apa alasan yang memicu kepergiannya malam itu, yang jelas sampai saat ini kami tidak tahu dimana keberadaan induk semang kami itu kini.

Dan keesokan paginya, setelah malam keakraban diadakan, aku menemukan pengumuman yang terpasang di lantai 1 gedung B

“…..kalau mau naik ke lantai 2 – 3, sendalnya dilepas,….. gak ada yang bisa disuruh-suruh di sini”

Ingin sekali tertawa geli, pasalnya, setahuku gedung B asrama sekarwangi, agak sulit untuk diatur bila sudah menyangkut hal kebersihan.

Sebulan kemudian berlalu, induk semang sudah kembali ke sarang, dalam kelelahan dan kepayahan nampaknya. Dengan wajah pucat pasi, dengan rambut kusut masai, dengan tubuh kurus seperti habis dimakan pikiran. Induk semang sudah pulang, pulang dalam kekalahan, seperti menelan kekalahan yang pahit dan menyakitkan, bukan pulang dengan wajah senang penuh kemenangan.

Tak nampak ia keluar dari kamarnya selama beberapa hari semenjak kepulangannya, selain hanya berdiam diri di kamar. Entah apa yang ia kerjakan, tidak itu membersihkan lingkungan asrama yang sudah nampak berdebu di mana-mana, tidak juga nampak bercengkrama dengan anak-anak penghuni asrama annisa. Ia hanya diam, entah karena apa, dan ketika salah seorang anak asrama bertanya perihal kepergiannya yang entah kemana, induk semang hanya berkata ‘pulang kampung mbak’, ya ia hanya menjawab singkat dengan senyum sekenanya, pulang kampung katanya.

Aku menjabat tangannya, tidak ingin terlalu banyak membebaninya dengan tanya selain

‘apa kabarnya mbak?’

‘baik’ begitu katanya

Induk semang ku sudah kembali ke sarang, nampak genderang penyambutan itu sudah ditabuh, bertalu-talu. Hampir seluruh penghuni asrama jadi tahu, tetangga kiri-kanan, yang merasa mengenal induk semangku itu, berlomba-lomba menjadi orang yang sok tahu, perihal kepergian dan kembalinya induk semangku itu.

Genderang itu terus saja berbunyi, bertalu-talu, entah siapa pula yang menabuhnya, perlahan berita kembalinya sang induk semang, menjadi sesuatu yang nampak seperti layak untuk diperbincangkan, menjadi konsumsi publik, menjadi berita-berita picisan, menjadi makanan lezat dan nikmat bagi wanita-wanita penggila gossip kelas asrama maupun kelas ibu-ibu yang berada di sekitar asrama. Induk semangku itu, sudah layaknya selebritis kelas ibu-ibu penjaga asrama.

Masih berjalan dalam diam, meninggalkan perkara kembalinya sang induk semang kembali ke sarang, ke dalam lingkungan asrama. Dan bulan itu, tak lagi nampak suram, gambaran terang sang bulan nampak terlihat jelas dari balik kaca kamar mandi asrama. Sang bulan separuh, sabit, sudah nampak terang benderang, cantik, tanpa cacat namun tidak begitu bila dilihat dari dekat, lekat.

--Selesai--