Burung-burung itu berkicau, satu sama lain saling bertanya kabar melalui cicitan yang mereka keluarkan, yang mereka perdengarkan. Indah, indah sekali, kadang tidak bisa dilukiskan, bahkan dengan kata-kata sekalipun.
Pagi, pkl 05.45. Saya terbangun setelah sebelumnya sepupu saya berkata ‘…sudah sholat shubuh atau belum?’, serentak saya kemudian beranjak, angkat kaki menuju kamar mandi. Saya bangun kesiangan, sekitar pk 05.15 pagi, setelah sebelumnya tidur terlambat, pkl 02.30 pagi.
Entah apa yang saya lakukan, sampai tidur sedini hari itu, tidak ada, hanya duduk menghadapi layar monitor, sembari menjelajah dunia maya, dalam kegerahan, dalam kebingungan, karena saya sedang kehilangan arah dan tujuan.
Pagi ini, mencoba kembali dengan mengingat-ingat percakapan dengan seorang kawan yang tidak begitu saya kenal. Percakapan dengan seorang wanita, entah juga pria. Dia memarahi saya, kesal dengan perbincangan antara dia dan saya. Mengapa? Karena berkali-kali bertanya, “kamu co atau ce?”, saya selalu menjawabnya dengan berkata “pria atau wanita tidak begitu penting”, begitu jawab saya padanya, berulang kali, berkali-kali.
Awalnya dia katakan bahwa dia seorang pria, semester 8, jurusan teknik elektro, dan saya percaya dengan keterangan yang dia berikan. Lama, entah bagaimana, dia mulai bertanya siapa saya sebenarnya, laki-laki kah? Perempuan kah? Dia pikir saya perempuan pada awalnya, lalu menjadi ragu karena nama dan gaya saya berbicara tidak nampak seperti perempuan pada umumnya. ‘Hmhhh’ hingga akhirnya selama berjam-jam dia bertanya, “kamu ini co atau ce”, “retorika” begitu jawab saya, karena memang tidak perlu dijawab.
Lama, berjam-jam kemudian, dia katakan bahwa dia seorang wanita berumur 26 tahun yang sudah bekerja, ‘jadi dia sudah berbohong pada saya’, begitu pikir saya. Tapi benarkah dia wanita? Entahlah, tidak begitu penting agaknya. Jadilah dia bercerita tentang hal “Gw, ditinggalkan pacar gw ke Balikpapan, gw sudah hancur”, begitu katanya. Saya pikir dia hancur hatinya, patah hati menurut istilah orang Indonesia, dan broken heart menurut orang barat sana. Ternyata, hancur itu bukan hatinya, bukan perasaannya, tetapi dirinya, ia sudah tidak perawan lagi, begitu katanya, begitu penuturannya pada saya.
Seperti angin lalu saja saya menanggapinya, berkali-kali dia meminta saran, selalu saya katakan “bertaubat mbak”, “hanya itu”, begitu katanya, “ya hanya itu”, jawab saya. Berkali-kali dia menyalahkan dirinya, dan berkali-kali itu pula saya berkata “jangan terlalu didramatisir mbak, yang lebih dari mbak (menderitanya) banyak”, begitu jawab saya.
Entahlah, agak enggan menanggapinya, bukan karena tidak berempati, tetapi perasaan saya mengatakan dia bukan wanita, melainkan lelaki, pria. Semakin mendekati dini hari, saya masih terus saya berkutat dengan kepala dan hati yang bersikeras untuk kembali tersinkronisas-lagi, tetapi buntu. Dan lawan bicara saya itu masih dengan teguh bertanya “kamu co atau ce”, ‘tidak penting’ lagi-lagi begitu saya menjawabnya, hingga akhirnya emosinya memuncak, dia mulai menampakkan kekesalannya, dia katakan saya “tuli”, saya “sepatu”, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Saya balas dengan “terima kasih mbak, saya merasa tersanjung”, dia semakin meradang. Saya tidak peduli, bahkan biarpun wajahnya memerah padam, saya tidak peduli. Akal pikiran dan hati memiliki urusan sendiri, saya masih punya sesuatu yang lebih penting, sesuatu yang harus saya pikirkan, tentang “mengapa saya tidak mau berpikir”, tentang “missorientasi yang belum juga teratasi, tentang “dunia yang 1 – 0 atas akhirat”.
Saya biarkan si mbak/mas dalam kekesalan, hingga ia mengakhiri percakapan tanpa salam, salam? Saya sendiri tidak yakin pada keyakinan yang dianutnya, bapak ‘nasrani’, ibu ‘muslim’ begitu katanya, tidak jelas. Tapi, ini dunia maya, dan manusia dianjurkan untuk tidak berkata jujur di dalamnya, benar begitu? Sepertinya begitu.
