Pages

Wednesday, May 20, 2009

When Dani say "malu"

Lupa kapan tepatnya, yang saya ingat ingat hari itu, siang itu, panas menyengat, polusi udara terasa begitu pekat, memaksa masuk ke dalam, melalui saluran pernapasan. Siang itu, Nampak matahari begitu senang menyinari bumi, manusia-manusia hilir mudik, bergerak, ada yang bermandikan peluh dan keringat ini bagi mereka yang berjalan, ada yang merasa tenang dan nyaman di dalam kendaraan, menikmati alunan music lembut, bermandikan tiupan angin yang keluar dari mesin pendingin mobil itu sendiri, ini berlaku bagi yang memiliki kendaraan, ada juga yang merasa kepanasan duduk dalam diam, sembari jantung dag-dig-dug tidak keruan, ini yang penumpang angkutan umum rasakan.

Panas, saya hanya bisa menutup kepala tengan telapak tangan saya. Pkl 13.00 siang, hari itu hari apa, ah mana saya ingat hari itu hari apa, yang jelas di kepala hanya siang, panas, lampu merah, kendaraan-kendaraan berhenti. Saya pun melambai-lambaikan tangan kanan, berlagak seperti polisi, meminta izin agar kendaraan-kendaraan yang lalu lalang dengan kecepatan sekian bersedia memperlambat laju kendaraannya agar saya bisa lewat dengan selamat.

Saya habis pulang kampung, jadi sepertinya saat itu hari minggu, kenapa hari minggu? Karena pada hari minggu saya ada pengajian di masjid taqwa pkl 14.00, jadi sudah bisa dipastikan, setiap hari minggu saya akan kembali ke ibukota. Dan hari itu sepertinya hari minggu.

Panas, panas sekali, lampung memang panas, dan anak kecil itu, dengan potongan rambut yang menyerupai anak-anak band, melambai-lambaikan barang dagangannya, dari satu kendaraan menuju kendaraan yang lainnya. Anak kecil itu, lelaki, saya lebih suka menyebutnya dengan istilah bocah lelaki. Ia menjajakan Koran, di siang hari yang panas menyengat saat itu, luar biasa, saya saja rasanya sudah seperti terpanggang, dia senang-senang saja melenggang.

Saya mengamati, sukanya mengamati, melihat, memperhatikan, bocah lelaki itu tidak sendirian, ada beberapa bocah-bocah lainnya yang juga berada di sana, di tengah-tengah, antara jalan yang satu dengan jalan yang lainnya, sebelah-menyebelah. Ada yang mengamen, ada yang menjulurkan tangan meminta-minta belas kasihan, ada yang menjajakan Koran.

Saya berlari, dari sisi jalan yang satunya, menyebrangi jalan, anak lelaki itu masih dengan semangat menjajakan korannya, saya tidak ingin membeli pada awalnya, tetapi ‘de beli satu, berapa harganya?’ dua ribu kata anak itu pada saya, ok saya ambil satu. Bocah itu memberikan Koran itu pada saya, kemudian mencoba mencari kembalian dari uang sepuluh ribu yang saya berikan, ‘kamu gak sekolah d?’ begitu saya bertanya ‘sekolah mbak’ ia menjawab sembari sibuk dengan membongkar saku celana, saku bajunya, kembalian itu belum juga ada.

Tinggalnya dimana de? Saya bertanya ‘di PU mbak’, PU sekitar beberapa ratus meter dari simpang jalan unila, ‘kenapa ndak jualan di sana aja de?’, ‘wah di sana udah rame mbak, makanya saya jualan di sini’ begitu jawabnya sembari sibuk mencari uang kembalian. Lalu ‘kenapa nggak ngamen aja de, itu kayak anak-anak yang laen’ begitu saya bertanya. ‘wah malu mbak, mendingan saya jualan Koran, dari pada ngamen-ngamen kayak gitu’ intinya dia katakan, mengamen tidak jauh berbeda dengan meminta-minta.

Saya pikir ada benarnya juga, kadang mereka yang menjajakan suara yang sebenarnya begitu pas-pasan itu. Hanya menyanyi sekedarnya, ‘ecek-ecek’ belum juga lagu dinyanyikan, tangan sudah menjulur minta bayaran, ya ya ya bocah lelaki ini ada benarnya.

Kembalian itu belum juga ada, tidak juga menyembul dari kantong celananya. Lalu, ‘memang berapa harga korannya?’ ‘dua ribu mbak’ begitu jawabnya ‘ok, kembalikan sama mbak lima ribu, sisanya untuk kamu’ begitu saya katakan padanya. Bukan saya ‘sok’ berlagak menjadi dermawan, atau menjadi pahlawan kesiangan, hanya saja, saya pikir apa yang bocah kecil itu lakukan, pikirkan, diluar kebiasaan, dan saya pikir, saya layak memberikan apresiasi untuk itu, yah meskipun hanya dengan uang beberapa ribu.

Saya beranjak pergi, ‘makasi ya mbak’ begitu kata bocah lelaki itu. Saya berlari, menyebrang menuju sisi jalan yang lainnya, saya pulang, dalam kepanasan, dengan semangat 45 untuk segera sampai ke asrama annisa, berlindung di dalamnya, itu bayangan saya. Dan bocah lelaki itu, masih tetap menantang matahari, dengan potongan rambut ala anak-anak band masa kini, rambutnya berwarna merah hasil besutan sang matahari, dengan poni menyebelah, yang juga panjang sebelah, dengan semangat 45, dia terus berkata ‘koran pak, koran’ begitu saya mendengarnya lamat-lamat dari kejauhan.

‘hahhhh, minum es dirasa benar-benar melegakan, tapi itu hanya sebatas angan, yang sampai ditenggorokan, tetap saja air putih yang murah meriah dan hanya itu yang tersedia di dapur kamar saya’