Pages

Thursday, May 21, 2009

Sabar // Lapar 02

Dalam keadaan lapar karena belum mengisi perut ini dengan makanan, angkutan umum itu saya hentikan, turun dari kendaraan, seorang wanita cantik, berkerudung hitam serta merta menyambut saya. Saya pikir "whuihhh luar biasa pelayanan yang diberikan', tetapi ternyata 'maaf mbak, paketnya terbawa sampai ke metro, mobilnya bla...bla..bla'. Saya tidak lagi mendengarnya, yang ada hanya rasa kecewa, agak sedikit kesal sebenarnya, kesal karena 'kenapa sie mbak gak bilang pas saya telepon dari asrama tadi pagi, kenapa baru bilang pas saya sudah sampai ke sini?' begitu kata hati

Wanita, karena tidak tega, terlebih lagi dia sudah meminta maaf pada saya maka 'ya ndak apa mbak, yang penting saya ingin barang itu diantarkan ke tempat saya, ini alamatnya' begitu kata saya, singkat, mengucapkan terima kasih, kemudian beranjak pergi dalam rasa kesal yang tertahan di dalam.

Hari semakin siang, dan saat itu bukan lagi pkl 09.00, hampir mendekati pkl 10.00 pagi. Sistem pencernaan sudah mulai mempengaruhi sel-sel syaraf, hingga saya hanya dapat duduk dalam diam, dipinggir jalan. Saat itu saya pikir "tidak ada yang salah dengan hari ini, sudah saya buka dengan senyuman, dengan doa. Maka, yang ada hanya bersabar saja, bersabar dalam lapar". Panas terik matahari mulai semakin terasa, mencoba menghubungi mbak dahlia MR saya, untuk kemudian beliau menyebutkan rute menuju rumahnya. "lewat sini, naik angkot ini, jalan sedikit, naik ojek ini, bilang ini... bla..bla.. bla" saya tidak begitu mendengar penjelasannya, karena rasa kesal itu masih ada. Duduk dalam diam, di pinggir jalan. Angkutan-angkutan umum itu lalu lalang, kemudian menawarkan. 'Hmmmh' menghela nafas panjang, angkutan umum berwarna merah itu pun saya hentikan. Melamun, hanya bisa duduk melamun, ternyata rasa kesal itu sudah bercampur aduk, terpupuk oleh rasa lapar, hingga ia menjalar, tumbuh subur hingga mengkontaminasi akal pikiran.

Saya diturunkan, berkali-kali dipindahkan angkutan, menurut MR dan mbak-mbak yang lain 'kamu salah naik angkutan', 'hhhmmmhh, yah mau bagaimana lagi, sudah terlanjur', hingga pada akhirnya, saya menghubungi MR saya kemudian berkata "mbak, cep sudah sampai sini, trus?", "dari sana bla...bla...bla", ternyata masih jauh, masih jauh. Di dalam hati saya "lain kali, gak lagi-lagi liqo jauh-jauh begini", rupanya rasa kesal itu masih enggan untuk pergi. Rasa kesal yang sudah terakumulasi dan semakin parah dirasa karena rasa kesal itu sudah bercampur dengan rasa lapar.

Akhirnya, pkl 11.00 siang, matahari semakin terik saja, saya semakin tersasar saja, tidak taHu dimana tepatnya saya sedang berada. Sampai 'bu, ibu tau daerah ini, bla...bla...", "oh, ya tau, jauh lagi dari sini, di atas sana de", begitu kata ibu yang saya jumpai di pinggir jalan raya yang teriknya begitu terasa. "makasie bu", saya pun beranjak pergi, berjalan kaki. Lalu "jangan jalan kaki de, jauh, naik mobil saja" begitu katanya. Saya hanya bisa tersenyum dari kejauhan, memulai berjalan perlahan, dalam kelaparan, kehausan, di bawah terik matahari yang semakin menantang.

Saya tidak ingin naik angkutan, saya pikir, saya perlu berjalan kaki untuk menjernihkan pikiran, tidak mungkin menampakkan wajah berlipat di hadapan mbak-mbak yang sudah berada di sana, yang sudah lebih dulu sampai di rumah mbak dahlia MR saya. 'Hhhhmmmh' ingin menangis rasanya, sudah barang tak dapat, tersasar dalam keadaan lapar, panas pula. Saya hanya bisa berjalan sembari bergumam sendirian, berjalan sembari melihat ke kiri kanan jalan, 'banyak warung makanan'. Ada bakso, ada warung nasi padang, ada warung nasi uduk, saya ingin berhenti, tetapi kaki tidak ingin berhenti. Sampai, "mau kemana de?" begitu ujar seorang bapak, "ke palem V pak" ujar saya. Singkat kata, salah seorang tukang ojek mengantarkan saya dan saya pun tiba, tiba dalam kelaparan, kepanasan, dan yang pertama kali saya tanyakan begitu tiba di kediaman MR saya adalah 'mbak ada makanan gak?'

Sungguh ada korelasi antara rasa lapar dan sabar, apakah saya sudah bersabar? entahlah? sepanjang perjalanan hari ini, pagi ini, saya hanya bisa melamun dalam diam. Saya lapar, saya tersasar, saya kepanasan, saya dikecewakan, saya belumlah bersabar, 'hhhmmmhh' menghela nafas panjang, mengingat betapa saya menangis di pinggir jalan karena diliputi rasa kesal yang tidak tertahankan. Alhamdulillah rasa kesal itu tidak saya tumpahkan, tidak kepada manusia yang membuat saya kesal pada awalnya.

Rasa kesal itu hanya berbuah air mata pada akhirnya 'whhuuaaahhh, susahnya jadi manusia melankolie', dan Alhamdulillah sebuah pelajaran di hari ini.