Pagi, pkl 05.45. Saya terbangun setelah sebelumnya sepupu saya berkata ‘…sudah sholat shubuh atau belum?’, serentak saya kemudian beranjak, angkat kaki menuju kamar mandi. Saya bangun kesiangan, sekitar pk 05.15 pagi, setelah sebelumnya tidur terlambat, pkl 02.30 pagi.
Entah apa yang saya lakukan, sampai tidur sedini hari itu, tidak ada, hanya duduk menghadapi layar monitor, sembari menjelajah dunia maya, dalam kegerahan, dalam kebingungan, karena saya sedang kehilangan arah dan tujuan.
Pagi ini, mencoba kembali dengan mengingat-ingat percakapan dengan seorang kawan yang tidak begitu saya kenal. Percakapan dengan seorang wanita, entah juga pria. Dia memarahi saya, kesal dengan perbincangan antara dia dan saya. Mengapa? Karena berkali-kali bertanya, “kamu co atau ce?”, saya selalu menjawabnya dengan berkata “pria atau wanita tidak begitu penting”, begitu jawab saya padanya, berulang kali, berkali-kali.
Awalnya dia katakan bahwa dia seorang pria, semester 8, jurusan teknik elektro, dan saya percaya dengan keterangan yang dia berikan. Lama, entah bagaimana, dia mulai bertanya siapa saya sebenarnya, laki-laki kah? Perempuan kah? Dia pikir saya perempuan pada awalnya, lalu menjadi ragu karena nama dan gaya saya berbicara tidak nampak seperti perempuan pada umumnya. ‘Hmhhh’ hingga akhirnya selama berjam-jam dia bertanya, “kamu ini co atau ce”, “retorika” begitu jawab saya, karena memang tidak perlu dijawab.
Lama, berjam-jam kemudian, dia katakan bahwa dia seorang wanita berumur 26 tahun yang sudah bekerja, ‘jadi dia sudah berbohong pada saya’, begitu pikir saya. Tapi benarkah dia wanita? Entahlah, tidak begitu penting agaknya. Jadilah dia bercerita tentang hal “Gw, ditinggalkan pacar gw ke Balikpapan, gw sudah hancur”, begitu katanya. Saya pikir dia hancur hatinya, patah hati menurut istilah orang Indonesia, dan broken heart menurut orang barat sana. Ternyata, hancur itu bukan hatinya, bukan perasaannya, tetapi dirinya, ia sudah tidak perawan lagi, begitu katanya, begitu penuturannya pada saya.
Seperti angin lalu saja saya menanggapinya, berkali-kali dia meminta saran, selalu saya katakan “bertaubat mbak”, “hanya itu”, begitu katanya, “ya hanya itu”, jawab saya. Berkali-kali dia menyalahkan dirinya, dan berkali-kali itu pula saya berkata “jangan terlalu didramatisir mbak, yang lebih dari mbak (menderitanya) banyak”, begitu jawab saya.
Entahlah, agak enggan menanggapinya, bukan karena tidak berempati, tetapi perasaan saya mengatakan dia bukan wanita, melainkan lelaki, pria. Semakin mendekati dini hari, saya masih terus saya berkutat dengan kepala dan hati yang bersikeras untuk kembali tersinkronisas-lagi, tetapi buntu. Dan lawan bicara saya itu masih dengan teguh bertanya “kamu co atau ce”, ‘tidak penting’ lagi-lagi begitu saya menjawabnya, hingga akhirnya emosinya memuncak, dia mulai menampakkan kekesalannya, dia katakan saya “tuli”, saya “sepatu”, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Saya balas dengan “terima kasih mbak, saya merasa tersanjung”, dia semakin meradang. Saya tidak peduli, bahkan biarpun wajahnya memerah padam, saya tidak peduli. Akal pikiran dan hati memiliki urusan sendiri, saya masih punya sesuatu yang lebih penting, sesuatu yang harus saya pikirkan, tentang “mengapa saya tidak mau berpikir”, tentang “missorientasi yang belum juga teratasi, tentang “dunia yang 1 – 0 atas akhirat”.
Saya biarkan si mbak/mas dalam kekesalan, hingga ia mengakhiri percakapan tanpa salam, salam? Saya sendiri tidak yakin pada keyakinan yang dianutnya, bapak ‘nasrani’, ibu ‘muslim’ begitu katanya, tidak jelas. Tapi, ini dunia maya, dan manusia dianjurkan untuk tidak berkata jujur di dalamnya, benar begitu? Sepertinya begitu.