Panduan Lengkap Nikah dari "A sampai Z" , buku itu agak geli ketika saya membayarkan sekitar RP. 72.000, untuk membawanya turut serta bersama saya.
Mbak putri teman liqa saya berkata "cieee...bla...bla..." intinya, si mbak-mbak menertawai saya yang dianggap masih kecil, tapi buku bacaannya sudah macam-macam saja. Sebenarnya, membeli buku itu bukan karena saya 'mau menikah', tapi hanya iseng saja. Sebab, kalau dipikir-pikir, membeli buku dengan 'genre', nasionalis, roman, sastra, ekonomi, psikologi, pernah komunis, saya begitu antusias membeli, lalu mengapa buku ber-genre- ini (pernikahan. red) begitu enggan saya membelinya. Padahal, harganya jauh di bawah harga buku-buku yang lainnya.
Semua tertawa, saya hanya diam saja lalu "ya mbak, kan dibacanya cuma buat pengetahuan. Masak baca bukunya pas sudah nikah, itu kan telat mbak. Sama seperti baca buku tentang mendidik anak, pas sudah punya anak", begitu kilah saya. Atau lebih tepatnya mencari pembenaran agar tidak bertambah kencang rasa malu menggerogoti hati hingga seluruh tubuh ini. Lagi pula, saya memang membutuhkan buku itu, sebagai bahan referensi untuk mereka yang nanti-nanti kembali bertanya tentang hal pernikahan pada saya, aneh*.
Mbak-mbaknya, masih saja tertawa, kemudian "itu bener, cep itu gak salah. Gak ada salahnya, memang harusnya baca bukunya sebelum prakteknya", ya kira-kira begitu murabbi saya membela.
Lalu, "awas ya cep, kalau ngeduluin mbak-mbaknya. Pokoknya gak boleh", begitu kelakar salah seorang dari mbak-mbak saya itu.
Pikir-pikir, siapa juga yang mau 'nikah', membayangkannya saja sudah cukup membuat saya terkadang ketakutan. Seorang dosen saya berkata "kamu seperti fobia, seperti pernah trauma akan sesuatu". Trauma? sepertinya tidak juga, hanya saja, hampir bisa dipastikan setiap kali ada yang berkata ingin melamar saya, entah kenapa rasa mual itu hadir tiba-tiba, kadang saya tidak bisa bernapas karenanya, atau terkena demam selama berhari-hari, ini lebih aneh lagi**.
Mbak putri teman liqa saya berkata "cieee...bla...bla..." intinya, si mbak-mbak menertawai saya yang dianggap masih kecil, tapi buku bacaannya sudah macam-macam saja. Sebenarnya, membeli buku itu bukan karena saya 'mau menikah', tapi hanya iseng saja. Sebab, kalau dipikir-pikir, membeli buku dengan 'genre', nasionalis, roman, sastra, ekonomi, psikologi, pernah komunis, saya begitu antusias membeli, lalu mengapa buku ber-genre- ini (pernikahan. red) begitu enggan saya membelinya. Padahal, harganya jauh di bawah harga buku-buku yang lainnya.
Semua tertawa, saya hanya diam saja lalu "ya mbak, kan dibacanya cuma buat pengetahuan. Masak baca bukunya pas sudah nikah, itu kan telat mbak. Sama seperti baca buku tentang mendidik anak, pas sudah punya anak", begitu kilah saya. Atau lebih tepatnya mencari pembenaran agar tidak bertambah kencang rasa malu menggerogoti hati hingga seluruh tubuh ini. Lagi pula, saya memang membutuhkan buku itu, sebagai bahan referensi untuk mereka yang nanti-nanti kembali bertanya tentang hal pernikahan pada saya, aneh*.
Mbak-mbaknya, masih saja tertawa, kemudian "itu bener, cep itu gak salah. Gak ada salahnya, memang harusnya baca bukunya sebelum prakteknya", ya kira-kira begitu murabbi saya membela.
Lalu, "awas ya cep, kalau ngeduluin mbak-mbaknya. Pokoknya gak boleh", begitu kelakar salah seorang dari mbak-mbak saya itu.
Pikir-pikir, siapa juga yang mau 'nikah', membayangkannya saja sudah cukup membuat saya terkadang ketakutan. Seorang dosen saya berkata "kamu seperti fobia, seperti pernah trauma akan sesuatu". Trauma? sepertinya tidak juga, hanya saja, hampir bisa dipastikan setiap kali ada yang berkata ingin melamar saya, entah kenapa rasa mual itu hadir tiba-tiba, kadang saya tidak bisa bernapas karenanya, atau terkena demam selama berhari-hari, ini lebih aneh lagi**.